Kapitalisme dan Perjuangan Kelompok Terpinggirkan
Kematian karena keputusasaan, meskipun kurang terlihat dan tidak terlalu menonjol dibandingkan virus korona, sebenarnya setara dengan pandemi bencana setiap tahun yang memangsa orang-orang yang terpinggirkan.
Angus Deaton, penerima Nobel Ekonomi tahun 2015, dalam bukunya, The Great Escape, Health, Wealth, and the Origin of Inequality (2013), berhasil menggambarkan dunia saat ini sebagai tempat yang jauh lebih baik dibandingkan dengan dunia yang dijalani generasi-generasi sebelum kita.
Orang-orang bisa hidup lebih sehat, lebih kaya, dan lebih lama (life expectantcy). Deaton menyebut perubahan itu dengan istilah gelombang Great Escape.
Inovasi, seperti penemuan antibiotik, keberhasilan pengendalian hama, vaksinasi, dan inisiasi penggunaan air bersih, di satu sisi dan berkembang pesatnya sistem pendidikan modern di sisi lain, berhasil mengubah standar hidup kita menjadi jauh lebih baik, lebih kaya, dan lebih sehat dibandingkan generasi-generasi terdahulu, meskipun semua itu dibarengi dengan melebarnya ketimpangan ekonomi di satu sisi dan bencana kelaparan di beberapa belahan dunia, epidemi dan pandemi di waktu-waktu tertentu, di sisi lain.
Namun, pada 2015, angka harapan hidup di Amerika turun untuk pertama kalinya. Kemudian turun lagi pada 2016, lalu berlanjut ke 2017, pertama kali berturut-turut selama tiga tahun.
Terakhir kali penurunan angka harapan hidup di Amerika berturut-turut selama tiga tahun terjadi lebih dari seabad yang lalu ketika pandemi flu 1918.
Padahal, di luar perang atau pandemi, harapan hidup di seluruh dunia berhasil meningkat secara konsisten selama hampir satu abad, dan telah menjadi ciri menonjol dari negara-negara maju. Terakhir kali penurunan angka harapan hidup di Amerika berturut-turut selama tiga tahun terjadi lebih dari seabad yang lalu ketika pandemi flu 1918.
Terjebak keputusasaan
Apa yang terjadi? Kali ini, dalam buku terbarunya, Angus Deaton dan rekannya, Anne Case, yang terbit 2020, The Death of Despair dan The Future of Capitalism, menghadirkan diagnosis lain, yakni peningkatan angka bunuh diri, overdosis obat-obatan (narkoba), dan penyakit hati akibat alkohol, yang mereka sebut dengan istilah ”mati karena putus asa” (death of despair), yang terjadi dengan skala dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Pada 2017 saja, misalnya, ada 158.000 kematian berkategori putus asa tersebut di Amerika, setara dengan tiga jet Boeing 737 MAX yang terisi penuh jatuh dari langit setiap hari selama setahun penuh.
Kematian karena keputusasaan, kata Deaton dan Case, meskipun kurang terlihat dan tidak terlalu menonjol dibandingkan virus korona, sebenarnya setara dengan pandemi bencana setiap tahun yang memangsa orang-orang berpenghasilan rendah dan kurang berpendidikan. Perbedaannya adalah bahwa tidak akan pernah ada vaksin untuk jenis ”pandemi” yang satu ini.
Dalam buku tersebut, Deaton dan Case mencoba menjawab pertanyaan sederhana, tetapi mendalam: mengapa orang kulit putih yang tidak berpendidikan tinggi meninggal karena overdosis obat, keracunan alkohol, dan bunuh diri dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya?
Fenomena Citayam Fashion Week
Nah, di antara dua buku inilah saya melihat fenomena Citayam Fashion Week beberapa waktu lalu dan karena itu pula saya berusaha semampu saya untuk mengapresiasinya.
