Belakangan agresivitas nelayan China menangkap ikan di Laut Natuna Utara memuncak. Besar dugaan ini merupakan kebijakan Pemerintah China. Menjadi pertanyaan apa yang melatarbelakangi kebijakan ini?
Oleh
HIKMAHANTO JUWANA
·4 menit baca
Harian Kompas (14/9/2022) menurunkan artikel dengan judul ”Kehadiran Kapal China Terkonsentrasi di Timur Laut Natuna”. Dugaannya, ini terkait upaya China untuk menegaskan klaim atas Sembilan Garis Putus atau Nine Dash Line.
Dugaan ini tidaklah salah. China telah lama melakukan klaim sepihak terhadap Sembilan Garis Putus (SGP) yang didasarkan pada argumentasi yang lemah. Namun, China tak pernah surut dalam melakukan klaim SGP tersebut.
Bahkan, jika ada negara yang mengganggu klaim SGP, China tidak segan-segan melakukan berbagai manuver, termasuk kebijakan untuk mengerahkan nelayan di SGP yang diargumentasikan sebagai traditional fishing righht atau wilayah penangkapan ikan tradisional para nelayan China.
China pun akan mengerahkan kapal-kapal penjaga pantai (coast guard)-nya agar para nelayan China terbebas dari gangguan otoritas negara lain.
Ketika lembaga peradilan internasional, Permanent Court of Arbitration (PCA), pada 2016 atas gugatan Filipina terhadap China memutuskan klaim SGP tidak memiliki dasar menurut Konvensi Hukum Laut 1982, kapal-kapal penjaga pantai China dikerahkan untuk menghalau kepal-kapal nelayan Filipina yang berada di SGP.
Agresivitas nelayan China pun meningkat di zona-zona laut beberapa negara yang bersinggungan dengan SGP.
Indonesia tak pernah mengakui klaim sepihak China atas SGP. Secara konsisten ini dilakukan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikut.
Jika menilik pada peta, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berada di Laut Natuna Utara memang bertumpang-tindih dengan SGP.
Namun, karena Pemerintah Indonesia tidak mengakui SGP, terhadap kapal-kapal nelayan China yang menangkap ikan di wilayah secara konsisten dilakukan penangkapan dan proses hukum atas dasar alasan mereka menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) di wilayah perairan Indonesia. Ini dilakukan di tengah protes China yang menganggap nelayannya sah melakukan penangkapan karena masih berada di SGP.
Tidak diakuinya SGP China oleh Pemerintah Indonesia juga berkonsekuensi Indonesia tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan negosiasi klaim tumpang-tindih dengan China.
Bahkan, ketika Indonesia melakukan eksplorasi di landas kontinen Laut Natuna Utara, Indonesia mendapat protes dari Pemerintah China. Tindakan pemerintah ketika itu sudah tepat, yaitu mengabaikan protes tersebut.
China tentu tidak akan bisa menerima jika batas ZEE Indonesia-Vietnam ditetapkan oleh kedua negara tanpa keterlibatan China.
Atas sikap Indonesia ini, Pemerintah China secara konsisten dari waktu ke waktu membuat kebijakan untuk membanjiri area tumpang-tindih dengan ZEE Indonesia dengan para nelayannya.
Berapa pun nelayan China yang ditangkap oleh otoritas Indonesia, akan terus dikirim nelayan-nelayan berikutnya oleh Pemerintah China tanpa jera.
Kapal-kapal penjaga pantai China pun akan dikerahkan untuk melindungi para nelayan China dari gangguan otoritas Indonesia.
Agresivitas memuncak
Belakangan, sebagaimana dilansir oleh harian Kompas, agresivitas nelayan China menangkap ikan di Laut Natuna Utara memuncak. Besar dugaan ini merupakan kebijakan Pemerintah China. Menjadi pertanyaan apa yang melatarbelakangi kebijakan ini?
Dugaan kuat ini berkaitan erat dengan akan dituntaskannya perundingan perbatasan ZEE antara Indonesia dan Vietnam. Batas ZEE Indonesia-Vietnam, jika dilihat dalam peta, ternyata berada di area klaim SGP China. China tentu tidak akan bisa menerima jika batas ZEE Indonesia-Vietnam ditetapkan oleh kedua negara tanpa keterlibatan China.
Didie SW
Bagi Indonesia dan Vietnam yang tidak mengakui SGP, tentu tidak ada ruang bagi China untuk turut dalam perundingan. Terlebih lagi perundingan perbatasan ZEE Indonesia-Vietnam didasarkan pada ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, sementara China melakukan klaim atas SGP tidak didasarkan pada konvensi ini.
China akan melakukan berbagai upaya yang intinya mendisrupsi perundingan batas ZEE antara Indonesia dan Vietnam dengan tujuan akhir gagal dan tidak pernah terjadi.
Upaya ini tidak hanya dengan menghadirkan nelayan-nelayan China di area yang akan disepakati Indonesia dan Vietnam, tetapi juga memunculkan opini-opini dari para tokoh dan elemen-elemen perikanan di Indonesia bahwa kesepakatan yang akan dicapai oleh Indonesia dengan Vietnam banyak merugikan Indonesia.
Harapannya adalah pemerintah akan berpikir dua kali untuk menuntaskan batas ZEE dengan Vietnam. Bukan tidak mungkin China juga akan berupaya untuk memecah belah pandangan dari para pejabat Indonesia terkait akan diselesaikannya perundingan ZEE Indonesia-Vietnam.
Namun, satu hal yang pasti bagi China ataupun Indonesia, upaya menggunakan kekuatan militer bukan suatu opsi.
Kalau perlu, China akan memanfaatkan ketergantungan ekonomi Indonesia sebagai tekanan agar Indonesia tidak menyepakati batas ZEE dengan Vietnam. SGP bagi China adalah segalanya. Apa pun upaya akan ditempuh untuk memastikan tidak ada negara yang mengganggu klaim SGP.
Namun, satu hal yang pasti bagi China ataupun Indonesia, upaya menggunakan kekuatan militer bukan suatu opsi. Hal ini mengingat area yang disengketakan tak terkait dengan masalah kedaulatan, tetapi hak berdaulat di laut lepas.
Bagi Indonesia, saat ini yang perlu dilakukan ada tiga hal. Pertama, membanjiri ZEE di Laut Natuna Utara dengan para nelayan Indonesia. Kedua, otoritas perikanan Indonesia pun terus melakukan penegakan hukum tanpa menghiraukan klaim China atas SGP.
Terakhir, segera menuntaskan perundingan ZEE Indonesia-Vietnam dan tidak pernah surut meski mendapat gangguan dari China.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A Yani