Maka, jika kini kita melihat produktifnya kritik Azyumardi terhadap pemerintah di dalam tulisan-tulisannya, haruslah kita lihat sebagai kelanjutan keresahan intelektualnya sejak mahasiswa.
Oleh
FACHRY ALI
·4 menit baca
Beberapa hari setelah Putri Diana dimakamkan, Juli 1997, saya dan Azyurmardi Azra tiba di London, Inggris. Bahtiar Effendy, dari Amsterdam, Belanda, datang bergabung sehari setelahnya.
Seusai acara percakapan tentang Islam Indonesia (di mana Azyumardi menjadi bintangnya), saya dan Bahtiar berangkat ke Mekkah dari London untuk umrah. Azyumardi kembali ke Jakarta. Baik Azyumardi maupun Bahtiar kemudian menjadi profesor. Yang pertama dalam sejarah Islam Asia Tenggara, dan yang kedua dalam politik. Keduanya kini telah tiada.
Di Canberra, di kampus The Australian National University (ANU), saya sedang menghadap pembimbing tesis, Prof MC Ricklefs, April 1994. Sebelum diskusi, sejarawan hebat ini menunjukkan sebuah disertasi. ”This is a very good dissertation,” kata Ricklefs. Dia bertanya: ”Do you know him?” Saya melihat disertasi tebal tentang jaringan ulama Asia Tenggara abad ke-19 itu dan menemukan nama Azyumardi sebagai penulisnya. Saya bilang kepada Ricklefs: ”Sure, I know him.”
Saya sengaja menyebut dua kota dengan reputasi akademik dalam konteks kepergian Azyumardi pada Ahad, 18 September 2022, ini. Canberra dan London adalah tempat bercokol ilmuwan dunia. Di dua kota yang amat jauh dari Lubuk Alung, kota kecil di Sumatera Barat, tempat ia dilahirkan pada Maret 1955, itu saya tak bisa ”lari” dari Azyumardi. Di Canberra saya ”terbentur” dengan pujian Ricklefs. Sementara di London, beberapa saat setelah kami di sana, Azyumardi mendapat anugerah CBE dari Ratu Inggris.
Di Ciputat, awal 1980-an, karena terlihat bakat sebagai pemikir, saya mencantumkan nama Azyumardi sebagai penulis artikel di harian Kompas. Sejak 1978, saya menjadi penulis di harian besar ini. Maka, untuk pertama kali, bersama dengan saya, nama Azyumardi tertera di harian Kompas, dalam artikel ”Sistem Politik Kemanusiaan” (8/4/1981).
Suatu hari, saya minta Azyumardi menulis pemikiran politik filsuf Nietzsche. Naskah itu diberikan kepada saya. Setelah saya edit dengan memberi kerangka teoretis, saya minta ia mencantumkan nama dan mengirimnya ke Kompas. Azyumardi ragu dan berkata: ”Bukan sebaiknya ada nama Kak Fachry?” Karena lebih senior, ia memanggil saya ”kak”. Saya katakan, tulisan itu sudah bagus. Tak perlu kamu ragu. Benar saja, tulisan itu dimuat Kompas.
Ciputat Intellectual Community
Sejak awal 1970-an, Nurcholish Madjid tampil sebagai pemikir yang ”menggetarkan”. Setelah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, kemudian Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Barat, ia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI. Selepas itu, Nurcholish tampil dengan gagasan yang tak pernah terpikirkan kalangan Islam sepanjang sejarah modern Indonesia. Dengan keberanian intelektual, Nurcholish ”meneriakkan” jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”.
Sebagai anggota HMI pertengahan 1970-an, saya pun mengusulkan perkumpulan Ciputat Intellectual Community. Tujuannya, menciptakan ”Nurcholish kolektif”. Untuk usia kami, Nurcholish terlalu senior. Maka, kami menjadikannya model. Tugas Ciputat Intellectual Community adalah diskusi tanpa batas, membagikan literatur, dan membimbing yunior.
Azyumardi, bersama lainnya, masuk ke dalam kisaran kaum komunitas intelektual ini. Saya membiarkan Azyumardi mengumpulkan tulisan-tulisan saya, mengklasifikasikannya, dan membuat kata pengantar untuk menjadi buku tersendiri.
Usaha Azyumardi melahirkan buku saya Agama, Islam dan Pembangunan, terbitan PLP2M di Yogyakarta pada 1985. Itulah buku suntingan Azyumardi pertama. Dalam ”Pengantar Penyunting” Agama, Islam dan Pembangunan, Azyumardi menulis tentang saya: ”Di bawah pohon flamboyan di kampus IAIN Ciputat, saya memandang anak muda itu dengan kagum dan sedikit bingung. Kagum, karena dalam usia muda ia mampu menulis di media tingkat nasional. Bingung karena penampilannya; bertubuh sedang, berambut gondrong dan berpakaian rada kumal. Anak muda itu Fachry Ali”.
Di sini kita melihat, proses awal Azyumardi mengartikulasikan kekuatan bakat intelektual sebagai realisasi impian sang ayah. Kendati bekerja sebagai tukang kayu di kampungnya, ayah Azyumardi bertekad putranya mendapat pendidikan yang mumpuni. Dialah yang mengarahkan Azyumardi melanjutkan kuliah ke IAIN Ciputat, bukan IKIP atau Universitas Andalas, sebagaimana cita-cita Azyumardi. Dorongan sang ayah menemukan wadah lewat pengaruh intelektual Nurcholish Madjid dalam Ciputat Intellectual Community.
Sejak itu, artikulasi intelektual Azyumardi tak terbendung. Setelah aktif, bersama Komaruddin Hidayat dan Iqbal Abdurrauf Saimima, di majalah Panji Masyarakat pimpinan Rusjdi Hamka dan melanjutkan kuliah ke AS, Azyumardi hadir sebagai intelektual mumpuni. Ia mendapat penghargaan akademik tingkat global. Begitu besar pengaruh Azyumardi pada tingkat global, hingga intelektual dan mentor saya di LP3ES dan Pemimpin Redaksi Harian Kami Nono Anwar Makarim meminta rekomendasinya untuk sebuah acara di AS.
Sebagai intelektual, Azyumardi meneruskan gagasan dan cita-citanya sebagai aktivis mahasiswa. Pada 1978, sebagai pemimpin mahasiswa di IAIN Ciputat, Azyumardi diburu tentara karena memimpin demonstrasi. Ia, setelah ”bersembunyi” di rumah sakit, ditemukan dan merasakan penjara Orde Baru.
Maka, jika kini kita melihat produktifnya kritik Azyumardi terhadap pemerintah di dalam tulisan-tulisannya, haruslah kita lihat sebagai kelanjutan keresahan intelektualnya sejak mahasiswa. Di tengah rektor yang terdiam dan kampus-kampus yang tak bersuara, Azyumardi, bersama sedikit kaum intelektual lainnya, melanjutkan suara kritis. Suara kritisnya berwibawa karena ditunjang kesarjanaannya yang terakui tingkat dunia, apalagi Azyumardi juga anggota tim demokrasi global yang dibentuk dan dipimpin mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan.
Kepergian sang profesor yang mendadak telah membuat Indonesia dan dunia merasa kehilangan.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)