Zona Kuning Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi
Bisa jadi kontribusi perkembangan sains dan inovasi di Indonesia bukan berasal dari kemampuan mengirim manusia ke bulan, melainkan dari kekayaan budaya dan lingkungan hidupnya, dari keragaman hayati dan kekayaan budaya.
... how do we account for the persistence of poverty in the midst of plenty? If we knew the source of plenty, why don’t poor countries simply adopt policies that make for plenty? (Douglas North, 2000 - Nobel Laureate 1993)
Pertanyaan retoris yang menggugah, yang menggiring pada gambaran garis pantai kedua terpanjang di dunia, sumber daya laut, tambang, dan pertanian yang melimpah. Indonesia dikenal sebagai Amazon di Asia. Spesies fauna dan flora terhampar di darat dan lautnya. Kemewahan itu disempurnakan dengan kelimpahan sinar matahari sepanjang tahun dan sumber daya air.
Hal yang menarik adalah kekuatan sumber daya manusia pada sektor penelitian lumayan besar. Terdapat 7.833 peneliti di Indonesia pada 2022, dengan rumpun kepakaran dan fokus penelitian yang kaya. Hampir tidak ada rumpun pengetahuan yang tidak terwakili.
Baca juga : Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Sejarah Penelitian, Potret, dan Regulasi
Baca juga : Nasib Megabiodiversitas Minim Sentuhan Sains dan Pengembangan
Pemerintah dan lembaga donor siap menyediakan anggaran dan alat untuk kegiatan ini sehingga kegundahan Presiden Joko Widodo terhadap masih besarnya ketergantungan Indonesia pada barang impor relevan untuk diajukan bersama. Perubahan pada ekosistem ternyata tidak menggerakkan posisinya secara signifikan.
Dan kita belum beranjak jauh dari kegiatan ekonomi yang banyak mengandalkan sumber daya. Seperti membenarkan kutukan sumber daya: negara yang kaya sumber dayanya biasanya sulit beranjak pada ekonomi jasa (services driven economy) atau ekonomi industri (industrial driven economy).
Kemampuannya terbatas pada gali, tebang, potong, dan jual, selebihnya diimpor. Lebih menyedihkan saat melihat porsi manfaat negara pada posisi rantai pasok global. Penyedia bahan baku dan tenaga kerja akan menerima 0,8 persen dari total pendapatan sebuah rantai pasok global. Bagian terbesar dinikmati pada pelaku distribusi yang lebih dari 50 persen dan pemegang merek yang lebih dari 30 persen.
Tulisan ini memandang kebijakan riset, teknologi, dan inovasi untuk mencapai daya saing yang lebih kuat.
Karakter sains
Socrates pada 2.000 tahun lalu menekankan pentingnya menyusun sebuah pertanyaan yang tepat, walaupun pertanyaan yang baik belum tentu memuaskan penguasa. Seperti Nicolaus Copernicus (1473–1543) yang mempertanyakan pergerakan matahari mengelilingi bumi. Pertanyaan dan argumennya menempatkannya pada posisi yang kritis. Tulisan Copernicus yang menjelaskan bahwa bumi mengelilingi matahari, terbit setelah kematiannya.
Dalam memuaskan pertanyaannya, peneliti menggunakan banyak cara yang didasarkan pada observasi yang sistematis dan proses yang rasional. Temuan ilmiah tidak absolut, tetapi selalu terbuka terhadap diskusi.
Vannevar Bush (1945), penasihat Presiden Roosevelt yang terkenal dengan surat berjudul Science: The Endless Frontier memandang peran sains bagi masyarakat dan tanggung jawab pemerintah dalam mendukung kegiatan ilmiah. Menurut dia, sains merupakan bakal dari kemajuan teknologi. Untuk itu, peneliti bekerja pada atmosfer yang bebas dari tekanan kelompok dan dengan otonomi penuh terhadap penelitiannya.
Sains merupakan bakal dari kemajuan teknologi. Untuk itu, peneliti bekerja pada atmosfer yang bebas dari tekanan kelompok dan dengan otonomi penuh terhadap penelitiannya.
Karakter sains penting untuk dipahami sebagai dasar dalam pengaturan perannya dalam lingkungan. Peran dan tanggung jawab akan berbeda dengan entitas lainnya.
Di sisi lain, cara pandang kompetisi menjadi tidak relevan terkait dengan eksistensi lembaga penelitian yang didanai dari dana publik. Dari ini ukuran keberhasilan organisasi bersumber dari kepuasan pemangku kepentingan (beneficiary).
Dimulai dari kebutuhan
Penting untuk memahami kebutuhan dalam menetapkan sebuah aturan. Lingkungan manusia dan nonmanusia membentuk kebutuhan pada individu dan kolektif. Kebutuhan bukan keinginan.
