Korupsi Tak Berujung
Selama penerapan hukum masih medioker seperti sekarang, sulit kita berharap pemberantasan korupsi bisa tuntas. Dalam upaya ini, Kompas konsisten mengingatkan bahwa pandemi tidak selayaknya menghilangkan korupsi.

Barang bukti pungli pendaftaran tanah sistematis lengkap atau PTSL di Desa Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten oleh mantan pejabat Desa Cikupa.
Cerita berjudul ”Jalan Tak Ada Ujung” menggambarkan berbagai peristiwa di negeri ini. Guru dan insan pendidik bertugas mulia menanamkan tata nilai, tidak semata kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Namun, hal ini dicederai Rektor Unila yang ditangkap KPK.
Opini Didi Achjari, ”Nila Setitik, Rusak Seleksi Mandiri di Perguruan Tinggi Negeri Semuanya” (Kompas, 24/8/2022), dan Saifur Rohman, ”Profesor Doktor Koruptor” (Kompas, 26/8/2022), menggambarkan keprihatinan para insan pendidik yang sebagian besar masih memiliki tatanan akhlak yang mulia.
Malaysia seperti digambarkan Tajuk Rencana Kompas (Kamis, 25/8/2022) yang berjudul ”Hukum di Malaysia Bisa Tajam ke Atas” belum terasa geregetnya di Indonesia. Di Malaysia, bekas orang nomor satu, Najib Razak, tetap dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.
Selama penerapan hukum masih medioker seperti sekarang—terlihat dalam penanganan kasus HAM—sulit kita berharap pemberantasan korupsi bisa tuntas. Dalam upaya ini, Kompas konsisten seperti dalam Tajuk Rencana Kompas (Rabu, 18/8/2021) yang mengingatkan bahwa pandemi tidak selayaknya menghilangkan keprihatinan terhadap korupsi.
Mengacu kepada beberapa kejadian yang hangat dalam berita, rasanya tepat tulisan Budiman Tanuredjo, ”Pesan Memecah Malam di Banaran” (Kompas, 27/8/2022) ditutup dengan pertanyaan: mengapa yang ditembak kucing atau ajudan? Bukan koruptor? Ketika zaman berubah, penembakan harus berubah dengan penegakan hukum keras dengan menyita aset yang dimiliki, termasuk mengucilkan para koruptor itu secara sosial.
Penutup tulisan ini menggugah kita bahwa kedaruratan korupsi di negara tercinta ini memang menyurut seperti beberapa kali ditampilkan Kompas. Budiman juga mengingatkan, negeri ini tidak sedang baik-baik saja.
Potongan kalimat ini juga membuat sedih kita: Tak juga terdengar suara elite negeri yang khawatir dengan soal masifnya korupsi, padahal korupsi itu berpotensi menghancurkan fondasi kebangsaan. Memperingati 77 tahun kemerdekaan, sebaiknya memang jangan hanya berupa slogan kosong dan keramaian sesaat pelipur lara.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS-STM PPM Menteng Raya, Jakarta
Kesetaraan Hukum

Tersangka Ferdy Sambo saat mengikuti rangkaian rekonstruksi pembunuhan Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Ferdy Sambo di Komplek Rumah Dinas Polri, Jalan Duren Tiga Utara, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Rekonstruksi pembunuhan Brigadir Novriansyah Yosua Hutrabarat ini menghadirkan tersangka bekas Kadiv Propram Polisi Ferdy Sambo, istri Ferdy Sambo Putri Candrawathi, ajudan Ferdy Sambo Ricky Rizal, penjaga rumah Ferdy Sambo Richard Eliezer Pudihang Lumiu, dan sopir Kuat Maruf. Dalam proses rekonstruksi ini dilakukan sebanyak 78 adegan. Durasi waktu berlangsungnya adegan ulang ini selama 7,5 jam. Selain dilakukan adegan ulang proses pembunuhan Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat yang berlatar di rumah pribadi dan rumah dinas Ferdy Sambo, simulasi adegan proses di Magelang pun turut dilakukan dalam rangakaian ini. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 30-8-2022
Peristiwa terbunuhnya Brigadir J terus mendapat sorotan publik. Baru kali ini peristiwa pembunuhan terjadi dengan melibatkan lebih dari 90 polisi—dari pangkat terendah sampai perwira tinggi—sebagai terperiksa.
