Bahaya Liberalisasi Pendidikan
Perubahan status PTN menjadi sebuah badan hukum yang dapat mendirikan satu badan usaha itu merupakan penyerahan PT pada mekanisme pasar. Dengan kata lain, PT adalah penyelenggara pendidikan dan sekaligus pemain pasar.
Seorang rektor perguruan tinggi negeri, beserta beberapa bawahan- nya, ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.
Berbagai desas-desus pun turut menyertai. Di antaranya adalah bahwa praktik suap semacam itu tidak hanya terjadi di satu perguruan tinggi. Ia sudah menjadi rahasia umum di beberapa perguruan tinggi.
Selain desas-desus tentang praktik busuk di perguruan tinggi (PT), pemberitaan tentang penangkapan rektor itu juga diikuti seruan serta kecaman moral. Di antaranya, artikel Satryo Soemantri Brodjonegoro yang berjudul ”Perguruan Tinggi sebagai Kekuatan Moral” (Kompas, 24/8/2022) dan artikel Saifur Rohman berjudul ”Profesor Doktor Koruptor” (Kompas, 26/8/2022).
Melalui artikelnya, Brodjonegoro membuat seruan perlunya ”gerakan moral di PT agar PT lebih berwibawa dan menjadi kekuatan moral”. Saifur Rohman, lebih dari itu, juga mengecam orientasi PT yang lebih ”dipenuhi semangat kepentingan material”. Orientasi ini tampak tak sesuai dengan status PT sebagai ”penjaga moral publik”.
Baca juga : Perguruan Tinggi sebagai Kekuatan Moral
Baca juga : Profesor Doktor Koruptor
Seruan dan kecaman moral semacam itu tentu saja baik dan perlu. Tapi, ingat, itu hanya akan menyasar pada level individu, tidak pada sistem yang lebih besar yang melingkupi individu. Karena itu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa seruan dan kecaman moral semacam itu akan mampu mengubah keadaan secara total. Seruan moral hanya akan menjadi kata-kata suci yang terdengar dari kejauhan selama tak ada perbaikan sistemis dan struktural.
Apa yang dilakukan rektor itu dan bawahannya memang biadab. Tak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan tindakannya. Namun, kutukan moral hanya akan berhenti sebagai kutukan, tak akan pernah mampu mengubah keburukan yang mengakar. Karena itu, kita perlu melihat kasus ini dari perspektif yang lebih besar sehingga kita mampu menemukan faktor-faktor yang memungkinkan perilaku biadab seperti itu bisa muncul di perguruan tinggi.
Otonomi = liberalisasi
Setelah memasuki era Reformasi, Indonesia seperti menghadapi gelombang besar demokratisasi di segala bidang. Salah satu agenda penting yang dibawa oleh gelombang demokratisasi ini adalah pemberian otonomi pada beberapa lembaga, termasuk lembaga pendidikan. Hal itu kemudian ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pasal 50 Ayat (6) UU Sisdiknas itu mengamanatkan bahwa ”Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya”. Pemberian otonomi ini jelas merupakan berkah reformasi yang patut disyukuri. PT memang harus memiliki otonomi dalam proses pembuatan keputusannya, terutama yang terkait dengan pengetahuan, penelitian, dan pengajaran.
Namun, berkah itu dapat segera menjadi musibah ketika UU yang sama tidak hanya memberikan otonomi akademik, tetapi juga mengamanatkan otonomi keuangan. Dalam Pasal 53 Ayat (1) dan (3), UU Sisdiknas itu mengamanatkan agar penyelenggara pendidikan, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, berbentuk badan hukum yang memiliki wewenang untuk mengelola dana secara mandiri.
PT, selain bebas secara akademik, juga bebas untuk ”berbisnis”.
Wewenang untuk mengelola dana secara mandiri juga berarti wewenang untuk mencari sendiri sumber-sumber pendanaan yang dibutuhkan oleh operasionalisasi pendidikan. Inilah awal mula dari banyak sekali persoalan yang terjadi di PT, yaitu pemberian otonomi yang dipahami sama dengan liberalisasi. PT, selain bebas secara akademik, juga bebas untuk ”berbisnis”.
Liberalisasi PT itu semakin menguat dalam UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU BHP ini dibuat memang dengan dasar Pasal 53 UU Sisdiknas. Namun, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, UU BHP itu segera dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi hanya beberapa bulan setelah disahkan.
Anehnya, UU yang memayungi UU BHP ini, yaitu Pasal 51 UU Sisdiknas, tidak ikut dibatalkan. Karena itu, UU baru yang memiliki spirit liberalisasi seperti UU BHP dapat kembali bermunculan. Misalnya, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
Pasal 64 Ayat (1) UU Dikti menyebutkan bahwa otonomi pengelolaan PT meliputi bidang akademik dan nonakademik. Otonomi bidang nonakademik mencakup, antara lain, otonomi keuangan (Pasal 64 Ayat 3).
Bentuk pelaksanaan otonomi keuangan adalah pembentukan perguruan tinggi negeri (PTN) berstatus badan layanan umum (BLU) atau badan hukum (BH) (Pasal 65 Ayat 1). Khusus PTN BH, UU Dikti juga memberikan wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (Pasal 65 Ayat 3).
Semua ketentuan, yang dipoles dengan narasi indah otonomi PT, itu bisa dilihat sebagai upaya pemerintah untuk pelan-pelan melepas tanggung jawab pada pendidikan tinggi. Dengan menjadikan PTN berstatus BH, pemerintah berharap PTN tak lagi menggantungkan sebagian besar pendanaannya kepada pemerintah. PTN didorong mencari sendiri sebagian besar sumber pendanaannya, entah melalui penarikan sumbangan dari mahasiswa atau melalui usaha.
Perubahan status PTN menjadi sebuah badan hukum yang dapat mendirikan satu badan usaha itu merupakan penyerahan PT pada mekanisme pasar. Dengan kata lain, PT adalah penyelenggara pendidikan dan sekaligus pemain pasar (market actor). Komoditas yang ”diperjualbelikan” tentu saja pendidikan. Itulah mengapa otonomi perguruan tinggi yang dipahami sama dengan liberalisasi perguruan tinggi justru akan mengarah pada komersialisasi pendidikan. Di sinilah peluang praktik suap dan segala macamnya juga terbuka lebar.
Sialnya, peraturan yang meliberalisasi PT atas nama pemberian otonomi itu kembali muncul dalam naskah RUU Sisdiknas 2022 (misalnya Pasal 39 dan 41). Jika RUU ini disahkan menjadi UU, tak tertutup kemungkinan kita akan melihat lagi praktik-praktik culas di PT.
Perubahan status PTN menjadi sebuah badan hukum yang dapat mendirikan satu badan usaha itu merupakan penyerahan PT pada mekanisme pasar.
Otonomi akademik semu
Liberalisasi PT seperti diamanatkan oleh UU Sisdiknas 2003 ataupun UU Dikti 2012 itu mendorong PT terjebak ke dalam apa yang oleh Sheila Slaughter dan Larry L Leslie (1997) disebut sebagai ”kapitalisme akademik”.
PT yang telah terjebak ke dalam kapitalisme akademik itu akan dipaksa berkompetisi dalam memperoleh dana-dana dari luar yang terikat pada pasar. Dana itu bisa berupa hibah penelitian atau kontrak kerja sama dengan industri tertentu. Namun, karena sumber dananya terikat pada pasar, untuk mendapat dana itu PT perlu menyesuaikan proyek risetnya dengan kebutuhan pasar.
Pada titik itulah, otonomi akademik yang diberikan kepada PT hanya akan menjadi otonomi semu. Sebab, dalam menentukan prioritas risetnya, PT harus patuh pada permintaan pasar. Para akademisi akhirnya tidak benar-benar bebas menentukan sendiri proyek risetnya.
Pada akhirnya, pasar yang menentukan mana hal yang penting dan tak penting secara akademik.
Dengan demikian, Pasal 8 dan 9 UU Dikti 2012 yang menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan hanya jadi pasal tanpa makna. Sebab, pada kenyataannya, begitu otonomi akademik itu diberikan bersamaan dengan liberalisasi PT, otonomi yang dimiliki PT akan kalah oleh determinasi pasar. Pada akhirnya, pasar yang menentukan mana hal yang penting dan tak penting secara akademik.
Oleh karena itu, pemerintah semestinya meninjau ulang otonomi PT. Pemberian otonomi tak sama dengan liberalisasi. Memberikan otonomi penuh pada PT, termasuk dalam hal keuangan, selain membuka peluang adanya praktik culas, juga berarti menyerahkan PT pada cengkeraman pasar. Pada titik itu, otonomi akademik menjadi hanya sebatas angan-angan.
Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat UGM dan Anggota Dewan Pendidikan DI Yogyakarta