Forum Pertemuan Tingkat Menteri di Bidang Kebudayaan G20 menyuarakan pentingnya membangkitkan kegiatan seni dan budaya, bahkan menggalang dana untuk mewujudkannya. Wacana menarik, tapi masih perlu dibuktikan di lapangan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Acara ruwatan bumi digelar di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/9/2022) malam. Pergelaran yang berlangsung selama dua jam ini melibatkan masyarakat adat dari beberapa daerah. Ruwatan dipimpin empat pemimpin adat dari suku Karo, Mentawai, Dayak Iban, dan Mulu. Ruwatan bumi berisi cuplikan ritual berbagai suku yang mendoakan keselamatan umat manusia dan alam khususnya setelah pandemi Covid-19. Ruwatan bumi sekaligus menjadi penutup rangkaian acara Pertemuan Tingkat Menteri Kebudayaan (CMM) G20.
Semangat pembangunan berbasis budaya muncul pada Pertemuan Tingkat Menteri di Bidang Kebudayaan G20 di Magelang, Jawa Tengah, Selasa (13/9/2022).
Pertemuan itu dihadiri negara-negara anggota G20, seperti China dan Amerika Serikat, serta Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan, kebijakan berbasis budaya adalah kunci menciptakan pembangunan berkelanjutan dengan manfaat nyata, tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga sosial dan lingkungan (Kompas, 14 September 2022).
Semangat itu patut dihargai. Apalagi hal itu disepakati oleh negara-negara yang tergabung dalam G20, dan bakal dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi G20 serta Konferensi Global tentang Kebijakan Budaya tahun 2022. Kita berharap wacana itu menjadi kesepakatan di konferensi tersebut dan pada akhirnya sungguh-sungguh akan diterapkan di lapangan.
Kenapa semangat ini penting? Karena dalam proses pembangunan selama ini, kebudayaan cenderung diabaikan, bahkan kerap dikesankan sebagai faktor penghambat. Pembangunan seolah hanya didorong dan tertuju pada hitung-hitungan ekonomi untung-rugi yang serba pragmatis.
Padahal, kebudayaan sejatinya justru menjadi modal penting dalam pembangunan. Konsep kebudayaan di sini tak melulu terkait ekspresi seni budaya, tetapi juga mencakup semua hasil budi daya manusia, termasuk sejarah, kearifan lokal, dan lingkungan hidup. Jika didasari kesadaran itu, proses pembangunan bakal berjalan selaras dengan kehidupan masyarakat.
Perspektif ini mengingatkan pada gagasan Soedjatmoko (1922-1989), seorang pemikir kebudayaan, bahwa ekonomi merupakan hal penting untuk membangun Indonesia. Namun, kebudayaan dan karakteristik sosial masyarakat adalah fondasinya.
Dengan berbasis kebudayaan, pembangunan diharapkan dapat semakin mengembangkan otonomi manusia. Jika otonom, manusia menjadi lebih kreatif, cerdas, dan berorientasi pada kemajuan peradaban.
Masih dari Pertemuan Tingkat Menteri di Bidang Kebudayaan G20, muncul komitmen lebih jauh untuk mendorong kebudayaan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Bakal digalang Dana Pemulihan Seni dan Budaya Global(Global Arts and Culture Recovery Fund/GACRF) secara sukarela dari negara anggota G20 untuk mendukung pegiat seni dan budaya. Rencana ini juga patut disokong.
Bagaimanapun, pandemi yang mendera dunia selama dua tahun lebih telah melemahkan sendi-sendi kehidupan. Ekspresi seni dan budaya memiliki pendaran energi yang menghibur, menggembirakan, memantik semangat hidup, serta mencerahkan.
Jika spirit dan nilai-nilai itu dibangkitkan, masyarakat akan lebih sehat, semakin bersemangat untuk menjadi kreatif, serta giat menata kehidupan lebih baik.
KANTOR STAF PRESIDEN
Seniman dan budayawan memeriahkan Pertemuan Tingkat Menteri Kebudayaan Negara Anggota G20 (Culture Minister's Meeting) di Magelang, Jawa Tengah, 11-13 September 2022.