Demokrasi Era Digital
Sebenarnya, apakah komunikasi digital memperkuat atau memperlemah demokrasi? Selama ini pembahasan soal pengaruh digital masih banyak melihat segi dampak, bukan perubahan dasar-dasar demokrasi itu sendiri.
Sekitar 20 tahun lalu muncul banyak harapan bahwa komunikasi digital akan memperkuat dorongan demokratisasi. Komunikasi digital dipandang mempermudah dan memperluas pertukaran gagasan. Selain itu, akan lebih sukar mengontrol suara rakyat yang ingin kritis kepada pihak yang berkuasa, apakah itu pemerintah atau lainnya.
Akan tetapi, belakangan ini pandangan sebaliknya malah lebih menguat. Komunikasi digital dipandang banyak menimbulkan masalah, baik sebagai alat konsolidasi suara rakyat yang menginginkan terjadi perubahan maupun sebagai alat komunikasi politik dengan pemerintah.
Sebenarnya, apakah komunikasi digital memperkuat atau memperlemah demokrasi? Apakah demokrasi yang dihasilkan masyarakat digital punya bentuk yang tak sama dengan pengertian demokrasi konvensional? Selama ini pembahasan soal pengaruh digital masih banyak melihat dari segi dampak, bukan dari perubahan dasar-dasar demokrasi itu sendiri.
Sebelum membahas hubungan antara demokrasi dan digitalisasi, terlebih dahulu harus jelas apakah arti demokrasi.
Sebelum membahas hubungan antara demokrasi dan digitalisasi, terlebih dahulu harus jelas apakah arti demokrasi.
Apakah demokrasi diartikan sebagai pemerintahan di mana rakyat dapat bersuara atau diartikan sebagai adanya sistem akuntabilitas pemerintahan? Keduanya tidak selalu sama, di mana yang kedua berbicara tentang kualitas sistem dan bukan berinti pada luasnya kesempatan bersuara. Keduanya akan bertemu jika suara rakyat dapat terus memperbaiki mekanisme akuntabilitas.
Untuk menganalisis bagaimana perubahan demokrasi di era digital, kita perlu melalui beberapa elemen pokok dari proses demokrasi. Saya perlu menekankan bahwa akan lebih bermanfaat melihat demokrasi sebagai proses demokratisasi. Sebabnya, demokrasi di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah proses panjang perbaikan kelembagaan dan organisasi (demokratisasi), melibatkan negara dan masyarakat.
Baca Juga:Hiperpolitik Demokrasi Digital Kita
Digitalisasi birokrasi
Hampir semua negara saat ini mengadopsi wacana birokrasi digital meskipun dengan penerapan yang sangat beragam. Pemerintahan digital sering disamakan dengan pemerintahan yang efisien karena data digital digunakan untuk pemrosesan birokrasi jauh lebih cepat dan akurat daripada sebelumnya.
Digitalisasi pemerintahan berkembang dalam konsep lanjutan seperti ”pelayanan publik partisipatif”, ”pemerintahan terbuka”, dan ”kota cerdas”. Digitalisasi dipandang jalan lurus menuju efektivitas, obyektivitas, dan antikorupsi.
Dari semua gagasan tentang pemerintahan digital, yang bisa dibilang pasti hasilnya hanyalah efisiensi dan ketepatan. Tujuan lain belum pasti dapat dicapai. Problem pertama adalah pada penggunaan digital dalam pemerintahan, kerangka kesejahteraan yang melibatkan struktur sosial ekonomi itu hampir tak pernah secara matang dibahas, tetapi hanya diasumsikan. Termasuk perubahan pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat serta antarkelompok masyarakat.
Digitalisasi birokrasi mengandung beberapa problematik dalam pengaturan negara. Pertama, keamanan data. Digitalisasi oleh negara harus sejalan dengan sistem yang kuat untuk menjaga dari serangan siber dan melindungi keamanan data warga negara.
Negara berwenang mengumpulkan data penduduk untuk tujuan, misalnya, pelayanan atau keteraturan pemilikan. Namun, alasan itu tak membuatnya dapat dibenarkan jika tak sejalan dengan sistem keamanan data yang kuat. Perlindungan data dan pengguna digital di Indonesia termasuk sangat lemah. Lebih dari bahaya serangan siber di atas, ada bahaya yang harus diperhatikan dalam suatu negara demokrasi.
Persoalan itu adalah bagaimana akuntabilitas pemerintah mengumpulkan dan menggunakan data. Sangat penting bahwa suatu pemerintahan punya mekanisme akuntabilitas yang menjaga bahwa data yang dikumpulkan tak digunakan oleh kelompok kepentingan politik atau ekonomi politik tertentu.
Lebih dari bahaya serangan siber di atas, ada bahaya yang harus diperhatikan dalam suatu negara demokrasi.
Juga, pemanfaatan data yang dikumpulkan perusahaan. Pemerintahan yang demokratis juga harus menegakkan hukum bukan hanya pada penyalahgunaan digital untuk menyerang kelompok lain, tetapi juga melindungi serangan siber terhadap suara kritis atas kebijakan pemerintah. Jadi, digitalisasi membawa berbagai tanggung jawab baru pada pemerintah.
Persoalan kedua digitalisasi pemerintahan adalah seberapa jauh pemerintah lebih mampu menangkap persoalan sosial ekonomi di masyarakat. Digitalisasi, misalnya, bisa digunakan untuk mengumpulkan data golongan ekonomi yang perlu mendapat bantuan negara.
Namun, penggunaan digital sering dianggap sama dengan menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Padahal, data dikumpulkan berdasarkan kategori/algoritma tertentu. Persoalannya, dengan mengambil contoh kelompok miskin, apakah dengan data semacam itu karakter kemiskinan dan ketimpangan dapat dikenali? Digitalisasi membawa risiko berkurangnya mekanisme pembahasan substantif yang melibatkan organisasi-organisasi nonpemerintah yang kompeten.
Digitalisasi pelayanan publik banyak membawa kemudahan dan peningkatan mutu pelayanan. Persoalannya adalah perubahan yang lebih substantif. Apakah digitalisasi pelayanan publik akan mendorong reformasi birokrasi? Di Indonesia, sistem pelaporan pelayanan publik diterapkan secara luas, menggunakan sistem pelaporan digital yang cukup maju.
Tantangan yang besar berada di daerah. Meski ada pengecualian, kebanyakan daerah hanya dapat menggunakannya untuk perbaikan segmental dan dalam rangka memenuhi standar pelayanan minimal yang diberikan pemerintah pusat.
Digitalisasi membawa risiko berkurangnya mekanisme pembahasan substantif yang melibatkan organisasi-organisasi nonpemerintah yang kompeten.
Wilayah publik
Pembahasan tentang demokratisasi selalu menyertakan peran wilayah publik, yaitu wilayah pertukaran gagasan tentang bagaimana mendorong perbaikan pengelolaan publik.
Wilayah publik punya berbagai arena, apa pun bentuknya.
Dalam konsep demokrasi konvensional, wilayah publik memiliki arahan moralitas di mana pihak tertentu dipandang punya kredibilitas untuk didengarkan. Pihak yang dianggap kredibel ini bisa berupa organisasi atau individu karena rekam jejak yang baik atau karena bekerja menggunakan metode yang diakui, misalnya pemimpin organisasi, universitas, atau media massa.
Di era digital, otoritas di atas mengecil perannya. Pertama, ini karena mudahnya bersuara dengan memakai berbagai media digital. Hal ini menyebabkan partisipan di wilayah publik menjadi cair, dengan banyak partisipan yang ”asal berpendapat” dan bahkan menghasilkan ”informasi” sendiri. Banjir informasi juga menyebabkan berkurangnya minat menekuni sesuatu secara sistematis, metodis atau mendalam, kecuali dengan metode dan logika yang disediakan secara digital.
Namun, kurangnya minat pada konstruksi pengetahuan yang terstruktur/metodis menghasilkan kerentanan pada berita asal-asalan, bahkan palsu. Apalagi, membuat berita palsu yang populer ada keuntungan status dan material.
Untuk memperbaiki keadaan ini, beberapa hal perlu dilakukan. Organisasi/institusi, seperti media massa, merekonstruksi kembali jaringan institusionalnya untuk memperkuat jangkauannya ke masyarakat, memperbaiki standar jurnalistik agar lebih relevan, dan melakukan advokasi untuk melindungi kebebasan pers. Lembaga pendidikan harus mengembangkan metode pelibatan bagi para pemuda, mengajarkan kolaborasi dan tanggung jawab sosial.
Program smart city di Barcelona dapat dijadikan contoh baik. Big data yang difasilitasi pemerintah dan ditopang oleh berbagai organisasi bertujuan menimbulkan kreativitas warga kota untuk memecahkan masalah. Data masalah, juga data potensi kolaborasi, dapat ditarik dari big data.
Banjir informasi juga menyebabkan berkurangnya minat menekuni sesuatu secara sistematis, metodis atau mendalam, kecuali dengan metode dan logika yang disediakan secara digital.
Masyarakat sipil
Masyarakat sipil adalah konsep dalam teori demokrasi untuk menjelaskan kelompok di masyarakat yang menjunjung dan mengupayakan nilai solidaritas, keadaban, dan keadilan dalam masyarakat.
Dalam teori demokrasi yang berkembang hingga 1990-an, organisasi masyarakat sipil digambarkan sebagai kekuatan yang bertindak kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi. Bergerak dalam interaksi kelembagaan, sebagian daripadanya menerjemahkan nilai-nilai tadi sesuai konteks. Peran ini sering dibantu universitas yang menjunjung nilai-nilai di atas.
Organisasi masyarakat sipil digambarkan mempunyai basis organisasi, terutama formal, dengan identitas dan program yang dinyatakan dengan jelas.
Di era digital, sejalan dengan berubahnya politik pembangunan di tingkat internasional, eksistensi organisasi masyarakat sipil dalam bentuk yang lama semakin berkurang, setidaknya untuk sebagian jenisnya. Dalam konteks baru, mereka berjuang mencari bentuk dan kegiatan baru untuk bertahan. Namun, bentuk lain kelompok-kelompok kecil muncul dengan kemampuan digital di bidang ekonomi dan sosial.
Sebagian besar mereka tak tertarik dengan isu politik sebagai sistem. Namun, ini bukan berarti mereka tidak menyadari adanya persoalan kecurangan, keadilan, dan solidaritas.
Nilai-nilai tersebut mereka wujudkan dalam berbagai kegiatan praktis di bidang sosial ekonomi. Muncul juga kelompok-kelompok yang dengan kemampuan digitalnya terlibat dalam sisi mengkritisi politik dan kebijakan pemerintah, seperti kelompok yang mampu memunculkan jejak digital pejabat publik, antihoaks dan melawan serangan siber yang dibiayai kelompok kepentingan, pengecekan pelayanan publik, dan sebagainya.
Masyarakat sipil semacam ini saat ini masih tampak segmental dan belum bisa menggantikan peran kritik sistematis dari ormas sipil konvensional. Namun, harapan bahwa mereka bisa menguat dan berdampak besar datang dari dua kemungkinan: pembauran bentuk organisasi formal dengan kelompok-kelompok ini dan, seperti adagium kecerdikan digital yang tanpa batas, selalu mungkin kelompok ini membobol serta membuka kecurangan kelompok yang sedang berkuasa.
(Meuthia Ganie-Rochman,Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia)