Pada tingkat global, usaha-usaha untuk meredam inflasi sebaiknya jangan terlalu berlebihan sehingga sektor riil dan sektor finansial berpotensi terpuruk terlalu jauh.
Oleh
ARI KUNCORO
·5 menit baca
Perilaku pekerja kerah putih untuk bekerja dari rumah dengan menggunakan teknologi internet (work from home/WFH) kini menjadi kebutuhan yang bisa membuat mereka mengundurkan diri jika tidak dipenuhi. Perilaku WFH ini akhirnya juga menuju titik kejenuhan. Akibatnya, liburan keluarga semakin menjadi idaman dalam konteks mengoptimalkan kesejahteraan keluarga (Solberg dan Wong; 1992).
Pandemi meningkatkan nilai guna (marginal utility) dari liburan keluarga karena mobilitas yang terbatas akibat mitigasi pencegahan penyebaran Covid-19. Hal ini menjelaskan kepadatan di beberapa bandara di AS dan Eropa selama liburan musim panas. Jumlah penumpang melebihi kapasitas penerbangan ataupun pelayanan bandara.
Seiring dengan hierarki Maslow (1943), sebagai dampak pemulihan ekonomi, peningkatan permintaan juga terjadi untuk barang-barang lainnya. Mulai dari barang tahan lama sampai ke makanan olahan. Akibatnya, rantai pasokan dunia yang belum pulih benar mendapat tekanan sehingga terjadi inflasi global yang menjalar ke setiap negara.
Sebagai dampak pemulihan ekonomi, peningkatan permintaan juga terjadi untuk barang-barang lainnya. Mulai dari barang tahan lama sampai ke makanan olahan.
Bank sentral di sejumlah negara pun meningkatkan suku bunga acuan untuk meredakan inflasi dengan menekan peningkatan permintaan yang tertahan karena mereka tidak dapat mengendalikan sisi produksi atau penawaran.
Perlu koordinasi global
Obstfeld (2022), mantan Chief Economist Dana Moneter Internasional (IMF) dan kini guru besar ekonomi di Universitas California, Berkeley, AS, berpendapat, karena tidak ada koordinasi, risiko dari kebijakan satu arah kenaikan suku bunga ini adalah suatu efek yang akan memperkuat efek lainnya (amplifying). Oleh karena itu, akan menjadi beban berlebihan yang tidak dapat ditahan oleh perekonomian dunia.
Obstfeld memberikan resep ala Game Theory bahwa tanpa harus secara eksplisit berkoordinasi, setiap bank sentral dapat melakukan kebijakan dengan memperhitungkan kebijakan (fungsi reaksi) dari bank sentral yang memiliki spill over atau efek luberan mendunia. Di antaranya, bank sentral AS (The Fed), bank sentral Eropa (ECB), serta bank sentral Inggris (Bank of England).
Sehubungan dengan itu, Bank Dunia, yang biasanya sangat mendukung pengendalian inflasi, dalam pernyataannya pada 15 September 2022 memperingatkan, risiko resesi dan krisis finansial global tahun 2023 akan makin besar dengan adanya kenaikan suku bunga acuan yang tidak terkoordinasikan.
Dengan kata lain, pada tingkat global, usaha-usaha meredam inflasi sebaiknya jangan terlalu berlebihan sehingga sektor riil dan sektor finansial berpotensi terpuruk terlalu jauh.
Bank Dunia merekomendasikan beberapa langkah. Pertama, bank sentral atau otoritas moneter mengomunikasikan tujuannya secara jelas. Hal ini tampaknya lebih ditujukan kepada bank sentral di negara-negara maju yang mempunyai efek luberan global sehingga dapat terbaca oleh negara-negara berkembang dan emerging market untuk melakukan langkah antisipatif.
Kedua, otoritas fiskal harus berhati-hati dalam menormalisasi stimulus ekonomi. Otoritas fiskal juga perlu menjaga konsistensi dengan otoritas moneter.
Risiko resesi dan krisis finansial global tahun 2023 akan makin besar dengan adanya kenaikan suku bunga acuan yang tidak terkoordinasikan.
”The great volatility”
Kenyataannya, otoritas moneter di negara-negara dengan dampak global besar menghadapi ketidakpastian sangat tinggi sehingga membutuhkan kebijakan-kebijakan di luar pakem. Penyebabnya, ada sumber disrupsi lain setelah pandemi, yaitu konflik Rusia-Ukraina yang meningkatkan harga dan volatilitas komoditas dunia. Bersama pandemi, hal ini menimbulkan perfect storm, menandai zaman volatilitas besar (great volatility).
Situasi itu mengakibatkan koordinasi kebijakan bukan prioritas karena ada filosofi extraordinary times require extraordinary measures. Dengan kata lain, dibutuhkan kebijakan di luar pakem dalam kondisi luar biasa. Ini juga membutuhkan horizon waktu, kapan dimulai dan kapan harus diakhiri, karena tidak mungkin berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pergerakan harga komoditas enam bulan terakhir mengakibatkan sangat sukar untuk memprediksi dengan metode statistik standar. Terlalu banyak variabel baru yang sebelumnya tidak terlihat muncul sehingga prediksi meleset.
Analisis teknikal untuk meramal ke depan menjadi lebih efektif ketimbang peralatan statistik konvensional. Hal itu merupakan implikasi dari ekspektasi bursa jangka panjang komoditas serta kebijakan-kebijakan darurat sejumlah negara.
Pergerakan harga komoditas enam bulan terakhir mengakibatkan sangat sukar untuk memprediksi dengan metode statistik standar.
Contoh terkini ialah kenaikan suku bunga acuan The Fed sampai 75 basis poin di akhir Juli 2022. Menurut Larry Summers, mantan Menteri Keuangan AS, hal itu terjadi karena The Fed terlalu lambat. Namun, inflasi yang tinggi di AS bersumber juga dari rantai pasokan dunia.
Dalam konteks kedaruratan, kenaikan itu ditujukan untuk memadamkan inflasi global dengan memengaruhi ekspektasi ke depan di pasar berjangka komoditas, tidak hanya sekadar mengekang permintaan agregat dalam negeri.
Hal ini dimungkinkan karena posisi AS sebagai lokomotif dunia dan mata uangnya merupakan likuiditas dunia. Dampak dalam negeri terlihat pada inflasi AS yang turun dari 9,1 persen pada bulan Juni, ke 8,5 persen di bulan Juli, dan 8,3 persen pada Agustus
Namun, dalam perkembangannya, inflasi pada bulan Agustus masih dianggap terlalu tertinggi. Oleh karena itu, kenaikan sebesar 75 basis poin, atau bahkan lebih, tetap mungkin terjadi pada akhir September.
Implikasi kebijakan publik
Volatilitas besar saat ini terjadi karena perilaku aksi-reaksi di luar kenormalan. Oleh karena itu, diperlukan unit surveilans yang mengamati dunia di balik cakrawala (beyond virtual horizon). Perilaku entitas otoritas moneter di negara-negara maju beserta ekspektasi di pasar berjangka komoditas semakin memerlukan perhatian khusus.
Banyak faktor non-ekonomi harus dipertimbangkan. Sebagai contoh, maju mundurnya garis depan pertempuran dalam konflik Rusia-Ukraina tampaknya mulai memengaruhi harga komoditas. Contoh lain, harga minyak yang turun naik secara signifikan akibat maju mundurnya usaha untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara Barat.
Perilaku masyarakat juga berubah akibat inflasi dan ketidakpastian. Sesuai dengan tren, kebijakan publik dapat dilakukan dengan data analitik yang dapat menghubungkan apa yang terlihat di permukaan (headline watching) dan perilaku mikro. Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan umpan balik dalam rangka rancangan kebijakan yang adaptif.