Misalnya, alih fungsi lahan menjadi perkebunan teh di Cisarua perlu diantisipasi dengan beberapa implikasi yang mungkin timbul antara lain hilangnya spesies asli, perubahan kontur dan aliran air di atasnya. Penanaman teh di Cisarua pada 1910 berada pada waktu yang dekat dengan pembangunan Stasiun Pengujian Teh (1902), Bendungan Katulampa (1911), Kebun Bogor (1817), Kebun Raya Cibodas (1852).
Alih fungsi lahan di daerah puncak akan berpotensi menimbulkan banjir di Batavia dan Bandung. Pengaturan air diperlukan juga untuk irigasi pertanian wilayah sekitarnya. Kebun Raya Bogor menjadi solusi permasalahan dan titik penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang botani di Indonesia.
Baca juga : Riset untuk Kemakmuran Bangsa
Bung Karno pada 1943 menyampaikan pentingnya relasi perkembangan penelitian hayati dan obat dengan pembangunan bangsa. Pada masa-masa ini kegiatan riset dan pembentukan lembaga banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu hayati dan kesehatan. Tidak berbeda dengan masa-masa pemerintahan selanjutnya di mana kebijakan dan dinamika aransemen kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi mengikuti kebutuhan, seperti keberhasilan Indonesia dalam pengembangan industri dirgantara.
Kebutuhan merupakan suatu obyek yang berpengaruh pada keberlanjutan hidup individual, seperti sandang, pangan, dan papan. Keinginan adalah turunan dari kebutuhan. Jadi, jika kebutuhannya adalah pangan, maka terjemahan dalam keinginan bisa menjadi sorgum, kedelai, gandum, atau padi.
Umur sebuah tata kelola dan organisasi ada batasnya. Tokoh dan aktornya silih berganti sepanjang masa. Namun, pandangan terhadap kebutuhannya lebih stabil. Dalam cara pandang inovasi, kebutuhan bukan hanya berasal dari lingkungan atau diciptakan, tetapi tumbuh seperti layaknya kehidupan. Istilah ini dikenal dengan innovation creates its own arteries. Kemampuan menangkap pemahaman ini bisa menghindari kebijakan yang berubah terlalu cepat.
Aturan
Dalam seminar virtual bertajuk ”Penguatan Kapasitas Kelembagaan Riset Nasional” pada 22 Juni 2022, seorang narasumber menggambarkan pendirian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) seperti mengganti mesin mobil. Dalam tanggapannya, perwakilan dari BRIN berargumen bahwa lebih tepatnya mengganti kendaraannya, bukan hanya mesinnya.
Pertanyaan yang menggelitik adalah seperti apa lingkungan untuk kendaraan itu bekerja. Sebuah jip mungkin akan mengalami panas berlebih pada ruang bakarnya jika harus dipacu dalam putaran mesin tinggi terus-menerus dalam lintasan balap, begitu juga sebuah kendaraan Formula 1 mungkin akan bermasalah jika harus bekerja di medan yang terjal.
Ada yang percaya pada pentingnya sistem. Pada teori structure and agency, struktur berpengaruh pada pelaku di dalamnya. Institusi diartikan sebagai aturan main. Institusi yang terkecil setidaknya terdiri atas dua orang. Keluarga adalah salah satu bentuk institusi kecil.
Baca juga : Membangun Ekosistem Penelitian dan Inovasi
Aturan main diterjemahkan menjadi kebijakan. Kebijakan bisa disusun dalam aturan perundang-undangan yang memiliki hierarki. Ada juga yang dibentuk informal. Biasanya kebijakan yang sifatnya informal akan mengatur ke dalam. Aturan berlangsung dan membentuk budaya.
Ekonomi industri merupakan bagian budaya. Proses yang dilalui sebuah bangsa menjadi bertumpu pada kekuatan industrinya tidak terjadi sekonyong-konyong. Begitu juga dengan ekonomi inovasi, yang tidak terjadi dalam semalam.
Sebuah kerja sama internasional bernama Industrial Technology Development Project (ITDP) yang didanai Bank Dunia berjalan sejak 1995 sampai 2001. Proyek ini bertujuan meningkatkan daya saing industri di Indonesia dengan penekanan pada perbaikan institusi riset dan pengembangan.
Dari kegiatan ini lahir beberapa divisi dalam lembaga dan kementerian yang terkait pada pemanfaatan hasil penelitian, salah satunya Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dari kegiatan ini juga menurunkan diskusi lintas lembaga dan kementerian bersama legislatif dalam penyusunan aturan peran lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah dan pemanfaatan hasil penelitian.
Proses yang dilalui sebuah bangsa menjadi bertumpu pada kekuatan industrinya tidak terjadi sekonyong-konyong. Begitu juga dengan ekonomi inovasi, yang tidak terjadi dalam semalam.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi seperti gayung bersambut. Pada tahun 2014, Menristek Dikti M Nasir merencanakan penyesuaian. Namun, dalam perkembangannya, perubahan terlalu banyak. Terbit UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 2002.
Amanah besar untuk meningkatkan peran riset dan inovasi pada pertumbuhan ekonomi akan diturunkan dalam peraturan pelaksanaannya.
Bentuk aturan yang menempatkan lembaga riset, teknologi, dan inovasi sesuai dengan karakter dan kebutuhan yang sudah sesuai akan menjadi acuan bentuk organisasi, tugas pokok, dan layanannya. Kelengkapan hierarki kebijakan yang tersusun menjamin terjadinya proses bisnis yang baik. Relasi hubungan dengan pemangku kepentingan dan masyarakat juga terpenuhi dengan baik.
Di sisi lain, kebijakan informal yang terbentuk oleh sistem yang membentuk budaya juga diarahkan menjadi lebih produktif. Misalnya, aturan perencanaan pembangunan fisik, aturan hak kekayaan intelektual, pemetaan sumber daya manusia iptek dengan kebijakan yang baru akan membentuk kebiasaan dan tradisi ke dalam dan ke luar. Budaya organisasi yang terbentuk dipelihara sehingga membentuk karakter fungsi dalam konstelasi mikro, makro, dan global.
Ilmu pengetahuan untuk daya saing bangsa
Ekonomi yang didasarkan pada inovasi, tidak tunduk pada hukum hasil yang semakin berkurang (the law of diminishing return). Jika sumber daya bisa terkuras habis dijadikan dasarnya, terdapat setidaknya tiga syarat untuk dipertimbangkan dalam memahami kebijakan riset, teknologi, dan inovasi.
Pertama, pemenuhan kebutuhan masyarakat. Jika ihwal operasional kebijakan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas, maka bentuk ini akan diterima.
Penelitian, diseminasi, pelaksanaan penanganan tengkes yang dilakukan sejak 2018, misalnya, mampu menurunkan jumlah anak kekurangan gizi kronis itu. Maka, hilangnya dukungan lembaga di kantong-kantong tengkes merupakan kehilangan bagi warganya juga.
Begitu juga dengan semangat sains pada kemandirian obat dan vaksin, peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), prevalensi tengkes, penurunan tingkat kemiskinan, peningkatan rasio elektrifikasi, indeks kualitas lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi.
Beberapa pemimpin nasional yang menaruh perhatian pada perkembangan teknologi biasanya tidak berlanjut pada kepemimpinan berikutnya.
Kedua, dukungan politik yang stabil dan tidak berafiliasi pada perseorangan. Beberapa pemimpin nasional yang menaruh perhatian pada perkembangan teknologi biasanya tidak berlanjut pada kepemimpinan berikutnya.
Belajar dari keadaan politik Brasil pada era 1970-an yang konsisten terhadap perkembangan kedelai tropis. Brasil memulai pengembangan kedelai sejak 1970-an dan menjadi produser terbesar enam tahun kemudian. Brasil melakukan dengan melibatkan banyak aktor dengan kebijakan yang terintegrasi, seperti aturan pada pembuat kendaraan untuk melengkapi produknya dengan mesin yang bisa menggunakan bahan bakar fosil dan nabati (double combustion).
Hambatannya dan tentangan dari dalam dan luar negeri dialami, misalnya inflasi tinggi, kenaikan harga minyak bumi, pelengseran presiden, dan berbagai dinamika ekonomi politik lainnya. Negara ini berhasil menjadi 10 eksportir kacang kedelai terbesar sejak 1982.
Ketiga, sistem legal yang berwibawa. Mirip dengan pendidikan, riset membutuhkan anggaran besar dengan manfaat ekonomi yang bisa dinikmati dalam jangka menengah dan panjang sehingga pendidikan dan riset baik dipandang sebagai investasi.
Kekalahan Hitler dalam Perang Dunia II ternyata bukan disebabkan oleh lemahnya teknologi persenjataan, kekurangan personel, lunturnya kesetiaan pengikutnya. Begitu juga dengan kekalahan Vietkong yang bukan disebabkan oleh dikembangkannya senjata biologis.
Baca juga : BRIN dan Pembangunan Berkelanjutan
Bisa jadi kontribusi perkembangan sains dan inovasi di Indonesia bukan berasal dari kemampuan mengirim manusia ke bulan lagi, melainkan dari kekayaan budaya dan lingkungan hidupnya. Dari keragaman hayati dan kekayaan budayanya.
Seperti pengembangan gandum dan kedelai tropis untuk makanan khas daerah, pendalaman fitofarmaka untuk jamu, atau pewarna alami untuk melukis batik. Bahan baku tersebut bisa sama eksotiknya dengan minyak sawit, kapulaga, dan kayu manis dalam perdagangan internasional.
Syafrizal Maludin, Peneliti pada Direktorat Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)