Transformasi seleksi masuk PTN dengan menghapus materi pelajaran di UTBK dan menggantinya dengan tes skolastik memberikan angin segar bagi guru. Ini selaras dengan tugas guru melatih cara berpikir kritis ke siswa.
Oleh
R ARIFIN NUGROHO
·4 menit baca
Kata sekolah dan kuliah kadang memunculkan disharmoni antara pendidikan dasar dan menengah dengan perguruan tinggi. Menurut KBBI Kemdikbudristek, sekolah berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sementara kuliah memiliki arti pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi.
Pada titik inilah muncul perbedaan. Jika seseorang menerima pelajaran di jenjang taman Kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA) disebut bersekolah. Sementara ketika seseorang menerima pelajaran di perguruan tinggi diartikan beda, yaitu berkuliah. Padahal, kedua hal tersebut sama-sama terjadi mekanisme memberi dan menerima materi pelajaran.
Sindiran kecil di atas mengingatkan kita bahwa faktanya memang ada jurang pemisah relasi antara sekolah dan perguruan tinggi. Ketidakharmonisan dalam kesinambungan belajar inilah yang coba didobrak oleh Mas Menteri.
Melalui Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, Mendikbudristek Nadiem Makarim membuat langkah bijak dengan mentransformasi seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Salah satu strategi yang dilakukan adalah menghapus materi pelajaran dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) atau yang kita kenal dengan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Strategi ini tampak sepele, tetapi berdampak besar karena mampu mencungkil penyakit akut sistem pendidikan kita.
Selama ini guru selalu mengernyitkan dahi ketika berpikir tentang tes masuk PTN. Tarik ulur di relung hati guru terjadi manakala berkelindan dua pilihan, yaitu melatihkan cara berpikir atau memberikan materi ajar sebanyak-banyaknya.
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah menuntut para guru melatihkan cara berpikir kritis dan kreatif kepada muridnya sebagai bekal beradaptasi di masa depan. Dengan tuntutan ini dibutuhkan waktu yang lebih banyak.
Sebagai contoh, para guru bisa mengajarkan jenis-jenis pencemaran lingkungan dalam waktu 45 menit, tetapi butuh waktu berhari-hari untuk memberikan pengalaman berpikir atau bernalar murid perihal materi yang sama. Murid diminta mengamati pencemaran lingkungan di sekitar rumahnya, mengidentifikasi, menganalisis, dan menemukan solusinya.
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah menuntut para guru melatihkan cara berpikir kritis dan kreatif kepada muridnya sebagai bekal beradaptasi di masa depan.
Dengan memberikan pengalaman lebih bermakna ini, guru akan gundah-gulana manakala khawatir materi ajar selanjutnya tidak selesai. Padahal, materi mata pelajaran dalam UTBK sangat tidak terprediksi. Materi tes bisa diambil dari materi kelas X, XI, maupun XII dengan ruang lingkup sangat luas. Maka, jalan yang harus ditempuh adalah memberikan materi sebanyak-banyaknya. Entah mendalam atau tidak, itu urusan belakang.
Belum lagi ketika kurikulum menuntut para guru memberikan penilaian autentik. Penilaian jenis ini membuat guru harus menilai murid secara utuh dengan melibatkan kinerja dan proses bermakna. Kinerja murid diukur dari praktik atau melakukan sesuatu secara faktual, bukan menagih hal-hal yang teoritis. Sementara kebermaknaan terjadi karena unjuk kerja yang dilakukan murid sesuai dengan kebutuhan dunia nyata (kontekstual), baik saat ini maupun di masa mendatang.
Di sisi lain, model UTBK mata pelajaran selama ini cenderung mengukur ranah teori, menagih penguasaan pengetahuan, memanggil kembali (rekognisi), dan memilih jawaban yang disediakan. Maka, tegangan kepentingan ini diatasi oleh guru dengan memberikan tubian berupa latihan soal bertubi-tubi. Materi ajar diberikan dengan cara dikebut agar waktunya cukup untuk latihan soal UTBK sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, soal-soal UTBK tahun-tahun sebelumnya beserta prediksinya bisa dihafal murid sampai luar kepala.
Itulah rumus jitu yang ditempuh guru agar muridnya banyak diterima di PTN sehingga menaikkan pamor sekolah karena pemeringkatan Top 1.000 Sekolah yang dipublikasikan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT). Rumus jitu itu masih diperhebat dengan mengundang lembaga bimbingan belajar masuk sekolah. Para guru tidak percaya diri menghadapi berbagai teori pengetahuan yang tersaji dalam UTBK. Bimbingan belajarlah yang dianggap memiliki kompetensi, trik, dan tips menjawab soal dengan cepat dan tepat.
Kesempatan berubah
Kebijakan mengganti tes mata pelajaran dengan tes skolastik yang mengedepankan penalaran dan literasi memberikan angin segar bagi para guru. Seharusnya mereka tidak lagi tergopoh-gopoh menjejalkan materi ajar kepada murid. Mereka lebih punya waktu untuk memilih dan memilah materi ajar mana yang esensial untuk membadankan cara menalar murid. Mereka juga akan lebih kreatif dalam menyusun desain pembelajaran tanpa terbeban tuntutan hafalan konten.
Tidak ada lagi kastanisasi mata pelajaran karena mata pelajaran dipakai atau tidak dipakai dalam UTBK. Semua mata pelajaran memiliki kesempatan yang sama menjadi jangkar dan sarana bernalar serta berliterasi.
Meskipun demikian, semua tetap tergantung kepada keberanian dan kemauan guru untuk berubah. Selain itu, kebijakan ini seharusnya diterapkan pula untuk tes seleksi mandiri agar sama-sama mengedepankan penalaran dan literasi. Perguruan tinggi swasta (PTS) juga sudah selayaknya tidak luput dari kebijakan ini. Harapannya, proses pendidikan yang utuh bisa berkelanjutan secara harmonis dari tingkat sekolah sampai kuliah.
R Arifin Nugroho, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta