Jalan Terjal Transisi Energi
Efisiensi produksi listrik di Indonesia masih tertinggal dibanding rata-rata ASEAN. Selain harus tersedia cukup, kualitasnya handal dan harganya terjangkau, energi harus berkelanjutan.
Salah satu topik yang diperbincangkan di forum G20 saat ini adalah transisi energi. Indonesia tampil di forum-forum tersebut bukan sebagai panutan atau motivator melainkan lebih sebagai “pesakitan”. Indonesia sering “diadili” terkait dengan lambatnya proses transisi energinya. Berkali-kali Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia akan mencapai nol emisi (net zero emission) tahun 2060 atau lebih cepat, sepuluh tahun lebih lambat dari target PBB dan komunitas internasional.
Sebenarnya akses energi sebagai salah satu indikator SDG (Sustainable Development Goal) di Indonesia telah mencapai 99,45 persen pada 2021. Hal itu berarti 247,25 juta dari 275,77 juta penduduk Indonesia telah menikmati listrik. Angka ini jauh melebihi kondisi global dimana 13 persen penduduk dunia belum memproleh listrik. Dengan pencapaian yang hampir 100 persen tersebut, apakah permasalahan energi (listrik) di Indonesia sudah selesai?
Berbasis kepada “trilemma energy”, para pemangku kepentingan tidak hanya menyediakan energi yang cukup tetapi juga harus handal (reliable). Produsen energi harus menyalurkan listrik sesuai tingkat mutu layanan tertentu selama 24 jam ke konsumen. Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar karena frekuensi gangguan dan lamanya gangguan rata-rata per pelanggan masih di atas rata-rata ASEAN.
Berikutnya, energi listrik harganya harus terjangkau (affordable). Selain memenuhi aspek keadilan sosial, harga yang terjangkau akan mendorong daya saing industri dan menjaga stabilitas laju inflasi. Efisiensi produksi listrik di Indonesia juga masih tertinggal dibanding rata-rata ASEAN. Selain harus tersedia cukup, kualitasnya handal dan harganya terjangkau, energi harus berkelanjutan (sustainable).
Karena itu produksi listrik harus lebih banyak menggunakan sumber-sumber energi terbarukan. Lebih dari 80 persen pasokan energi Indonesia masih mengandalkan energi fosil. Selain ancaman volatilitas harga yang berdampak kepada biaya produksi listrik, ketergantungan kepada energi fosil juga telah menaikkan emisi karbon. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah penyumbang terbesar emisi karbon dengan sekitar 43 persen dari total emisi.
Tentu tidak mudah melakukan optimasi ketiganya. Pengembangan energi terbarukan -khususnya energi matahari dan angin- akan menaikkan kelestarian tapi menaikkan risiko kehandalan dan keterjangkauan.
Produksi listrik harus lebih banyak menggunakan sumber-sumber energi terbarukan.
Ada dua mazhab pengembangan energi di Indonesia: energi murah dan energi bersih. Yang pertama lebih mengedepankan pendekatan keekonomian dalam membangun infrastruktur energi agar harganya tetap murah sehingga tercipta pemerataan sosial dan mendukung daya saing industri nasional.
Mazhab kedua lebih mementingkan aspek keberlanjutan dan memperhitungkan daya dukung lingkungan. Pengembangan energi dilihat dari perspektif jangka panjang. Di samping perseteruan dua mazhab itu, muncul tantangan global berupa transisi energi yang didorong oleh dekarbonasi, digitalisasi, dan desentralisasi.
Dekarbonisasi telah menaikkan signifikan rasio energi terbarukan terhadap produksi listrik dunia. Ada tambahan kapasitas energi surya dari 15 GW di tahun 2007 menjadi 590 GW di tahun 2018. Energi angin melonjak dari 50 GW tahun 2005 menjadi 400 GW tahun 2018. Dekarbonisasi juga mendorong adopsi teknologi rendah emisi seperti kendaraan listrik sebagai mode transportasi masa depan.
Digitalisasi telah mengarahkan industri ke era 4.0 dengan tingkat konektivitas yang eksponensial. Sejak 2008, jumlah konektivitas sudah melampaui jumlah penduduk, mengindikasikan bahwa konektivitas bukan hanya antar orang tetapi juga antara orang dengan mesin dan mesin dengan mesin. Hal ini ditandai dengan maraknya aplikasi internet untuk bebagai kebutuhan (IoT), kecerdasan buatan dan sistem cerdas yang mengarah kepada otomasi digital di sektor energi.
Desentralisasi dipacu oleh adopsi teknologi pembangkit yang terdistribusi (distributed power generation) dan baterai. Konsumen tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada perusahaan utilitas untuk mendapat pasokan listrik tetapi bisa memproduksi sendiri bahkan memasok balik ke jaringan listrik.
Desentralisasi memunculkan era prosumer; pelanggan tidak hanya sebagai konsumen tetapi bisa sebagai produsen energi. Transisi energi menempatkan mazhab energi bersih di atas angin saat ini. Namun demikian pasar energi listrik di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil.
Dominasi Energi Fosil
Energi fosil masih dominan dalam penyediaan listrik di Indonesia. Kontribusinya mencapai 87,26 persen, terdiri atas batu bara (66,03 persen), gas alam (19,01 persen) dan BBM (2,22 persen). Proyek 10.000 MW di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berbasis pembangkit batu bara, kemudian dilanjutkan dengan program 35.000 MW di era Joko Widodo yang juga bertumpu pada batu bara, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengandalkan fosil untuk kebutuhan energi listriknya.
