Tujuh perwira polisi lulusan Akpol yang terlibat kasus pembunuhan Brigadir J, dan upaya menghalangi penyidikan perkara (obstruction of justice), merupakan indikasi tidak sesuainya penampilan dan keterampilan yang diharapkan, sebagai hasil proses pendidikan yang betul dan sesuai tuntutan zaman.
Masa pendidikan di Akpol diharapkan dapat membentuk perwira polisi yang mampu menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Agar tidak terulang lagi peristiwa FS, idealnya di setiap unit penugasan terdapat figur kepala atau komandan yang bisa menjadi panutan (role-model) dan sekaligus mampu mengasuh anak asuhnya menjadi polisi yang profesional dan bermartabat.
Kaderisasi harus dijalankan dengan metode pengasuhan bapak dan anak, transparan dan berkesinambungan. Dengan demikian, jual-beli jabatan dan titipan tidak boleh ada lagi di lingkungan Polri.
Semoga moto Polri, Rastra Sewakottama, yang artinya abdi utama bagi nusa bangsa, bukan sekadar slogan.
FX WibisonoJl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Rekayasa Kasus

Ferdy Sambo
Menurut hemat saya, kasus pembunuhan berencana oleh FS dan istrinya, PC, terhadap Brigadir J, paling mencoreng institusi Polri bukan kasus pembunuhannya, melainkan rekayasa kasus untuk menutupi kasus itu.
Selama ini ada sederet kasus yang ditengarai direkayasa oleh oknum sehingga rakyat tidak mendapatkan kepastian hukum. Rakyat hanya mendapat informasi abu-abu antara benar dan salah bahwa itu direkayasa. Tak perlu disebut di sini, rakyat bisa menilai.
Namun, kasus FS menyadarkan bahwa ada oknum yang dapat merekayasa secara terstruktur, sistematis, dan masif. Mungkin sekali ada peristiwa lain yang direkayasa untuk menutupi kebenaran.
Kasus ini seolah menjadi pengakuan bahwa rekayasa itu dimungkinkan untuk menyalahkan pihak yang benar dan membenarkan pihak yang salah. Andai tidak ada tekanan publik, tekanan di media sosial dan pidato Pak Presiden Jokowi berulang kali, bisa jadi kasus ini tidak seterang benderang sekarang.
Kita sangat berharap ke depan Polri kian profesional dan menunjukkan kepada rakyat yang benar memang benar dan yang salah memang salah.
Paulus MujiranJl Borobudur, Manyaran, Semarang
Rosi

Rosianna Silalahi. Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
Pada kesempatan yang baik ini, saya ikut mengucapkan Selamat Ulang Tahun Ke-11 kepada Kompas TV. Saya tertegun atas prestasi Kompas TV. Dalam usia semuda itu, prestasi yang diraihnya sudah sedemikian besar.
Pendekarnya adalah Rosi Silalahi. Berkait dengan kasus Sambo, misalnya, wawancara Rosi dengan Achmad Taufik Damanik sangat mengesankan. Damanik melontarkan pilihan, yakni dugaan kuat adanya pelecehan Putri Candrawathi oleh Josua sekalipun di sisi lain penyidik sudah menutup kasus ini. Ia tetap berpendapat, pilihan berupa dugaan kuat atau tindak lanjut oleh penyidik.
Bagi saya, yang menarik adalah kemampuan Rosi berdebat. Apakah ada unsur penyiksaan? Dengan dalil undang-undang, jawabannya pasti bukan penyiksaan.
Padahal, tembakan di dada telah mengucurkan darah, plus sejumlah tembakan lagi di kepala belakang. Kalau tembakan di dada sudah mematikan, bukankah tembakan selanjutnya penyiksaan?
Pilihan Damanik dan Komnas Perempuan membuat saya berpikir, apakah perasaan masyarakat tidak jadi salah satu unsur pertimbangan? Nalar, naluri, dan nurani tidak tampak dalam konteks ini.
Dalam usia menginjak kepala 8, rasanya saya sudah kenyang menikmati suguhan Kompas: baik Kompas TV yang saya nikmati mulai pukul 5 pagi maupun harian Kompas yang datang pukul 6 pagi.
Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun Kompas TV. Salut buat para pendekar Kompas TV.
H Setyo Soedradjat, Dr APUPengajar Pascasarjana, Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan
Generasi ”Sandwich”

Infografik Jajak Pendapat ”Generasi Sandwich” Indonesia
Generasi sandwich pertama kali diperkenalkan Profesor Dorrothy A Miller, tahun 1981. Generasi ini merupakan generasi orang dewasa yang menanggung hidup tiga generasi: orangtua, diri sendiri, dan anaknya.
Disebut sandwich karena seperti sepotong daging yang terimpit dua buah roti.
Jika ditelusuri mendalam dan telah dibuktikan dengan jajak pendapat Litbang Kompas, generasi sandwich ini sangat memprihatinkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah pendapatan yang rendah. Impian mereka untuk mempunyai rumah, kendaraan, dan tabungan kian kabur karena tidak sesuai dengan realitas kehidupan yang saat ini dijalani.
Bahkan mereka merasakan stres dalam kehidupannya, padahal mereka sudah bekerja keras dengan totalitas. Namun, pendapatannya tidak seimbang dengan keadaan dan kebutuhan ekonominya.
Tentu hal ini perlu perhatian khusus dari pemerintah agar generasi ini tidak frustrasi. Banyak hal yang bisa dilakukan, antara lain bantuan untuk meningkatkan kapasitas diri, seperti pelatihan dalam berbagai bidang, bantuan sosial bagi yang berpendapatan rendah, serta membuat kebijakan dan mengontrol pelaksanaannya agar lebih sesuai harapan.
Selain pemerintah, perusahaan dan kantor-kantor juga perlu meningkatkan gaji dan penghargaan bagi karyawan sehingga mereka fokus dalam bekerja, lebih bersemangat, dan tenang karena bebannya tidak berat.
Yang paling penting adalah pada generasi sandwich ini perlu adanya kemauan untuk belajar dalam meningkatkan kapasitas diri dengan melakukan berbagai hal.
Akhirnya, jika itu dapat dilakukan oleh semua pihak, generasi ini akan menjadi generasi yang bahagia karena tidak menghadapi kesulitan lagi meskipun harus menanggung beban tiga generasi.
Henrikus Wawan KurniawanKelapa Gading, Jakarta Utara