Aktivisme Digital Kaum Muda
Bagi kaum muda, bersuara di media sosial merupakan cara terbaik untuk merespons peristiwa-peristiwa. Pesan-pesan aktivisme kaum muda di media sosial memiliki kecenderungan kuat memengaruhi publik.
Beberapa dekade yang lalu, sebelum telekomunikasi ada, orang-orang perlu membawa poster untuk menyuarakan aspirasi mereka di tengah jalan. Pada masa itu, aktivisme turun ke jalan ternyata ampuh dan efektif.
Hitler dalam bukunya berjudul Mein Kampf bahkan secara gamblang menyebutkan bahwa membawa poster yang sudah dibuat sedemikian rupa juga terbukti mampu menyampaikan propaganda. Tidak butuh kata-kata ilmiah, seni poster mampu menarik perhatian dengan bentuk dan warna—memberi gagasan tentang ”nilai penting” kepada publik.
Akan tetapi, cara-cara menyuarakan aspirasi turun ke jalan mulai perlahan bermetamorfosis seiring perubahan zaman. Untuk turun ke jalan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Orang-orang harus merogoh kantong dalam-dalam untuk memobilisasi massa, mencetak selebaran atau pamflet dan mendistribusikannya, belum lagi biaya bensin untuk berkeliling, advokasi publik, dan lain-lain.
Baca juga: Pemuda Era Digital Berbeda dengan Pemuda Masa Lalu
Kini, era digital telah mengubah cara orang menyuarakan aspirasi. Siapa pun—tanpa biaya mahal, tanpa turun ke jalan—bisa menjadi aktivis di media sosial, misalnya. Media sosial memberikan kesempatan kepada individu bersuara, yang mungkin tidak memiliki kesempatan, kemampuan untuk mengekspresikan dan berbagi pendapat pribadi mereka dalam arus komunikasi yang kian cepat ini. Era digital membentuk orang-orang yang mampu menghabiskan beberapa menit di depan layar ponsel, menyusun kata-kata dan menyebarkan tweet untuk mendapatkan atensi publik.
Aktivis digital
Hari ini, kaum muda kita telah hidup dalam masyarakat yang sebagian besar komunikasi mereka terjadi melalui teknologi komunikasi yang canggih. Kecepatan telekomunikasi saat ini sulit diprediksi, membentuk realitas baru, menonjolkan orang-orang dengan preferensi dan minatnya. Berkat media sosial, kesempatan kaum muda untuk didengar, mendapatkan pengaruh dan popularitas datang begitu cepat serta tak terbendung.
Baru-baru ini, tagar #Demo menjadi trending di Indonesia dengan lebih dari 98.000 kali cuitan dan tagar #Mahasiswa dengan 37.000 kali cuitan. Gerakan-gerakan sosial dari berbagai perguruan tinggi mendominasi gelombang protes ini di Twitter. Aksi protes mahasiswa lewat media sosial pun mulai menggeliat. Ribuan kata-kata ”bermakna” serta meme-meme bertebaran, menggambarkan respons mereka terhadap kenaikan harga BBM.
Tidak bisa dimungkiri, aktivis zaman sekarang perlahan menjadikan media sosial sebagai salah satu sumber daya utama untuk menyuarakan aspirasi mereka, terutama bagi mereka yang pesannya mungkin bertentangan dengan arus utama. Ketika terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, jejaring sosial kaum muda memainkan peran penting dalam mengungkap peristiwa demi peristiwa ke dunia luar.
Tidak bisa dimungkiri, aktivis zaman sekarang perlahan menjadikan media sosial sebagai salah satu sumber daya utama untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Pada 2018, Al-Sharif dalam tulisannya berjudul The Dangers of Digital Activism di The New York Times menggambarkan bahwa media sosial memang diciptakan sebagai sarana untuk menyatukan semua orang secara daring (online), termasuk para aktivis digital itu sendiri.
Menurutnya, media sosial memungkinkan para aktivis digital terhubung dengan individu yang berpikiran sama, memobilisasi massa, membentuk opini publik, mengadvokasi perubahan sosial, dan mampu memicu revolusi.
Tetapi, perlu disadari bahwa aktivisme media sosial ini juga datang dengan risiko: data-data yang ada digunakan untuk melawan kita, semakin banyak kita berinteraksi dan mem-posting, semakin banyak pula kita terpapar. Informasi yang dikumpulkan dari waktu ke waktu memuat tentang minat, kesukaan, kebiasaan, pendapat, pandangan politik, dan informasi pribadi para pengguna. Yang paling saya khawatirkan apabila media sosial mulai digunakan untuk sarana perpecahan, memicu polarisasi, menciptakan politik identitas, politik kebencian dan ini tentu sangat berdampak negatif dalam realitas sosial-kemasyarakatan kita.
Fenomena penghakiman lewat media sosial adalah salah satu dari banyak hal menakutkan tentang dunia sekarang ini. Kaum muda boleh berkomentar apa pun. Mereka dapat membuat informasi berdasarkan emosi pribadi atau kelompok. Mereka tidak perlu memiliki pengetahuan apa pun tentang sesuatu, atau keahlian apa pun terhadap isu-isu tertentu. Ini ibarat berdiri di hadapan orang yang dihakimi dan memuntahkan kebencian serta tuduhan tanpa pikir panjang.
