Guru adalah pendidik profesional. Sebagai pendidik profesional, guru harus sejahtera terlebih karena peran krusial guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Guru adalah pendidik profesional. Sebagai pendidik profesional, guru harus sejahtera terlebih karena peran krusial guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kesejahteraan guru diwujudkan dalam bentuk tunjangan profesi bagi para guru pemilik sertifikat pendidik, bukti formal pengakuan pemerintah kepada guru sebagai pendidik profesional. Tunjangan sebesar satu kali gaji pokok ini berlaku untuk guru yang berstatus aparatur sipil negara maupun swasta.
Tunjangan profesi guru, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, menjadi pembuktian upaya pemerintah memuliakan dan menyejahterakan guru. Karena itu ketika ketentuan ini ditiadakan dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), muncul protes dari kalangan guru. Komitmen pemerintah untuk memuliakan dan menyejahterakan garda terdepan pendidikan ini pun dipertanyakan.
Dua poster yang menjadi tuntutan mereka dibawa pengunjuk rasa perwakilan sekolah swasta di depan Kantor DPRD Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (16/2/2020). Mereka menuntut berbagai persoalan kebijakan pemerintah hingga kesejahteraan guru.
Menurut pemerintah, sebagaimana penjelasan Kemendikbudristek, justru pemisahan pengaturan sertifikasi dengan tunjangan bagi guru itu untuk memudahkan pemerintah memperjuangkan kesejahteraan guru ASN dan non ASN (Kompas, 16/9/2022). Jika selama ini hanya guru yang memiliki sertifikat pendidik yang “sejahtera”, ke depan semua guru berhak mendapatkan penghasilan yang layak (sejahtera) tanpa perlu menunggu mendapatkan sertifikat pendidik.
Wajar jika alasan tersebut tidak bisa diterima oleh para guru. UU Guru dan Dosen yang secara jelas mengatur tunjangan profesi guru saja belum dapat dipenuhi pemerintah, apalagi jika nanti tidak ada aturan yang jelas. Pemerintah menyebutkan bahwa penghasilan layak bagi guru mengacu UU ASN untuk guru ASN dan UU Ketenagakerjaan untuk guru non ASN, sementara kedua undang-undang ini tidak mengatur adanya tunjangan profesi sebagaimana dalam UU Guru dan Dosen.
Tak ayal gambaran suram “nasib guru”-lah yang muncul. Apalagi dalam RUU Sisdiknas tidak tergambar akan dibawa ke mana pengelolaan guru di Tanah Air ini.
Ancaman berkurang penghasilan pun menghantui para guru yang selama ini mendapatkan tunjangan profesi guru. Ketentuan bahwa tunjangan tersebut tetap akan diberikan asalkan memenuhi syarat, dinilai tidak jelas. Tak ayal gambaran suram “nasib guru”-lah yang muncul. Apalagi dalam RUU Sisdiknas tidak tergambar akan dibawa ke mana pengelolaan guru di Tanah Air ini, permasalahan mendasar yang selama ini diperjuangkan para guru dan juga pemerhati pendidikan.
Meski undang-undang menetapkan guru sebagai pendidik profesional, di RUU Sisdiknas pun disebut demikian, tata kelola guru masih jauh dari profesional. Dampaknya, polemik demi polemik selalu muncul ketika pemerintah mengeluarkan aturan terkait guru, termasuk soal kesejahteraan guru saat ini. Sebelumnya, soal guru honorer dan perekrutan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Pembahasan RUU Sisdiknas saat ini sejatinya momen yang tepat untuk membahas dan merancang soal tata kelola guru, yang juga mengatur kewajiban dan hak guru secara jelas. Sudah sering guru protes soal tata kelola guru, dan selama ini mereka tidak akan protes jika tidak menyangkut hal mendasar. Karena itu, protes guru sejatinya juga merupakan alarm untuk menata dan mengelola guru secara profesional, dalam upaya mencerdasakan kehidupan bangsa.