Di tengah arus globalisasi yang berdampak besar terhadap kehidupan, peran bahasa daerah masih dibutuhkan. Sangat disayangkan jika bahasa daerah yang memuat begitu banyak budaya dan kearifan lokal akhirnya punah.
Oleh
Teguh Candra
·4 menit baca
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara-bangsa yang besar. Selayaknya kita bangga menjadi bagian dari Nusantara. Berdasarkan data Subdirektorat Pengembangan Pemetaan Statistik Badan Pusat Statistik tahun 2021, Indonesia memiliki 16.766 pulau dengan luas wilayah mencapai 1.916.906,77 kilometer persegi.
Wilayah yang begitu luas dengan kekayaan yang bukan alang kepalang ini menuntut tanggung jawab besar sehingga lahirlah: ”Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia”.
Di dalam lembaran Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) menyediakan 1.331 kategori suku. Kategori itu merupakan kode untuk nama suku, nama lain atau alias suku, nama subsuku, dan nama sub dari subsuku.
Bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), pada tahun 2013 BPS berhasil mengerucutkannya menjadi 633 kelompok suku besar.
Ratusan kelompok suku besar itu semakin mengukuhkan pilar bangsa sehingga lahirlah: ”Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia”.
Sementara itu, berdasarkan penelitian untuk pemetaan bahasa yang dilakukan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada kurun 1991-2019, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang telah tervalidasi, tidak termasuk dialek dan subdialek. Jumlah tersebut diperoleh hanya dari 2.560 daerah pengamatan.
Adapun dalam Ethnologue 2018, baik versi web maupun cetak yang diterbitkan oleh The Summer Institute of Linguistics (sekarang SIL International), sebuah lembaga jasa penelitian linguistik, Indonesia memiliki 719 bahasa daerah.
Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara kedua setelah Papua Niugini dengan jumlah bahasa daerah terbanyak (Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia Edisi Keenam, 2019). Papua Niugini memiliki 851 bahasa daerah.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia yang multikultur dan multilingual membutuhkan jembatan penghubung dan ikatan yang mempersatukan. Lahirlah: ”Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”.
Sumpah Pemuda lahir jauh sebelum pemetaan bahasa dilakukan, bahkan jauh sebelum republik ini memproklamasikan diri. Kesadaran sebagai warga Nusantara menggiring para pemuda dalam Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928, berikrar satu tumpah darah, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.
Sudah sepantasnya kita berterima kasih kepada bahasa Indonesia yang telah berperan sebagai jembatan komunikasi bangsa. Akan tetapi, kini, alih-alih mempertanyakan nasib bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bagaimana dengan nasib bahasa daerah? Semakin berkembang ataukah makin renta dan hilang ditelan zaman?
Jika bahasa yang memiliki sistem aksara dan penulisan saja bisa lenyap, bagaimana dengan nasib bahasa yang hanya mengandalkan tuturan alias lisan dalam pewarisan antargenerasi?
Sangat disayangkan apabila bahasa daerah yang memuat begitu banyak budaya dan kearifan lokal akhirnya menyerah kalah dan punah bersama sirnanya penutur terakhir bahasa itu.
Satu bahasa daerah lenyap, mati pula budaya dan sistem pengetahuan para penuturnya yang juga merupakan bagian dari budaya dan sistem pengetahuan dunia.
Apabila bahasa daerah satu per satu melemah dan akhirnya mati, ditambah tidak adanya kepedulian dari generasi saat ini, bisa dikatakan bahwa kita juga turut berperan dalam musnahnya budaya dan sistem pengetahuan leluhur Nusantara itu.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal PAUD Dikdas dan Dikmen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memang telah meluncurkan episode Revitalisasi Bahasa Daerah melalui Merdeka Belajar.
Sebanyak 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 1.175 pengawas, 17.955 kepala sekolah, 29.370 guru, dan 1,5 juta siswa di 15.236 daerah menjadi sasaran awal.
Melalui program tersebut diharapkan bahasa daerah dapat kembali menggeliat dan berkembang. Tidak hanya bahasa daerah dengan jumlah penutur yang besar, tetapi juga yang jumlah penuturnya minim dan dari wilayah terpencil.
Dibutuhkan kepedulian bersama untuk melanjutkan pemetaan bahasa daerah. Kemudian, memperkenalkannya kepada generasi kekinian yang akan meneruskan upaya pelestarian bahasa daerah agar semakin mengakar kuat tak goyah meski dihantam badai kebudayaan asing.
Kini, setelah 77 tahun merdeka, sampai di mana perkembangan bahasa daerah di Nusantara?
Apa pun hasilnya, setidaknya ada pembaruan data yang berguna untuk mengetahui kondisi bahasa daerah di Nusantara, masyarakat penuturnya, dan sistem pengetahuan leluhur atau kearifan lokal yang terkandung.
Kini, setelah 77 tahun merdeka, sampai di mana perkembangan bahasa daerah di Nusantara? Mari kembali merawat dan menghidupi bahasa daerah. Sebab, bagaimanapun, banyak kosakata bahasa daerah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan membuatnya semakin kuat sebagai bahasa persatuan. Jangan sampai bahasa Indonesia menjadi rapuh karena kehilangan akar-akar penunjangnya.