Bonge, Roy, Kurma, mungkin juga Jeje, sejatinya masuk kategori orang-orang yang sangat berpeluang menjadi korban kapitalisme dan pada ujungnya sangat berpotensi terjerumus masuk kategori death of despair versi Deaton dan Case.
Bonge dan Roy berhenti bersekolah dalam umur yang sangat muda. Dengan kata lain, pintunya untuk masuk gelombang Great Escape versi Deaton semakin tertutup. Namun, mereka juga menolak meniti jalan menuju death of despair. Mereka menolak berputus asa meskipun terpinggirkan oleh meriahnya gelombang kapitalisme yang menurut Deaton berhasil menciptakan gelombang Great Escape.
Namun, mereka sangat termotivasi ingin mengubah kehidupannya dan keluarganya, sangat desire untuk menghadirkan rumah yang layak untuk orangtuanya, membelikan kendaraan, menyekolahkan adik-adiknya, dan membawa orangtuanya naik haji. Karena itu, mereka menolak terjerumus ke dalam lubang kecanduan narkoba, alkohol, apalagi bunuh diri. Sekalipun sudah tak punya harapan dari sisi pendidikan, mereka masih yakin akan mampu untuk masuk gelombang Great Escape dengan cara lain.
Baca juga ”Citayam Fashion Week” di Bawah Bayang-bayang Harajuku dan La Sape
Baca juga Kewirausahaan Berbasis Komunitas untuk Citayam Fashion Week
Dan mereka menemukannya di media sosial. Dengan perpaduan antara kemampuan memilih lokasi berpose, kreativitas pembuatan konten, kamera, jaringan internet, danplatform media sosial, yang tidak perlu jenjang pendidikan tinggi, mereka mengekspresikan motivasi ekonomi dan bakat diri.
Dengan kata lain, mereka menemukan cara nonkonvensional untuk menjauh dari bayang-bayang death of despair dan berusaha mengejar orang-orang yang sudah lebih dulu masuk ke gelombang Great Escape.
Jika ada kekurangan di sana-sini, menurut standar moral dan standar pendidikan para komentator, tentu sangat bisa dipahami mengingat tingkat pendidikan dan tekanan-tekanan kehidupan yang mereka alami. Namun, setidaknya mereka jauh lebih baik dari Doni Salmanan, yang tidak tamat SD, tapi ingin melakukan great leap forward alias lompatan jauh ke depan via jalan pintas agar masuk gelombang Great Escape.
Bagi saya, tak ada pertentangan kelas di sana, sebagaimana diadudombakan oleh beberapa pihak dengan memperkenalkan istilah created by the poor and stolen by the rich. Sekolah saja mereka tak tamat, apalagi untuk membaca Marxisme Leninisme. Ya toh! Mereka hanya ingin naik kelas, tanpa harus menuai pertentangan kelas. Perkara istilah SCBD yang diubah, hanya perkara penamaan lokasi dengan latar yang berbeda.
Spirit antiputus asa
Tentu dua istilah tersebut berbeda latar kelas sosial ekonominya. Saya yakin mereka datang ke kawasan Sudirman bukan untuk membakar dan menghancurkan simbol-simbol kapitalisme di Sudirman dan SCBD. Mereka justru ingin berpartisipasi di dalamnya, ingin masuk pusaran gelombang Great Escape versi Deaton, dengan cara lain.
Pendeknya, mereka datang ke Sudirman tidak membawa ijazah perguruan tinggi tenar untuk disodorkan ke HRD-HRD gedongan, tapi membawa mimpi dan spirit antiputus asa atau gelombang slebewnomik.
Lantas pelan-pelan mengapa gelombang slebewnomik itu memudar? Sebagaimana saya memahaminya di awal tulisan, Citayam Fashion Week yang dipersepsi para pakar budaya dan pakar sosiologi sebagai subkultur sebenarnya adalah imbas. Karena memahaminya sebagai fenomena subkultur sesaat, gelombangnya pun dipahami secara temporal. Padahal, isu utama bagi tokoh-tokoh awal Citayam Fashion Week bukanlah soal subkultur, melainkan ekonomi.
Saya yakin mereka datang ke kawasan Sudirman bukan untuk membakar dan menghancurkan simbol-simbol kapitalisme di Sudirman dan SCBD.
Subkultur atau ekspresi budaya melalui peragaan busana hanyalah instrumen bagi mereka untuk menghasilkan pendapatan agar kemudian bisa naik kelas secara sosial ekonomi.
Toh, setelah mendapat ruang yang lebih besar di pentas hiburan nasional, dengan sokongan manajerial ala artis papan atas, Citayam pun akhirnya adem kembali. Kemampuan memonetisasi media sosial, memainkan kamera, dan kemampuan mengorkestrasi antara gerakan dan gaya berbusana akhirnya membuka jalan bagi mereka mengejar mimpi, setelah jalan itu tertutup cukup lama akibat gagal mengantongi ijazah dari sistem pendidikan yang ada.
Lantas apakah semua orang bisa seperti itu? Belum tentu. Ada begitu banyak manusia muda Indonesia yang keluar dari sekolah karena faktor ekonomi.
Sebagian berjibaku di sektor informal, sebagian berjalan ke sana kemari menjajakan suara dari satu pintu ke pintu rumah lainnya, sebagian lagi cukup beruntung memiliki kendaraan roda dua dan bisa diterima menjadi bagian skuad ojek daring, sebagian lainnya berbagi ketidakpastian masa dengan teman-temannya di dalam komunitas gang motor, dan tak sedikit di antara mereka, baik sadar maupun tidak, sedang meniti jalan ke arah death of despair.
Sementara pemerintah, dan sebagian besar dari kita, memaknainya sebagai kreasi subkultur semata, yang membuat pemerintah akhirnya memiliki justifikasi untuk tidak mengintervensi lebih jauh dan memahami persoalan lebih mendalam. Entah masih ada atau tidak momen seperti ini lagi di hari esok, yang akan membukakan pintu bagi beberapa orang agar tidak terjebak ke jalan death of despair, hanya Tuhan yang mengetahui.
Yang jelas, Bonge, Roy, Kurma, atau Jeje hanya segelintir kecil dari manusia-manusia Indonesia yang terjebak di antara gelombang Great Escape dan death of despair.
Terabaikan
Ada banyak manusia muda Indonesia lain yang sedang mencari momen yang sama, tetapi momen itu tak kunjung datang. Dan setelah Citayam Fashion Week meredup, pemerintah kembali pada aktivitas normalnya. Padahal, Bonge-Bonge dan Roy-Roy lainnya masih menunggu uluran tangan agar mereka tidak terjebak ke dalam gelombang death of despair.
Entah masih ada atau tidak momen seperti ini lagi di hari esok, yang akan membukakan pintu bagi beberapa orang agar tidak terjebak ke jalan death of despair, hanya Tuhan yang mengetahui.
Mereka menunggu, bahkan secara tidak langsung meminta, pemerintah untuk mengubah persepsi bahwa momen seperti Citayam Fashion Week bukanlah sekadar peragaan busana tandingan, melainkan juga gelombang slebewnomik, yakni gelombang perjuangan ekonomi orang-orang yang terpinggirkan oleh meriahnya kerlip lampu kapitalisme ibu kota agar mereka bisa naik kelas tanpa modal ijazah resmi atau sertifikat soft skill resmi.
Karena gagal memahami substansi ekonomi di balik Citayam Fashion Week, maka saat Citayam Fashion Week meredup, kita kembali melupakan perjuangan ribuan, bahkan ratusan ribu, mungkin jutaan, anak muda seperti Bonge dan Roy, yang ingin mendapatkan kesempatan untuk hidup yang lebih pasti di satu sisi dan terjauhkan dari rayuan death of despair di sisi lain.
Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution