
Proses belajar dimulai sejak manusia lahir dan berlangsung seumur hidup. Melalui belajar, otak dirangsang aktif berpikir sehingga siap membuat perencanaan, mengelola pelaksanaan, dan mengevaluasi kegiatan.
Proses belajar membutuhkan konsistensi dan pengorbanan, tetapi hasilnya berguna seumur hidup. Media belajar bisa berupa lembaga formal, nonformal, pergaulan, dan pengalaman praktis setiap hari.
Yang memprihatinkan, kita justru melihat fenomena negatif yang selalu berulang, menunjukkan bahwa kita ini bukan bangsa pembelajar. Contohnya berderet panjang. Kecelakaan maut, pelanggaran lalu lintas, penimbunan komoditas publik, pembalakan liar, perusakan lingkungan, penyelundupan satwa langka, narkoba, pengoplosan elpiji bersubsidi, tawuran remaja, geng motor, premanisme, kebakaran karena korsleting, korupsi, kongkalikong penegak hukum-penjahat, jual beli jabatan, mark up nilai ujian, pelecehan seksual, intoleransi, dan seterusnya.
Pengulangan perilaku buruk setidaknya terkait dua hal: karakter dan lingkungan. Koruptor, misalnya, malah divonis ringan, dapat remisi, dan bebas menikmati harta hasil korupsi. Lingkungan seperti ini jelas tidak memberi pembelajaran positif, tetapi mendukung perilaku negatif.
Tidak ada pembelajaran sehingga bermunculan para koruptor berikutnya. Muhammad Fatahillah Akbar dalam rubrik Opini, ”’Cashback’ Spesial untuk Para Koruptor”, menulis, ”Hukuman dijatuhkan bukan karena kejahatan yang dilakukan, melainkan agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut” (Kompas, 14/9/2022). Frasa ini ternyata tidak terpenuhi.
Sepertinya jika ada kejadian buruk bukan menjadi pembelajaran, melainkan justru diikuti seribu alasan pembenaran diri. Seharusnya kita menyalakan pelita untuk mengusir gelap, bukan menikmati kegelapan.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung 40616
Korupsi Berlanjut

Saya pesimistis melihat pemberantasan korupsi di negeri ini. Memang betul sudah banyak koruptor yang ditangkap. KPK juga tak kurang-kurang canggihnya dalam mendeteksi gerakan koruptor. Demikian juga pihak kejaksaan.
Namun, apakah korupsi menjadi berhenti? Saya pesimistis kalau melihat kenyataan yang terjadi sampai saat ini.
Ketika koruptor di penjara, masih banyak upaya hukum lain yang bisa ditempuh. Bermacam-macam caranya dan memang dibolehkan sesuai perundangan, antara lain peninjauan kembali dan remisi. Ujung-ujungnya adalah pengurangan hukuman.
Enak sekali. Bahagia betul koruptor di negeri ini. Bahkan setelah keluar penjara, masih bisa berkecimpung lagi di dunia politik dengan alasan HAM dan sebagainya.
Teroris juga demikian. Pemahaman yang salah yang akan melahirkan perilaku brutal mengerikan dan itu masih tetap tumbuh subur di Indonesia. Seperti bahaya laten yang akan selalu muncul, baik dalam bentuk organisasi terselubung atau berwajah lain agar tidak terendus masyarakat serta aparat.
Kurang canggih apa Densus 88 memorakporandakan gerakan terorisme dan separatisme? Berapa teroris yang sudah ditangkap dan dihukum? Tetap saja tidak membuat sel-sel terorisme hangus.
Jika terorisme saat ini terlihat diam, mereka sebenarnya seperti tumbuhan putri malu yang meredup sejenak ketika merasa tidak aman.
Jadi, mengapa korupsi dan teroris tidak juga habis? Karena perangkat hukum yang berlaku tidak membuat jera atau siapa pun ciut nyalinya.
Memberantas korupsi dan terorisme memang tidak bisa dengan cara biasa. Kembali pada kita, berani atau tidak.
Sri HandokoPemerhati Sosial, Tugurejo Semarang
Ilmu
Pekerjaan dokter sungguh mulia karena dengan ilmunya dapat menolong dan menyelamatkan sesama.
Menurut cerita pada zaman penjajahan Belanda, pada suatu ketika dr Cipto Mangunkusumo berhasil memberantas wabah penyakit di suatu daerah.
Beliau dipuji oleh pemerintah kolonial Belanda dan diberi medali. Namun, medali itu dipasang di punggung.
Dengan ilmunya, beliau mengabdi pada rakyat dan tidak mengharapkan medali.
Semoga ini menjadi pedoman para dokter angkatan sekarang. Selamat mengabdi kepada rakyat, disiplin, dan tetap kompak, tidak terbelah.
Titi Supratignyo Stonen, Bendan Ngisor, Gajah Mungkur, Semarang