Akankah kenaikan bantuan sosial Rp 24,17 triliun mampu menghadapi dampak sosial ekonomi kenaikan harga BBM yang harus dipikul masyarakat? Kenaikan harga BBM akan dikatakan berhasil jika terjadi perbaikan secara terukur.
Oleh
ANY SETIANINGRUM
·4 menit baca
Dengan alasan 70 persen subsidi BBM justru dinikmati pemilik mobil pribadi sehingga perlu mengalihkannya ke bantuan sosial masyarakat kurang mampu agar lebih tepat sasaran, maka per 3 September 2022 pukul 14.30 WIB pemerintah menaikkan harga BBM. Harga pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, pertamax nonsubsidi dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter, dan solar bersubsidi dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter.
Pemerintah juga mengumumkan telah menyiapkan bantuan sosial untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan subsidi transportasi daerah dengan nilai total Rp 24,17 triliun.
Pertanyaannya, apakah kenaikan bantuan sosial sebesar Rp 24,17 triliun tersebut akan mampu menghadapi dampak sosial ekonomi kenaikan harga BBM secara makro dan mikro yang harus dipikul masyarakat dan ujung-ujungnya akan kembali menjadi tanggung jawab pemerintah? Selanjutnya, bagaimana menilai akurasi subsidi lebih tepat sasaran dibandingkan dengan sebelum kenaikan harga BBM?
Jika menggunakan patokan besarnya jumlah anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun 2022 yang mencapai Rp 502,4 triliun, maka implikasi utama jika subsidi dialihkan kepada bansos masyarakat kurang mampu dapat terealisasi sepenuhnya, seharusnya akan ada penurunan angka kemiskinan. Namun, selama ini kenaikan harga BBM justru mendongkrak inflasi, memicu penurunan daya beli, dan angka kemiskinan pun meningkat. Belum lagi adanya penyalahgunaan kebijakan subsidi oleh oknum pusat dan daerah.
Dapatkah kebijakan kali ini ibarat mendapatkan ikan tanpa memperkeruh air, menaikkan harga BBM tanpa menimbulkan persoalan yang justru lebih merugikan masyarakat?
Linearitas
Penjelasan pemerintah juga berarti anggaran subsidi dan kompensasi BBM, LPG, dan listrik pada tahun 2022 yang sebesar Rp 502,4 triliun tidak akan dilanjutkan lagi. Artinya, bantalan sosial sebesar Rp 24,17 triliun masih merupakan bagian kecil dari solusi.
Masih ada perhitungan selanjutnya, di antaranya berapa dari proyeksi keseluruhan jumlah hasil kenaikan harga BBM yang akan dialihkan, berapa jumlah subsidi yang masih akan diadakan selanjutnya, dan berapa nilai manfaat sosial ekonomi versus dampak negatifnya? Dengan kata lain, hubungan di antara jumlah tersebut harus linear, yakni antara jumlah total kenaikan BBM beserta dampak negatifnya dan tingkat manfaat riil yang diterima masyarakat.
Pemerintah sudah seharusnya menjelaskan linearitas tersebut dengan kaidah transparansi, akuntabilitas, reliabilitas, kewajaran, dan independen tanpa konflik kepentingan secara berkala. Sebab, ujung-ujungnya dampak negatif sosial ekonomi kenaikan harga BBM terhadap masyarakat akan menjadi tanggung jawab pemerintah juga.
Pemerintah sudah seharusnya menjelaskan linearitas tersebut dengan kaidah transparansi, akuntabilitas, reliabilitas, kewajaran, dan independen tanpa konflik kepentingan secara berkala.
Berpedoman kepada tujuan tepat sasaran, konsekuensinya adalah kebijakan kenaikan harga BBM akan dikatakan berhasil apabila terjadi perbaikan terukur. Perbaikan itu di antaranya berupa peningkatan daya beli kebutuhan pokok, akses beserta fasilitas pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah dan daerah tertinggal.
Dan jika berpatokan kepada jumlah besaran subsidi energi pada tahun 2022 yang senilai Rp 502,4 triliun, maka setelah ada pengalihan subsidi BBM tersebut, seharusnya akan berimbas langsung pada mengalirnya nilai tambah ekonomi dan keuangan kepada masyarakat lapisan terbawah khususnya. Dan ini pada akhirnya menjadi daya ungkit kegiatan ekonomi riil secara makro, di mana produsen atau sektor usaha juga turut menikmati kenaikan permintaan produksi sehingga peluang pasar barang, jasa dan lapangan kerja terbuka lebih luas bagi masyarakat akibat dampak pengalihan subsidi BBM secara lebih tepat sasaran.
Implikasi lain dari pengalihan subsidi BBM seharusnya menyebabkan perputaran keuangan dan ekonomi ke dalam zona dan ruang rakyat menjadi lebih besar. Hal tersebut direfleksikan dengan peningkatan produksi UKM dalam negeri, penambahan lapangan kerja, penurunan kesenjangan sosial ekonomi, yang juga akan menurunkan angka kriminalitas sekaligus meningkatnya rasa keadilan dan aman masyarakat.
Mengingat jumlahnya yang sangat besar, sekali lagi pertanyaannya, mampukah kebijakan peralihan subsidi BBM kali ini menjadi daya ungkit pergerakan ekonomi dan keuangan rakyat? Jangan sampai kebijakan ini sekadar pemberdayaan opportunity loss atas fluktuasi harga minyak dunia, padahal dampak negatif kenaikan harga BBM bagi masyarakat bersifat riil.
Artinya, kebijakan kenaikan harga, berikut peralihan subsidi jangan sampai hanya narasi dari kesempatan yang hilang untuk memperoleh untung dengan memasang harga eceran di atas harga pasar minyak global (opportunity loss). Jangan sampai tujuan pokoknya, yakni benefit sosial ekonomi bagi masyarakat tidak signifikan atau tidak sebanding, baik jumlahnya maupun kualitas manfaatnya.
Jadi, prinsip kebijakan kenaikan harga BBM adalah perlu adanya konsistensi, yakni harus ada korelasi positif signifikan antara kenaikan harga BBM, peralihan subsidi, beserta perbaikan zona ekonomi dan keuangan rakyat.
Dan dalam realisasinya, opportunity loss jangan sampai menjadi tujuan utama. Nilai bantuan sosial juga tidak seharusnya di bawah besarnya biaya problema sosial ekonomi berikutnya.
Any Setianingrum, Associate Professor Ekonomi dan Keuangan Universitas Yarsi, Jakarta; Anggota Society for Advancement Social-Economics, Jerman