Promosikan slacktivisme?
Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa aktivisme digital kaum muda tidak memenuhi syarat sebagai aktivisme sejati, dan mempromosikan slacktivisme. Seperti yang diungkapkan dalam Slacktivists or activists? millennial motivations and behaviors for engagement in activism, aktivisme media sosial tidak efektif karena tidak lebih dari ”push button activism” (Dookhoo & Dodd, 2019).
Maksudnya, aktivisme digital gagal diterjemahkan ke dalam perubahan sosial atau politik transformatif di ranah offline. Ini disebabkan oleh aktivisme digital berbiaya rendah dan berisiko rendah tadi: pengguna mengklik ”favorit” atau ”retweet”, menandatangani petisi online, berbagi video tentang suatu kejadian, mengubah gambar profil mereka sebagai sarana untuk menunjukkan dukungan, tetapi gagal mengambil tindakan langsung dengan turun ke jalan.
Buku bertajuk Social Media: A critical introduction, (Fuchs, 2021) menyebutkan bahwa aktivisme melibatkan risiko tinggi dan ikatan sosial yang kuat, yang tidak dimungkinkan oleh media sosial. Menurutnya, aktivisme turun ke jalan lebih menunjukkan keterikatan emosi antar-aktivis. Akan tetapi, apa yang tidak dipertimbangkan oleh argumen ini adalah bahwa tidak semua individu memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan turun ke jalan.
Baca juga: Yang Muda yang Bergerak
Bagi kaum muda, bersuara di media sosial adalah cara terbaik yang dapat dilakukan dalam merespons peristiwa-peristiwa yang ada. Faktanya, pesan-pesan aktivisme kaum muda di media sosial justru memiliki kecenderungan kuat memengaruhi publik ketimbang mereka yang turun ke jalan. Maka, menawarkan gagasan mereka kepada publik adalah bagian dari komponen dan kekuatan penting dari aktivisme digital itu sendiri.
Aktivis tagar mulai menjamur
Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh kaum muda di media sosial adalah penggunaan tanda hashtag. Hashtag adalah fungsi Twitter yang memungkinkan pengguna untuk merampingkan tweet mereka pada satu tema, masalah, atau fokus (Goswami, 2018).
Tahun 2011, kekuatan aktivisme tagar menjadi sangat jelas ketika rakyat memprotes pemilu di Iran. Semenjak itu, para aktivis telah gencar menggunakan berbagai tagar, seperti #JusticeForTrayvon, #BlackLivesMatter, #YesAllWomen, dan #MeToo untuk mengadvokasi, memobilisasi, dan berkomunikasi.
Misalnya, melalui Twitter dan penggunaan hashtag, banyak gerakan sosial seperti #MeToo dan #BlackLivesMatter menjadi trending topik di masyarakat, di mana orang-orang yang selalu dibungkam diberi wadah untuk angkat bicara. Popularitas tagar ini kemudian langsung melonjak naik ketika berbagai platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube, Reddit, Tumblr, dan Pinterest mengubah teknik pemasaran dan mendukung ide-ide penggunaan tagar dalam layanan mereka.
Bagi sebagian orang, aktivis tagar memang sangat ampuh memobilisasi orang terhadap isu tertentu. Misalnya, tagar #PercumaLaporPolisi pernah menjadi trending di Twitter setelah seorang ibu melaporkan suaminya karena memerkosa tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tagar #PercumaLaporPolisi kemudian menjadi bentuk ekspresi kekecewaan atau ketidakpercayaan publik terhadap polisi karena dianggap lamban menangani kasus-kasus tertentu.
Aktivis tagar mungkin menemukan alasan yang mereka setujui dan merasa senang karena melihat petisi dengan banyak ”like”, akan tetapi melakukan hal itu jarang menghasilkan perubahan nyata di publik. Sebagian besar kelompok aktivis lapangan lebih suka jika kaum muda menghadiri pertemuan, menyumbang, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu secara langsung.
Baca juga: Jangan Percuma Lapor Polisi
Ada banyak kaum muda hanya memberi like atau share tanpa mempertanyakan integritas konten di media sosial. Media sosial menjadi “sarang” beracun karena kaum muda tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan dan ikut menyebarkan sumber yang tidak bisa dipastikan kesahihannya.
Alam demokrasi telah memungkinkan kaum muda untuk mengekspresikan keprihatinan dan pendapat mereka di media sosial. Mereka perlu memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, bukan sekadar retorika menggelegar belaka, bukan pula ”gagah-gagahan” demi mencari popularitas atau panggung sosial setelah itu menghilang. Sejatinya, ruang digital seharusnya menciptakan kesadaran kritis kaum muda akan isu-isu yang berkembang di masyarakat serta mampu memecahkan masalah yang ada bersama-sama.
Roy Martin Simamora, Pengajar di ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan