”Cashback” Spesial untuk Para Koruptor
Pada dasarnya, remisi sebagai pengurangan hukuman dan pembebasan bersyarat memang merupakan hak dari seluruh narapidana. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah pemberian hak tersebut sudah tepat?
”Let the punishment fit the crime”. Sebuah postulat dari Cicero yang menekankan bahwa setiap hukuman harus sesuai dengan kejahatannya. Sebuah postulat yang tidak mudah untuk diterapkan.
Bagaimana cara mengukur hukuman yang tepat dengan kejahatannya? Montag dan Tremawan dalam penelitiannya, ”Let the Punishment Fit the Criminal: an Experimental Study”, menekankan bahwa penjatuhan pidana tidak hanya cocok dengan kejahatannya, tetapi juga harus sesuai dengan pelakunya sehingga tentu beragam.
Namun, dalam tujuan penjatuhan sanksi pidana kontemporer, sanksi pidana harus dapat memberikan edukasi bagi masyarakat bahwa perbuatan tersebut buruk dan harus dihindari. Sebagaimana ungkapan Seneca nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur, hukuman dijatuhkan bukan karena kejahatan dilakukan, melainkan agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut.
Sayangnya, konsep pidana tersebut terlihat tidak sepenuhnya sejalan dengan penjatuhan dan pelaksanaan pidana bagi para koruptor di Indonesia.
Baca juga : Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa
Baca juga : Episode Kelam Pemberantasan Korupsi
Aturan tentang remisi dan pembebasan bersyarat
Pada 6 September 2022, Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mengatakan, setidaknya terdapat 23 terpidana koruptor yang menerima pembebasan bersyarat sekalipun kasus korupsi dari terpidana koruptor tersebut terbilang tidak sederhana. Di antara mereka adalah bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari, bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, bekas Gubernur Jambi Zumi Zola, bekas hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, dan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali.
Dasar hukum pembebasan bersyarat yang diberikan kepada para terpidana tersebut adalah Undang-Undang No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan berbagai aturan turunan dari Undang-Undang Pemasyarakatan sebelumnya.
Pada dasarnya, remisi sebagai pengurangan hukuman dan pembebasan bersyarat memang merupakan hak dari semua narapidana. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah pemberian hak tersebut sudah tepat? Selain itu, permasalahan sebenarnya adalah pada penjatuhan pidana yang tidak sesuai dengan pidananya.
Remisi dan pembebasan bersyarat memang merupakan hak dasar dari narapidana. Pasal 10 huruf a dan f UU Pemasyarakatan bahkan menegaskan, hak remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak yang diberikan tanpa terkecuali.
Tujuan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat adalah untuk merehabilitasi terpidana sehingga berkelakuan baik di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan lebih mudah diterima masyarakat. Hal ini terlihat dari penjelasan Pasal 10 UU Pemasyarakatan yang mengartikan pembebasan bersyarat sebagai ”proses Pembinaan Narapidana di luar Lapas untuk mengintegrasikan dengan keluarga dan masyarakat”.
Namun, sebelumnya hak remisi dan pembebasan bersyarat ini sempat dibatasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 yang mengubah PP No 32 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pasal 34A PP ini mengatur, narapidana korupsi dapat menerima remisi dan pembebasan bersyarat jika memenuhi ketentuan, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti. Dengan demikian, dalam konsep PP tersebut, tak semua narapidana korupsi dapat memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat.
Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 34A PP tersebut telah dicabut oleh Mahkamah Agung dalam uji materi (judicial review) pada Putusan Nomor 28 P/HUM/2021.
Putusan MA ini sangat berbeda dengan putusan judicial review MA tahun 2013 untuk pasal yang sama, yakni Putusan Nomor 51/P/HUM/2013.
Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2021 berpandangan, ketentuan dalam Pasal 34A PP Tahun 2012 itu bertentangan dengan semangat rehabilitasi dan reintegrasi sosial, serta konsep keadilan restoratif (restorative justice). Selain itu, dengan konsep equality before the law, MA berpendapat semua narapidana tersebut sama sehingga tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya.
Putusan MA ini sangat berbeda dengan putusan judicial review MA tahun 2013 untuk pasal yang sama, yakni Putusan Nomor 51/P/HUM/2013. Dalam putusan tersebut, MA menilai, memberikan pengaturan yang berbeda terhadap terpidana korupsi merupakan hal yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat karena kejahatan korupsi memiliki dampak berupa kerusakan moral, sosial, dan ekonomi.
Oleh karena itu, pada 2013, MA menolak permohonan uji materi tersebut dan mempertahankan Pasal 34A PP Hak Warga Binaan. Sampai kemudian pada 2021 akhirnya pasal tersebut dibatalkan oleh MA. Pembatalan pasal ini diperkuat dengan Pasal 10 UU Pemasyarakatan Tahun 2022 yang mengatur bahwa setiap narapidana yang telah memenuhi syarat ”tanpa terkecuali” berhak menerima ”remisi” dan ”pembebasan bersyarat”.
Penjelasan ”tanpa terkecuali” di sini menegaskan bahwa tak ada perbedaan di antara setiap narapidana. Namun, Penjelasan Pasal 10 Ayat 1 UU Pemasyarakatan juga menyatakan, kondisi ”kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan”. Dengan demikian, menjadi pertanyaan apakah putusan pengadilan bisa mencabut hak remisi dan pembebasan bersyarat.
Efek jera
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan bahwa untuk meningkatkan efek jera, KPK akan menuntut pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat. KPK mendasari ide ini pada Pasal 18 Ayat (1) UU Korupsi di mana pidana tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat berlaku.
Pasal 35 KUHP mengatur hak-hak yang dapat dicabut. Namun, hak remisi dan hak pembebasan bersyarat tak termasuk dalam hal yang dapat dicabut pada pidana tambahan sebagaimana diatur di KUHP.
KPK pernah mencoba tuntutan untuk mencabut remisi dalam kasus Muhtar Ependy, tetapi MA menolak tuntutan tersebut dan bahkan hakim Artidjo Alkostar selalu menjatuhkan pidana berat bagi koruptor yang menolak tuntutan KPK tersebut. Hakim MA pada Putusan MA Nomor 2368 K/Pid.Sus/2015 mempertimbangkan bahwa koruptor tetap berhak mendapatkan remisi, tetapi pemberiannya harus diberikan secara selektif sesuai peraturan.
Harus dipahami putusan ini mendasarkan pada PP No 99 Tahun 2012 yang belum dicabut. Dalam pengujian Pasal 34A PP No 99 Tahun 2012 pada Putusan MA Nomor 51/P/HUM/2013, Artidjo juga merupakan majelis yang menolak pembatalan pasal tersebut. Dengan demikian, penolakan pencabutan remisi didasarkan pada PP yang masih berlaku saat itu, di mana koruptor memiliki aturan khusus dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.
Hal yang menjadi sorotan adalah hakim memberikan alasan yang meringankan dalam kasus tersebut, yakni ”terdakwa memiliki peran dalam kemajuan MA”.
Dalam konteks ini, Penjelasan Pasal 10 UU Pemasyarakatan sebenarnya membuka peluang untuk kembali menuntut pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat jika memang perbuatan koruptifnya memiliki dampak yang masif dan memerlukan pembinaan yang berbeda sebagaimana terlihat dalam semangat PP No 99 Tahun 2012. Akan tetapi, untuk memperkuat ini, perlu ada perbaikan UU Korupsi yang menambahkan soal pengaturan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat untuk memperkuat penegakan korupsi.
Kasus korupsi penegak hukum
Dengan menilai lebih jauh, harus dipahami bahwa lemahnya sanksi pidana bagi koruptor bukan karena lemahnya pengaturan mengenai remisi dan pembebasan bersyarat.
Hal ini sudah dimulai sejak penegakan hukum yang bersifat diskriminatif. Sebagai contoh, kasus-kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, seperti kasus Nurhadi, bekas sekretaris MA, dan kasus Pinangki, bekas jaksa.
Kasus Nurhadi sangat menarik perhatian publik karena Nurhadi dianggap menerima suap dan gratifikasi sampai dengan Rp 83 miliar untuk mengurus perkara di MA. Modus yang digunakan bahkan melibatkan menantu Nurhadi sendiri.
Lebih mengejutkan, tuntutan KPK 12 tahun penjara dipangkas menjadi hanya enam tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Tipikor) Jakarta. Hal yang menjadi sorotan adalah hakim memberikan alasan yang meringankan dalam kasus tersebut, yakni ”terdakwa memiliki peran dalam kemajuan MA”.
Keanehan di sini adalah, dalam perkara yang secara sah dan meyakinkan terbukti dalam lingkup MA dilakukan oleh seorang sekretaris MA, hakim Pengadilan Tipikor malah meringankannya, menjadi peran dalam kemajuan MA. Hal ini menjadi pertanyaan besar.
Selain kasus Nurhadi, kasus jaksa Pinangki juga menarik perhatian. Pinangki yang menjadi agen Joko S Tjandra untuk memuluskan proses hukumnya telah menerima imbalan 500.000 dollar AS dan bermufakat melakukan suap terhadap penegak hukum di lingkungan Kejaksaan Agung dan MA.
Pinangki dituntut oleh kejaksaan empat tahun penjara. Padahal, dakwaan terhadap Pinangki adalah suap dan pencucian uang. Jika dibandingkan dengan kasus First Travel, yang tersangkanya didakwa pasal penipuan dan pencucian uang, dengan tuntutan 20 tahun penjara, Pinangki hanya dituntut seperlima dari kasus penipuan tersebut.
Dalam putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Pinangki dijatuhi vonis 10 tahun penjara. Sanksi ini seakan terlihat jauh lebih tinggi daripada tuntutan, tetapi sejatinya masih tidak sesuai dengan korupsi yang telah dilakukan terdakwa. Vonis ini diperburuk lagi dengan vonis Pengadilan Tinggi yang memberikan diskon hingga menjadi empat tahun penjara.
Sanksi pidana bahkan tak lagi menjadi penjeraan yang efektif untuk mencegah korupsi.
Hakim pada Pengadilan Tinggi memberikan pertimbangan yang menggelitik, yakni ”tuntutan jaksa telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat” sehingga sanksi sepuluh tahun dipangkas menjadi hanya empat tahun. Selain itu, sejak awal jaksa tidak menuntut pidana uang pengganti atas Rp 7 miliar yang diterima Pinangki.
Bahkan, penyitaan yang dilakukan juga masih jauh dibandingkan dengan jumlah uang suap yang diterima.
Kelemahan dalam penegakan hukum ini yang berakibat pada lemahnya efektivitas penjeraan tindak pidana korupsi.
Solusi dari berbagai permasalahan ini adalah perkuat pemberantasan korupsi di wilayah penegakan hukum. Korupsi jelas telah menghambat terciptanya fair trial sebagai cita-cita utama peradilan Indonesia. Sanksi pidana bahkan tak lagi menjadi penjeraan yang efektif untuk mencegah korupsi.
Menurut Christi Danilet, mantan hakim di Romania, judicial corruption atau korupsi dalam lingkup peradilan memiliki dua dampak yang signifikan. Pertama, dampak terhadap individu penegak hukum yang tidak lagi independen.
Dan kedua, dampak terhadap peradilan yang tidak lagi bisa menegakkan keadilan. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menangani korupsi di bidang penegakan hukum sehingga menciptakan pemberantasan korupsi yang efektif.
Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada