Pandemi Covid-19 mendongkrak ”uang menganggur” dan mendorong sebagian orang berinvestasi melalui layanan teknologi finansial atau tekfin. Berikut adalah hal-hal yang perlu dicermati untuk berinvestasi melalui tekfin.
Oleh
RIANI SAGITA
·4 menit baca
Hadirnya pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 telah meningkatkan idle money atau uang menganggur bagi sebagian orang karena sejumlah anggaran, seperti dana liburan, masih belum sepenuhnya dapat digunakan. Dana yang belum terpakai ini dapat kita manfaatkan untuk berinvestasi. Salah satu pilihan investasi yang dapat dipilih adalah melalui teknologi finansial (tekfin) atau yang umumnya disebut fintech (financial technology).
Dua dari tekfin yang dapat dimanfaatkan untuk investasi adalah tekfin peer-to-peer lending (P2P lending) dan securities crowd funding (SCF). Selain membuka peluang untuk investasi, P2P lending dan SCF juga memberikan kesempatan untuk membantu pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mendapatkan dana guna mengembangkan usaha.
Proses yang mudah, cepat, dan syarat yang sederhana memudahkan UMKM yang belum terjangkau layanan perbankan mengajukan pinjaman melalui P2P lending dan SCF.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (P2P lending), pemberi dana adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang memberikan pendanaan. Batas maksimum pendanaan oleh setiap pemberi dana dan afiliasinya paling 25 persen dari posisi akhir pendanaan pada akhir bulan.
Sedangkan dalam POJK Nomor 57 Tahun 2020 tentang SCF, pemodal individu dapat menjadi investor dengan nilai 5 persen dari penghasilan tahunan jika pendapatan tahunan di bawah atau sama dengan Rp 500 juta dan 10 persen dari penghasilan tahunan untuk pemodal individu yang memiliki pendapatan tahunan di atas Rp 500 juta.
Dengan kata lain, bagi individu yang telah memenuhi kriteria di atas dan memperhatikan ketentuan yang berlaku, dapat melakukan investasi melalui P2P lending atau SCF. Namun, perlu dipahami bahwa setiap investasi memiliki risiko.
Berikut adalah hal-hal yang perlu dicermati untuk berinvestasi dalam P2P lending atau SCF:
Pertama, penyelenggara P2P lending dan SCF harus telah berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pemodal atau pemberi pinjaman agar memastikan bahwa penyelenggara yang memfasilitasi telah mendapatkan izin dari OJK. Ada baiknya untuk selalu melakukan pembaruan (update) terhadap daftar penyelenggara yang telah terdaftar sebelum melakukan investasi.
Kedua, cermati baik-baik UMKM yang akan diberikan dana, baik dalam P2P lending atau SCF. Kecermatan ini erat kaitannya dengan pemilihan UMKM yang sifatnya produktif, di mana keadaan fundamental dan keuangan UMKM tersebut dapat terukur. Informasi mengenai tujuan penggunaan dana dan imbal hasil dapat dilihat dari prospektus masing-masing UMKM.
Ketiga, bandingkan prospek imbal hasil. Terdapat perbedaan imbal hasil antara P2P lending, SCF dalam bentuk saham, dan SCF dalam bentuk surat utang/sukuk.
Dalam P2P lending dan SCF surat utang/sukuk, pemberi pinjaman atau pemodal akan mendapatkan imbal hasil tetap yang telah ditentukan besarannya. Sementara untuk SCF dalam bentuk saham, pemodal akan mendapatkan imbal hasil dalam bentuk dividen yang nilai tingkat pengembaliannya tidak dapat ditentukan di awal, melainkan sangat bergantung pada kinerja UMKM tersebut.
Keempat, khusus untuk P2P lending, pemberi dana agar memperhatikan TKB90, yaitu tingkat keberhasilan bayar (TKB) di mana penyelesaian pembayaran terhitung dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana diatur dalam POJK 10/2022.
Hal itu bisa dijadikan indikator untuk menilai kinerja pendanaan penyelenggara P2P lending. Sedangkan khusus untuk SCF, pemodal agar mematuhi batas investasi yang telah ditentukan dalam POJK 57/2020.
Kelima, gunakan idle money. Untuk melakukan investasi sebaiknya menggunakan dana yang memang tidak digunakan untuk apa pun, yakni dana yang sudah dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan utama dan dikurangi dana darurat.
Keenam, siapkan rencana tidak terduga. Setiap investasi pasti memiliki risiko. Sebaiknya buatlah rencana cadangan yang realistis dan tidak mudah tergiur investasi yang memiliki imbal hasil terlalu tinggi.
Ketujuh, sabar menunggu imbal hasil dari investasi. Investasi bukan merupakan suatu pekerjaan instan. Investasi yang tidak bodong akan memberikan rentang waktu imbal hasil dengan wajar di mana nilai imbal hasilnya dapat terukur dengan baik. Dan, yang terpenting, don’t put your money in one basket. Usahakan memegang prinsip diversifikasi dengan melakukan investasi ke beberapa jenis investasi guna mengurangi risiko kerugian imbal balik nilai investasi.
Terakhir, pemodal atau pemberi pinjaman juga perlu memahami risiko yang mungkin timbul dari proyek investasi yang didanai melalui P2P lending dan SCF, antara lain risiko kegagalan operasional penyelenggara dan risiko proyek atau rencana UMKM tidak berjalan. Di sisi lain, untuk SCF dalam bentuk saham juga terdapat risiko efek tidak likuid dan risiko tidak mendapatkan dividen dikarenakan kinerja UMKM tersebut belum membaik.
Setelah memahami risiko dan hal yang perlu dicermati dalam berinvestasi, pemodal atau pemberi pinjaman dapat melakukan investasi melalui P2P lending atau SCF dan membantu bangkitnya UMKM Indonesia.