Cendekiawan Berdedikasi ”Kompas” tahun 2015 ini memilih kehidupan yang sunyi. Ia memilih dua jalan sunyi: mengabdi pada dunia keilmuan di kampus dan memberi pencerahan dalam lingkungan umat Islam.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama bersalaman dengan para penerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2015, yakni (dari kiri ke kanan) Yudi Latif, A Prasetyantoko, Sri Moertiningsih Adioetomo, dan Azyumardi Azra, di Jakarta, 25 Juni 2015.
Setelah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif berpulang 27 Mei 2022 di Yogyakarta, cendekiawan Prof Dr Azyumardi Azra CBE berpulang pada Minggu, 18 September 2022.
Dalam kurun waktu empat bulan, bangsa ini kehilangan dua guru bangsa. Guru bangsa yang sangat mencintai negeri ini. Guru bangsa yang sama-sama mempunyai karakter kuat. Kekuatan karakter inilah yang melekat pada sosok Prof Azyumardi, ilmuwan kelahiran Padang Pariaman, Sumatera Barat, 4 Maret 1955.
Kedua sosok itu adalah ”muazin” bangsa. Sosok yang selalu berseru-seru menyuarakan kebaikan. Berseru bukan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan golongannya, melainkan untuk kepentingan negara bangsa. Buya Syafii dan Prof Azyumardi menyusul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) serta Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang telah mendahului kita semua. Mereka adalah sosok-sosok pencerah bangsa ini.
Azyumardi Azra, Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, adalah intelektual paripurna. Sejak tahun 2022, masyarakat pers mendaulat Azyumardi sebagai Ketua Dewan Pers. Ia diharapkan bisa menjadi benteng atas ancaman kebebasan pers dan independensi pers di tengah kian menguatnya kepentingan politik menjelang tahun 2024 serta penguasaan kelompok teknologi global.
Kekuatan karakter dan sikap independen Azyumardi adalah pilihan hidupnya. Cendekiawan Berdedikasi Kompas tahun 2015 ini memilih kehidupan yang sunyi. Ia memilih dua jalan sunyi: mengabdi pada dunia keilmuan di kampus dan memberi pencerahan dalam lingkungan umat Islam. ”Dunia kampus adalah dunia yang sepi, soliter, bukan dunia riuh rendah. Kalau saya berada di struktur partai atau lainnya, mungkin saya tak obyektif dan ada konflik kepentingan,” ujar Azyumardi (Kompas, 25 Juni 2015).
Pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat, Azyumardi sangat produktif menulis kolom, karya-karya ilmiah, ataupun buku akademis yang menjadi referensi. Bahkan, dalam kondisi mendesak, ia tak segan turun gunung (dalam arti yang sebenarnya) untuk ”melawan” tren politik yang bisa mengancam kebebasan pers, mengancam demokrasi, dan ikhtiar elite melemahkan pemberantasan korupsi.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Bekas Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, didampingi keluarga, menerima gelar kehormatan Commander of The Order of The British Empire dari Ratu Inggris Elizabeth II. Penghargaan diserahkan oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hartfull di Jakarta, 28 September 2010.
Bersama sejumlah guru besar, Azyumardi menentang pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penggunaan instrumen tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menyingkirkan pegawai KPK. Bersama koalisi masyarakat sipil dan Dewan Pers, ia berupaya ”melawan” gejala otoritarianisme yang muncul dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan berbagai kegiatan lain.
Selamat jalan Prof Azyumardi, berpulanglah ke alam keabadian. Masyarakat sipil merasakan Prof Azyumardi pergi terlalu cepat, di tengah suasana kegamangan mencari pegangan baru. Kita tetap optimistis dan meyakini anak asuh, anak ideologis Azyumardi, bisa melanjutkan semangat perjuangannya. Banyaknya karangan bunga berjejer di sekitar kediamannya, menandakan Prof Azyumardi adalah tokoh bangsa yang sangat dihormati.