Melemahnya keuangan PLN (dan Pemerintah) telah membuka peluang swasta untuk masuk ke sektor ini. Melalu mekanisme IPP (Independent Power Producer), pihak swasta mendapatkan kontrak jangka panjang (20-30 tahun) untuk ikut memasok kebutuhan listrik melalui penjualan ke PLN dan kemudian PLN meneruskannya ke konsumen melalui jaringan yang dimilikinya.
Kontribusi IPP naik terus dari 22,56 persen di tahun 2004 menjadi 38,64 persen di tahun 2020. Dominasi pembangkit fosil PLTU oleh IPP membuat peran swasta harus dipertimbangkan. Apalagi kondisi permintaan yang tidak sesuai rencana membuat kondisi pasar energi listrik di Indonesia pada status kelebihan pasokan.
Meskipun sudah ada moratorium penghentian PLTU, masuknya pembangkit-pembangkit fosil milik IPP masih akan berlanjut sebagai konsekwensi dari program 35.000 MW. Kondisi ini telah menidurkan pembangkit-pembangkit listrik PLN bahkan meningkatkan kewajiban PLN untuk membayar energi tidak terpakai dari IPP akibat klausul ambil atau bayar (take or pay).
Hanya ada dua acara untuk mengurangi dominasi fosil dan memberi ruang bagi energi terbarukan dalam kondisi kelebihan pasokan saat ini. Pertama, pembatalan kontrak IPP antara PLN dengan swasta. Kedua, melakukan negosiasi dengan IPP untuk meminimalkan dampak makin banyaknya kapasitas energi tidak terpakai akibat konsumsi yang rendah dan banyaknya pembangkit fosil yang masuk.
Pilihan pertama bukan hal yang mudah dan berisiko tinggi. Pada kasus IPP pembangkit panas bumi Karaha Bodas, tribunal dibawah United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) tahun 1999 memenangkan gugatan dua perusahaan asing dan menghukum Pemerintah Indonesia untuk membayar USD 572 juta kepada mereka. Kekalahan pahit ini sepertinya menjadi trauma bagi pemerintah sehingga opsi ini belum pernah dilakukan kembali.
Maka renegosiasi kontrak IPP perlu dilakukan dengan berbagai variasi penyelesaian. Pertama, penyesuaian COD (Commercial of Date) atau masuknya PLTU ke pasar ketenagalistrikan secara komersial. Masuknya PLTU-PLTU baru diundur sesuai kondisi pasokandan permintaan agar tidak berdampak kepada makin banyaknya kapasitas berlebih yang tidak terpakai tetapi tetap dibayar oleh PLN. Kedua, penyesuaian tentang besarnya kapasitas energi yang harus diserap dari pembangkit IPP. Ini akan menurunkan kemungkinan energi tak terpakai dan batas penalti “take or pay” yang harus dibayarkan PLN.
Ketiga, penyesuaian harga pembelian dengan mempertimbangkan kondisi pasar energi dan keuangan PLN. Ini sebenarnya langkah untuk menanggung bersama kelebihan kapasitas listrik berdasarkan semangat pulih bersama. Keempat, melakukan konversi jenis pembangkit fosil ke energi terbarukan. Co-firing biomasa untuk PLTU misalnya, memungkinkan pembangkit lebih ramah lingkungan tanpa perubahan harga.
Kelima, melibatkan IPP untuk ikut mempensiunkan dini PLTU yang dikenal dengan Energy Transition Mechanism (ETM). Ini akan membentuk kemitraan publik-swasta yang akan membeli PLTU dan menghentikan operasinya lebih cepat dari usia normalnya.
Skenario 1 sampai 3 untuk mengurangi dampak finansial program 35.000 MW terhadap pasar ketenagalistrikan dengan turunnya pembayaran take or pay oleh PLN. Sedangkan skenario 4 dan 5, untuk mengurangi dominasi pembangkit fosil dan memberi ruang lebih kepada pengembangan energi terbarukan. Kabar baiknya, ternyata skenario 1 dan 2 sudah dijalankan oleh PLN sebagai off taker.
PLN berhasil melakukan negosiasi berupa pengunduran waktu COD dan juga kesepakatan take or pay dengan nilai lebih rendah dari kontrak. Pengurangan capability factor untuk take or pay dari 80 menjadi 70 persen serta pengunduran waktu komersialiasi PLTU dari 17 IPP berhasil menekan kerugian sebesar Rp 37,1 triliun. Solusi tersebut tentunya bisa makin diperbesar melalui skenario 3. Diharapkan juga peluang masuknya energi terbarukan akan lebih besar dengan skenario 4 dan 5.
Yang lebih penting adalah revisi fundamental terhadap skema kerjasama dengan IPP. Dengan mekanisme kontrak berbasis capacity payment, asset life cycle dan biaya bahan bakar ditanggung oleh PLN, maka posisi IPP akan selalu untung dan terjamin selama usia pembangkit listrik. Semua risiko terkait kondisi pasar, fluktuasi harga bahan bakar dan nilai tukar menjadi tanggung jawab PLN.
Menempatkan PLN sebagai off-taker di pasar ketenagalistrikan seperti ini sama saja dengan membebankan semua risiko di pundak pemerintah. Akhirnya keberhasilan transisi energi lagi-lagi tergantung kepada kemampuan fiskal pemerintah.
Zainal Arifin, dosen Program Studi Pasca Sarjana di Institut Teknologi PLN dan pengurus Indonesia Strategic Management Society.
Email: zainal_pln@yahoo.com