Presiden Joko Widodo bahkan sampai empat kali ”mengingatkan” agar kasus ditangani serius. Kapolri pun sudah menjanjikan proses penanganan akan dilakukan cepat, transparan, dan akuntabel untuk mengungkap kebenaran.
Meskipun demikian, penanganan masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena penerapan kesetaraan hukum belum selaras dengan amanat konstitusi.
Pasal 1 Ayat 3 dan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, Indonesia adalah negara hukum. Semua warga negara sama kedudukannya di muka hukum dan pemerintah, wajib menjunjung hukum dan pemerintah tanpa kecuali.
Masyarakat melihat perlakuan yang berbeda jika hal yang sama dialami mereka. Dari penetapan tersangka sampai perlakuan istimewa pada tersangka. Apalagi jika menyimak penanganan di awal yang tidak terbuka. Tidak salah jika ada istilah hukum kita tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Peristiwa ini menjadikan kepolisian lakon di panggung terbuka dan menjadi tontonan masyarakat. Kasus ini harus bisa membuat polisi ataupun penegak hukum lain menerapkan prinsip kedudukan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum tanpa ada pengecualian (equality before the law).
Pangeran Toba P HasibuanSei Bengawan, Medan 20121
Punahnya Kearifan Lokal Dayak

Infografik Tahapan Budaya Berladang Suku Dayak
Tajuk Rencana Kompas (Jumat, 2/9/2022) yang berjudul ”Menghargai Kearifan Lokal” sangat menarik untuk dicermati semua pihak.
Tajuk rencana tersebut bercerita tentang nasib buruk yang menimpa masyarakat tradisional Dayak di Kalimantan Tengah akibat adanya larangan membakar hutan.
Masyarakat tradisional Dayak telah beribu-ribu tahun turun-temurun mempraktikkan sistem berladang gilir balik dengan ”membakar hutan”. Ini dilandasi pengetahuan ekologi tradisional dan sistem kepercayaan. Adaptasi kultural masyarakat tradisional tersebut diajarkan dari satu generasi ke generasi sehingga menghasilkan berbagai kearifan lokal, termasuk yang terkait dengan ketahanan pangan.
Sungguh tragis bahwa praktik budaya ”membakar hutan” masyarakat Dayak dalam beberapa tahun belakangan ini dilarang pemerintah. Praktik ladang berpindah tersebut dianggap merusak lingkungan karena berisiko kebakaran hutan lebih luas.
Kebijakan tersebut sepertinya tidak tepat sasaran. Berbagai kajian ilmiah secara lintas budaya menunjukkan bahwa sistem pertanian gilir balik memiliki dua model. Pertama, pertanian gilir balik sistem integral dan, kedua, pertanian gilir balik sistem parsial (Iskandar, Kompas, 3/12/2020).
Para ahli ekologi perladangan telah lama mengemukakan secara ilmiah bahwa penduduk tradisional yang mempraktikkan sistem pertanian gilir balik integral jarang menyebabkan kerusakan lingkungan. Mereka dalam praktik bertani gilir balik lebih merupakan way of life, bertani dengan berlandaskan pada moral kearifan lokal.
Sebaliknya penduduk yang mengelola ladang dengan model sistem parsial, tujuan bertaninya lebih untuk mencari keuntungan ekonomi sehingga berpotensi memicu kerusakan lingkungan. Sayangnya, pihak luar menganggap bahwa semua peladang itu sama.
Akibatnya, penduduk tradisional yang mempraktikkan sistem tani gilir balik mendapat sebutan negatif, seperti masyarakat terbelakang, miskin, dan perusak hutan.
Dalam dasawarsa terakhir, dengan maraknya alih fungsi lahan hutan di Kalimantan, kerap timbul bencana kebakaran hutan. Imbasnya, praktik pertanian gilir balik tradisional dianggap salah satu penyebab utama. Padahal, praktiknya penyebab kebakaran hutan ada banyak faktor, tidak bisa hanya ditimpakan pada masyarakat tradisional yang telah beribu-ribu tahun mengelola lahan hutan dengan cara bertani gilir balik.
