
-
Beberapa hari yang lalu, saya dikirimi teman sepotong video di mana kita melihat Jokowi, sang Presiden, tengah rapat terbatas mengkritik kinerja imigrasi. Mula-mula saya kaget. Sebagai orang bule. Apakah kini kita masih pantas mengeluh tentang imigrasi, pikir saya? Bukankah, dibandingkan dengan zaman Orde Baru, seperti siang dan malam.
Dulu, ketika mau melewati pintu imigrasi masuk Indonesia, ada saja risiko kita disuruh ke ruangan kecil, di mana kita ”dipaksa” menyelesaikan masalah ”secara kekeluargaan”. Kini, aman: suami dari warga Indonesia tak perlu lagi bolak-balik Singapura seperti dulu; diberikan izin tinggal dan perlindungan hukum. Layanan lebih baik daripada padanannya di negeri-negeri yang konon ”maju” itu. Dan disertai pula senyum manis khas Indonesia.
Lalu, apa gerangan yang membuat sang presiden geram dengan imigrasi? Hal ini mestinya, maaf, ”kepikir” dulu oleh saya: beliau sebenarnya tidak berpikir tentang hak orang asing di Indonesia, tetapi tentang kemakmuran rakyatnya. Sebab, memang, ”kemacetan” yang dialami di imigrasi menghambat lajunya pembangunan Indonesia.
Kini tak sedikit industri-industri transformasi hendak pindah dari Tiongkok—yang dianggap terlalu mahal atau kurang terjamin secara geopolitik pada masa mendatang—ke negara-negara berbiaya produksi lebih rendah, seperti Vietnam, Thailand, Banglades, dan, maunya, Indonesia. Keluwesan birokratis menjadi pertimbangan penting para investor di dalam menentukan keputusan. Dan, di situ posisi Indonesia timpang: terbuka kepada turis Jepang dan bule yang ingin menghabiskan waktunya di ”surga” tropis Indonesia, seperti Bali, Lombok, atau Sumba, tetapi rumit melilit untuk orang atau perusahaan yang ingin mengembangkan usahanya di Indonesia.
Apakah kesulitan ini muncul dari latar belakang politik. Mungkin untuk sebagian begitu. Masih ada saja orang yang jam otaknya masih macet di arloji zaman Soekarno. Bagi mereka, investasi asing serta-merta berarti ”imperialisme”, yaitu kuasa asing. Mereka tidak mau melihat bahwa masalahnya bukanlah sumber modal, asing atau lokal, melainkan modal investasi diapakan, yaitu alokasi dana terkait dikendalikan oleh siapa dan demi siapa.
Tugas presiden adalah menjaga hal ini. Namun, bagi presiden, ada juga faktor lain, yang sebenarnya lebih berat. Sebagai mantan pengusaha mebel di Solo yang punya partner asingnya, Jokowi pasti banyak makan asam garam birokrasi. Ia tahu secara konkret bahwa kemacetan birokratis adalah cara samar untuk meminta pembagian rezeki. Itu yang hendak dihindarinya.
Masalah ini—berkelindannya kemacetan birokrasi dengan aneka bentuk pembagian rezeki itu—adalah kendala terbesar yang dihadapi Indonesia menuju status negara maju ”gemah ripah loh jinawi” itu. Bukan karena alasan ”moral” saja, tetapi, lebih-lebih, karena memperlamban laju pembangunan dan menghambat redistribusi kekayaan nasional yang wajar.
Itu yang ingin ditindak dan dibenahi oleh Jokowi. Dan harus segera: pantas dikhawatirkan, dua tahun lagi, seandainya presiden baru tidak ”muncul” dari proses pemilihan rakyat yang murni, tetapi dari politik ”dagang sapi”, pantas dikhawatirkan bahwa kendala di atas tidak teratasi.
Maka, mumpung pemerintahannya masih tersisa dua tahun, hendaknya Jokowi menggalakkan kebijakan ”sapu bersihnya”, bukan hanya di imigrasi, tetapi di seluruh jajaran birokrasi, bahkan sampai ke alat negara pun.
Kembali ke imigrasi, kondisi Indonesia turut menentukan sikap imigrasi asing. Mengapa orang Indonesia harus betul-betul berjuang agar mendapat visa Schengen ke Eropa Barat. Mengapa orang Malaysia diberikan ”visa on arrival” kalau mau ke Eropa, sedangkan orang orang Indonesia harus berkeringat panas-dingin sebelum mendapat visa Schengen. Kenapa hanya dua negara Eropa yang memberikan akses visa on arrival: Bealrus dan Serbia, yang reputasinya tak begitu melangit ini.
Dan, mumpung Indonesia akan menerima penggede-penggede G20, bukankah saatnya mendesak atau merayu Uni Eropa untuk lebih royal soal visa bagi warga Indonesia. Sudah saatnya pejabat-pejabat Eropa memahami posisi Indonesia yang makin kuat: sudah saatnya negeri tercinta ini diperlakukan sebagai partner setara, tanpa kendala di dalam sirkulasi barang, ide dan manusia. Apalagi sama-sama menganut universalisme bersarana demokrasi.
Wah, mimpi istri saya pun menjadi kenyataan, tidak perlu ngantri di Kedutaan Perancis....