Menggali Makna Nasionalisme Indonesia
Kemajemukan Indonesia dalam banyak hal merupakan sebuah keniscayaan. Dari pidato Soekarno dan realitas keberagaman sosial dan budaya Indonesia tampak jelas bahwa tipe nasionalisme Indonesia adalah ”civic nationalism”.
Tulisan Fidelis Regi Waton, ”Kebanggaan Nasional”, di Kompas (1/9/2022), cukup menarik. Namun, uraiannya tentang nasionalisme layak dielaborasi lebih jauh.
Nasionalisme di era rezim Nazi-Hitler dan perkembangannya di Eropa dewasa ini perlu dibandingkan dengan nasionalisme Indonesia guna memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang makna nasionalisme.
Nasionalisme merupakan bentuk perilaku sebagai ungkapan rasa cinta dan bangga dari rakyat terhadap bangsa dan negaranya, sekaligus gerakan membela kepentingan bangsa dan negaranya. Ketika bicara tentang nasionalisme, kita perlu menempatkannya dalam konteks sejarah tiap-tiap negara-bangsa. Sejarah satu negara-bangsa dengan negara-bangsa lain jelas beda.
Ini penting agar fenomena nasionalisme sebuah bangsa bisa dipahami secara proporsional. Bicara tentang nasionalisme tak akan terlepas dari bingkai bangsa dan negara. Jiwa nasionalisme ada dalam setiap bangsa dari sebuah negara.
Baca juga : Kebanggaan Nasional
Nasionalisme Jerman dan Eropa
Nasionalisme bangsa Jerman di era Nazi-Hitler (1933-1945) lebih merupakan bentuk perlawanan terhadap Perjanjian Versailles, ekspresi kebencian terhadap kaum Yahudi (anti-Semitisme), dan sikap antikomunisme. Sauvinisme yang merupakan kesetiaan ekstrem terhadap bangsa dan negara menjadi salah satu ciri nasionalisme bangsa Jerman saat itu.
Sementara itu, nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang akibat penjajahan yang berlangsung ratusan tahun tanpa disertai sifat sauvinistis.
Perjanjian Versailles (1919) merupakan perjanjian damai yang mengakhiri Perang Dunia I. Di sini Jerman sebagai pihak yang kalah perang wajib menerima tanggung jawab sebagai penyebab perang. Bagi bangsa Jerman, perjanjian ini kemudian menimbulkan rasa kecewa, malu, dan merasa terinjak-injak oleh bangsa lain sehingga mendorong semangat kebangsaannya untuk membela negara melawan sekutu sebagai musuh.
Didie SW
Itulah sebabnya, ketika Adolf Hitler berkuasa, dengan didasari self-identity sebagai ras Arya, bangsa Jerman merasa diri sebagai bangsa unggul (superior) yang merendahkan bangsa lain serta menganggap bangsa lain sebagai musuh. Fenomena ini merupakan salah satu faktor penyebab pecahnya Perang Dunia (PD) II tahun 1939.
Pembunuhan massal yang dilakukan Hitler selama PD II (Holokaus) merupakan wujud kebencian itu. Diperkirakan dari sembilan juta orang Yahudi di Eropa, sekitar dua pertiganya tewas karena genosida.
Kebencian terhadap warga Yahudi lebih dikarenakan penguasaan ekonomi oleh sekitar satu persen minoritas warga Yahudi di Jerman. Dalam frasa politik, fenomena nasionalisme bangsa Jerman ketika itu bisa disebut sebagai ethnic-nationalism (nasionalisme etnis). Jiwa nasionalisme yang lebih didasari loyalitas pada kesamaan etnis atau kelompok rasial ketim- bang bangsa atau warga negara Jerman secara keseluruhan.
Menyangkut sikap antikomunisme, antara bangsa Jerman dan Indonesia memang ada kemiripan.