Dari fakta-fakta lapangan dari laporan jurnalis Kompas, seyogianya hal ini jadi pembelajaran berharga. Bahwa melarang masyarakat tradisional Dayak berusaha tani gilir balik dengan membakar hutan tidak bijaksana dan tidak sejalan dengan program pembangunan berkelanjutan.
Dalam 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), ada tujuan menghilangkan kemiskinan di mana pun dan dalam bentuk apa pun. Ada juga tujuan menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan, peningkatan gizi, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan. Yang lebih penting lagi, menjamin pola-pola produksi dan konsumsi secara berkelanjutan.
Sungguh disayangkan jika dalam praktik, tujuan program pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum dilaksanakan secara saksama.
Johan IskandarPengajar Unpad, Penulis Buku ”Ekologi Perladangan Baduy”, Bandung 40614
Pemberantasan Narkoba

Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumsel menyita aset bandar narkoba DS senilai Rp 8,2 miliar. Aset tersebut merupakan hasil penjualan narkoba selama 2 tahun
Selagi ramai peristiwa terkait narkoba, saya berharap Kompas dapat menampilkan ide saya untuk menangani pemberantasan narkoba.
Selama ini penanganan tidak pernah berhasil karena yang dianggap berbahaya adalah pelakunya: bandar, pengedar, pengguna. Dengan demikian, yang ditangkap dan dihukum adalah mereka.
Saya kira, yang paling berbahaya adalah narkobanya. Kecuali efeknya yang berbahaya, juga karena nilai jualnya sangat tinggi. Siapa pun yang memegang, pasti timbul keinginan untuk menjual.
Saat ini tidak pernah terdengar nasib barang bukti, yang menimbulkan pertanyaan masyarakat. Narkoba harus dimusnahkan. Jadi, dalam setiap operasi penggeledahan narkoba, harus disediakan sarana pemusnahannya. Barang bukti tidak boleh disimpan dan pemusnahannya harus disaksikan masyarakat.
V Sutarmo SetiadjiJl Kemuning, Utan Kayu, Jakarta Timur
”Banyu Geni”
Dulu ketika HL (staf khusus Presiden SBY, 2004-2014) bikin sensasi dengan blue energy dan supertoy, terkesan ada endorsement dari bosnya. Kemudian ternyata ”energi biru” dan ”padi ajaib” itu hoaks.
Dengan jujur dan kesatria Presiden SBY mengakui kesalahannya dengan bilang, ”I am not a scientist myself.”
Sekarang Aiman bikin tayangan ”proyek Lemah Abang”, antara lain berupa air murni (aqua destilata?) yang dijadikan bahan-bakar untuk menyalakan motor. Air itu diuraikan menjadi hidrogen dan oksigen, dan energi termal (?) yang dilepaskan diubah menjadi energi mekanis.
Namun, elektrolisis air itu reaksi kimia endoergik yang membutuhkan pasokan energi dan aki. Apakah kuncinya adalah katalis yang katanya dipakai Haryanto?
Semoga ada penjelasan.
L WilardjoKlaseman, Salatiga
Kalender DPR
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (Setjen DPR) akan mencetak 15.000 kalender tahun 2023. Alokasi anggarannya Rp 955 juta.
Untuk kepentingan siapakah petunjuk waktu yang terbagi menjadi 5.000 kalender meja dan 10.000 kalender gantung itu? Sekjen DPR hanya menyebut, alokasi anggaran itu berdasarkan harga perkiraan sendiri. Kalender meja Rp 27.500 dan kalender gantung Rp 45.500 per unit.
Selain tidak jelas peruntukan kalender mahal tersebut, juga terkesan pengadaan barang itu sekadar cara cepat menghabiskan anggaran.
Padahal, kalender fisik mulai ditinggalkan karena kita sudah mengenal kalender digital yang lebih praktis, baik yang ada di fitur telepon genggam maupun arloji. Janganlah ajak masyarakat mengabaikan kemajuan teknologi.
Saya punya pengalaman membeli kalender fisik ukuran besar tahun 2022 yang dijajakan pedagang asongan, cuma Rp 10.000 per unit.
A RistantoJatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi