Anjing penjaga alias watch dog bukan lagi jurnalisme—apalagi dengan jurnalisme yang sangat merosot mutunya—melainkan netizen.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
DIDIE SW
.
Ada isu apa hari ini? Setiap saat otak kita diobok- obok oleh berbagai unggahan yang tampaknya memang disengaja untuk memprovokasi agar kita menjadi sama tidak warasnya dengan si pengunggah berita, kabar, pernyataan, dan segala jenis sampah informasi. Setelah Sambo mulai bikin lelah, Bjorka berangsur menjadi kurang menarik, hantu komunisme tak tahu mengapa belum nongol, padahal ini September, entah apa lagi bakal dinikmati oleh otak kita yang lapar isu.
Subaltern, istilah untuk menggambarkan pihak inferior yang tidak bisa mengungkapkan dan menyatakan dirinya seperti dulu pernah diteorikan oleh Gramsci, kini tiada lagi. Semua manusia selagi masih napas bisa mengungkapkan apa saja, dengan konsekuensi dijerat UU ITE, terlebih kalau sampeyan bukan di pihak penguasa.
Setiap zaman memiliki krisis masing-masing. Melalui kemajuan teknologi informasi sekarang, tirani kekuasaan kalang kabut menghadapi kebebasan. Anjing penjaga alias watch dog bukan lagi jurnalisme—apalagi dengan jurnalisme yang sangat merosot mutunya—melainkan netizen. Percakapan warung kopi yang pada masa lalu tidak punya implikasi apa-apa karena cuma didengar teman sesama ngopi sekarang bisa disebarkan ke seluruh dunia.
Sibuk kita harus menanggapi apa saja. Selain penguasa yang pasti menguasai segala sumber daya untuk memproduksi kebohongan, juga terdapat buzzer, influencer, dan sejenisnya, termasuk blogger, endorser, untuk dunia konsumsi.
Dulu dikenal istilah bahwa kekuasaan adalah soal mengingat dan melupakan. Penguasa memproduksi dan mereproduksi sejarah, mana boleh diingat dan mana harus dilupakan (bagi saya pribadi sejarah adalah mimpi buruk, saya senantiasa ingin bangun dari mimpi buruk tersebut).
Dalam ruang dan waktu era digital, strategi melanggengkan kekuasaan dibikin lebih praktis. Buat apa bikin narasi sejarah yang runut dan kredibel kalau orang percaya Hitler lahir di Garut. Untuk masyarakat yang pendek, ingatan sejarah bisa dibikin ngawur-ngawuran. Tak kalah efektif letupan isu pendek tiap hari.
Belum lama saya ketemu petinggi politik yang mengaku di kantongnya ada daftar isu yang siap digulirkan setiap kali partainya terkena serangan. Dengan daftar panjang yang dimilikinya, ia siaga menyebarluaskan apa saja, kecuali kebenaran. Istilahnya: the obstruction of truth.
Saya membayangkan the obstruction of truth itu seperti permainan di kampung semasa kecil. Di kampung ayam diumbar mencari makan sendiri. Untuk menangkapnya ketika dibutuhkan, caranya adalah dengan membikin contong dari daun pisang. Di tengah contong disilangkan lidi dengan biji jagung tertusuk di tengah. Ketika ayam mematuk biji jagung, seketika kepalanya tertutup contong. Kehilangan pandangan, ayam kelabakan kehilangan orientasi. Mudah menangkapnya untuk digoreng, dibikin opor, sama seperti manusia yang kehilangan pandangan mudah dikuasai untuk digoreng memuja siapa, mengagungkan apa, menyerang siapa, dan seterusnya.
Terus terang, gara-gara teman yang mengaku memiliki daftar panjang pengalihan isu tadi saya menulis catatan ini sebagai upaya coba-coba pengalihan isu juga. Isu, entah isu lama, basi, aktual, adalah urusan kesadaran. Kesadaran berkaitan dengan ruang dan waktu. Untuk menguasai kesadaran orang lain, seperti halnya kita berhadapan dengan orang lain dalam urusan apa saja, kuasai ruang dan waktunya. Itulah pandangan kosmologis mereka yang percaya bahwa manusia adalah jagat alit representasi jagat besar.
Ruang untuk berbagi, sebaliknya waktu yang sejatinya milik diri sendiri pada era digital ini dalam banyak hal dikuasai pihak lain, yakni produsen isu dengan berbagai kepentingannya. Dari bangun tidur kita berpapasan dengan unggahan informasi yang mengganggu pikiran, memprovokasi perpecahan, mengobarkan permusuhan, tak ketinggalan nasihat-nasihat tentang kebajikan hidup. Banyak manusia agaknya bercita-cita jadi nabi.
Saya menulis catatan ini di rumah teman di Magelang sembari memandang Gunung Sumbing di kejauhan. Nepal van Java. Di sekeliling ruangan tempat saya menulis bertaburan karya seni kelas wahid, art work seni rupa modern ataupun kontemporer.
Melalui alam dan kebudayaan sebaiknya kita bertahan tidak terseret dalam permainan ruang dan waktu pihak lain. Mereka punya segudang isu, saya mempertahankan isu saya sendiri yang selalu saya anggap aktual, yakni kebenaran, kejujuran, kewajiban, kemanusiaan, cinta kasih, dan kembali (return).