Bicara memanasnya Bumi, dengan suhu permukaan terus meningkat, sudah jadi hal rutin. Sidang Umum PBB kali ini menjadi ajang penggaungan kembali soal ini.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
SALVATORE DI NOLFI/KEYSTONE VIA AP
Sekjen PBB Antonio Guterres
Menjelang Sidang Umum berlangsung pekan ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengingatkan bahwa situasi dunia sekarang ini sedang dalam bahaya. Ada konflik, lonjakan harga pangan dan energi yang memicu inflasi, hingga terganggunya pencapaian target mencegah pemanasan Bumi 1,5 derajat celsius pada 2050 (Kompas, 21/9/2022).
Keadaan seperti disebut Sekjen PBB nyata, dan meminjam ungkapan Inggris, itu ”a clear and present danger”, atau ”bahaya riil dan ada sekarang”. Bukti pendukungnya tidak kurang. Secara global, suhu rata-rata dunia tahun lalu ada pada 1,11 derajat celsius di atas suhu rata-rata dunia pada era pra-Revolusi Industri sekitar dua setengah abad silam.
Angka ini sudah mendekati ambang batas 1,5 derajat celsius, batas tertinggi suhu global untuk melindungi dunia dari bencana iklim lebih luas. Kita bisa mengatakan, jangankan suhu naik 1,5 derajat celsius, yang ada sekarang ini saja sudah membuat kondisi minimum tidak nyaman, kedua bencana yang dipicu kenaikan suhu tersebut sudah menyengsarakan.
Menurut petugas badan meteorologi negara, seperti dikutip kantor berita AFP, bencana alam seperti banjir besar di Brasil ini dipicu oleh pemanasan global.
Ekstremitas cuaca yang sering disinggung dalam kolom ini telah banyak menimbulkan kebakaran hutan dan lahan. Frekuensi dan intensitas puting beliung meningkat, juga bencana hidrometeorologi, khususnya banjir dan tanah longsor.
Sementara ketidaknyamanan dipicu oleh meningkatnya suhu udara dirasakan di berbagai penjuru dunia. Tahun ini mayoritas Amerika Utara, Eropa, Afrika, dan Asia mengalami fenomena ini Juli lalu, yang banyak ditandai oleh kebakaran hutan dan banjir besar.
Kalangan industri sudah banyak terinformasi perkembangan ini.
Namun, tak sedikit industri yang keberatan mengganti pembangkit mesin produksi mereka dengan energi terbarukan. Alasannya, langkah itu perlu investasi besar, dan akan membuat daya saing industri mereka menurun.
Hamparan es yang membentuk berbagai formasi pada gletser Perito Moreno dengan latar belakang pegunungan di Taman Nasional Los Glaciares, Argentina, awal November 2021. Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim dalam dua minggu ini akan membahas isu pemanasan global.
Namun, untunglah, seperti diberitakan Kompas, di tengah suasana pesimistis ini, ternyata masih ada korporasi yang memiliki kesadaran lingkungan dan kesadaran sustainabilitas tinggi. Perusahaan Patagonia, misalnya, rela menyumbangkan sebagian labanya guna memelihara keberlanjutan Bumi agar tidak semakin panas.
Perusahaan ini rela merogoh kantongnya untuk memberi lebih bagi upaya peredaman panas Bumi ini karena ”pemilik saham Patagonia hanya satu, yakni Bumi”, menurut pendiri perusahaan Yvon Chouinard, dikutip Kompas. Selain Patagonia, juga diambil contoh perusahaan global lain, yakni As You Sow.
Sejumlah negara yang masih dilanda dilema pemanfaatan energi hijau terakhir berargumen bahwa di tengah krisis energi, bahan bakar fosil belum bisa ditinggalkan, terutama batubara. Bahkan, meningkatnya harga komoditas batubara di tengah krisis energi di dunia sering dilihat sebagai penyelamat ekonomi nasional.
Kini saatnya membuktikan komitmen untuk mengerem laju pemanasan global.