Dalam perkembangannya, nasionalisme etnis di negara- negara Eropa semakin meluas. Motivasinya tidak semata-mata berciri anti-Yahudi atau antikomunis, melainkan lebih pada menguatnya ikatan sebagai sesama kulit putih di negara-bangsa di mana mereka tinggal. Manifestasinya, mereka kemudian bergabung atau menjadi pendukung parpol far-right (sayap-kanan ekstrem).
Dewasa ini partai politik sayap-kanan ekstrem yang cukup dominan antara lain terdapat di Austria, Belanda, Perancis, Jerman, dan Italia. Di sini kaum pendatang atau imigran dianggap sebagai musuh bersama. Dalam tulisan ”People, Nation and State”, Edward Mortimer menyitir Robert Birley yang pada 1960-an menyatakan, ”The strongest political force in Europe today is still nationalism.”
Menyangkut sikap antikomunisme, antara bangsa Jerman dan Indonesia memang ada kemiripan. Sebelum Hitler berkuasa, Partai Komunis sudah dibentuk di Jerman pada 1918. Partai ini didukung penuh oleh Rusia yang mengampanyekan Revolusi Bolshevik di wilayah Jerman.
Di sinilah Hitler dan bangsa Jerman sangat resistan terhadap komunisme karena menganggap ideologi komunisme sebagai ancaman. Sementara bagi bangsa Indonesia, sikap anti- komunisme tak lepas dari luka sejarah pada peristiwa pemberontakan PKI 1948 dan 1965.
Nasionalisme Indonesia
Dalam pidato 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI, Soekarno menempatkan ”Kebangsaan Indonesia” atau nasionalisme di urutan pertama dari lima butir dasar negara. Menurut dia, ”Kebangsaan Indonesia yang bulat. Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.” (Risalah Sidang BPUPKI, Sekneg, 1996)
Dari pidato itu bisa ditarik benang merah bahwa nasionalisme Indonesia bertumpu pada keberagaman suku, agama, dan ras. Kemajemukan Indonesia dalam banyak hal merupakan sebuah keniscayaan.
Meskipun dalam Pembukaan UUD 1945 susunan sila dalam dasar negara tidak mencantumkan nasionalisme pada sila pertama, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tetap menempatkan nasionalisme sebagai salah satu pilarnya, sebagaimana tecermin dalam sila ketiga: Persatuan Indonesia. Sila ketiga Pancasila merupakan sikap kebangsaan yang saling menghormati perbedaan dan keberagaman masyarakat.
Sila ketiga Pancasila merupakan sikap kebangsaan yang saling menghormati perbedaan dan keberagaman masyarakat.
Dari pidato Soekarno dan realitas keberagaman sosial dan budaya Indonesia, tampak jelas bahwa tipe nasionalisme Indonesia bukan ethnic-nationalism sebagaimana Jerman pada masa Nazi-Hitler, melainkan civic-nationalism (nasionalisme kewarganegaraan). Civic-nationalism merupakan tipe nasionalisme yang merangkum nilai-nilai universal negara-bangsa atas dasar kemanusiaan, kemerdekaan, dan kesetaraan.
Nasionalisme ini sangat menghargai hak-hak asasi manusia (HAM), toleransi, dan keberagaman (diversity).
Indonesia yakin sikap diskriminatif dari ethnic-nationalism terhadap kaum imigran, seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa jelas bertentangan dengan HAM. Kehadiran kaum imigran sebagaimana ditentang kaum sayap-kanan ekstrem tidak akan merusak identitas sebuah bangsa.
Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, justru akan memperkaya budaya bangsa tersebut. Indonesia secara tradisional merupakan negara yang menghormati kaum imigran dan pencari suaka. Data menunjukkan bahwa saat ini sekitar 14.000 pengungsi dan pencari suaka berada di Indonesia. Mereka berasal dari Afghanistan, Somalia, Irak, Myanmar, Sudan, dan lain-lain.
A Agus Sriyono,Anggota Pusat Studi Kebangsaan Indonesia, Universitas Prasetiya Mulya