Konstitusi Indonesia sebenarnya berpegang teguh pada prinsip kesetaraan. Namun, sejarah politik memperlihatkan, Islam, paham nasionalis, dan suku Jawa menjadi tiga variabel penting untuk menjadi Presiden Indonesia.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Kontroversi atas dominasi presiden Indonesia yang berasal dari suku Jawa menyegarkan kembali memori lama pada dominasi Presiden Amerika yang berasal dari orang kulit putih, ras Anglo-Saxon, dan agama Protestan—White Anglo-Saxon Protestant atau WASP. Sebagai negara demokrasi yang tua dan mapan, Amerika ternyata perlu ratusan tahun lamanya untuk mendobrak dominasi kekuasaan politik WASP ini.
Pada 2012, Amerika mengukir sejarah baru bahwa, baik presiden maupun wakil presiden, bukanlah berasal dari WASP. Barack Obama menjadi presiden kulit hitam untuk pertama kalinya, dengan wakil presiden Joe Biden yang beragama Katolik. Sebagai agama minoritas, Katolik masih menjadi sumber kontroversi dan kebencian ketika John F Kennedy mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1960. Namun, keimanan Biden tidak lagi menjadi masalah utama ketika dia mencalonkan diri dan akhirnya terpilih sebagai Presiden Amerika yang beragama Katolik setelah Kennedy. Kemajuan politik Amerika ini mengakhiri dominasi kekuasaan politik WASP, yang E Digby Baltzell populerkan sebagai The Protestant Establishment (1964).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mungkinkah Indonesia, dengan Islam sebagai agama mayoritas, bisa mengukir sejarah demokrasi baru untuk dipimpin oleh presiden yang berasal dari agama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu? Seperti Amerika, konstitusi Indonesia sebenarnya berpegang teguh pada prinsip kesetaraan, yakni orang Indonesia asli memiliki hak yang setara untuk dipilih sebagai presiden, tanpa diskriminasi atas dasar agama, paham, dan suku apa pun.
Namun, sejarah politik membuktikan fakta berbeda. Agama Islam, paham nasionalis, dan suku Jawa menjadi tiga variabel penting untuk menjadi presiden Indonesia. Dan terbukti, semua presiden Indonesia beragama Islam. Seperti ”kultur Anglo Protestan sudah bertahan selama tiga ratus tahun sebagai elemen terpenting dari identitas Amerika”, sesuai analisis politik Samuel P Huntington (2004), Islam juga telah menjadi salah satu elemen terpenting dari identitas politik presiden Indonesia.
Meskipun Islam terekspresikan secara simbolik sebagai penanda identitas politik, menariknya tidak satu pun presiden terpilih dengan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Semua presiden tetap setia pada konsensus nasional bahwa Pancasila, bukan Islam, adalah dasar negara Indonesia merdeka. Dan republik ini didirikan oleh para pendiri bangsa atas dasar Pancasila. ”Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah,” tegas Soekarno pada pidato 1 Juni 1945, ”kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” ”Dan Indonesia Merdeka yang kekal abadi itu,” lanjutnya, ”haruslah Pancasila.”
Kesadaran bagi seorang presiden untuk menjiwai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia membawa implikasi pada kemenangan politik kebangsaan. Rakyat Indonesia, sekalipun mayoritas umat Islam, memberikan preferensi politik kepada presiden dengan paham nasionalis yang otentik dan kuat.
Sebaliknya, mereka yang memiliki kredensial keislaman yang ideologis justru tidak pernah menjadi pilihan politik umat Islam dan warga negara umumnya. Sejarah membuktikan bahwa presiden Indonesia selalu berasal dari mereka yang berpegang teguh pada falsafah kebinekaan, nilai Pancasila, amanah konstitusi, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsensus mulia ini semestinya menjadi pegangan dan panduan politik bagi siapa pun yang ingin meraih jabatan presiden. Bahkan, para kandidat yang unggul di seluruh survei presiden 2024 terbukti berasal sepenuhnya dari mereka yang beragama Islam dan berpaham nasionalis yang kokoh.
Agama Islam dan paham nasionalis itu ternyata harus ditopang dengan kenyataan sejarah bahwa presiden berasal dari Jawa, suku yang paling besar dan dominan dalam kekuasaan politik Indonesia. Reformasi yang menghasilkan pemilihan langsung satu orang satu suara semakin memperkukuh dominasi kekuasaan politik Jawa.
Dengan basis elektoral terbesar yang berpusat di Jawa, hanya presiden yang berasal dari Jawa dan mengetahui betul tentang karakter masyarakat Jawa yang akhirnya mampu memenangi kontestasi presiden. Mereka yang bukan berasal dari Jawa harus memiliki kesabaran yang tak terbatas untuk bisa memikat hati masyarakat Jawa dan akhirnya terpilih sebagai presiden.
Demokrasi kita tampaknya butuh waktu yang sangat lama untuk mampu keluar dari dominasi presiden yang beragama Islam, berpaham nasionalis, dan berasal dari suku Jawa. Ke depan, kita semua tentu menaruh harapan ideal bahwa ide yang brilian, kreatif, dan inovatif untuk kemajuan Indonesia Raya yang menjadi faktor penentu bagi terpilihnya seorang presiden, terlepas dari perbedaan agama, suku, dan paham apa pun.