Selagi pemerintah membahas RUU Sisdiknas, penting untuk mengarusutamakan kesejahteraan psikologis guru sebagai indikator utama keberhasilan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Oleh
WAHYU WIDODO
·4 menit baca
Membicarakan pendidikan seakan selalu menghadirkan kegelisahan. Kalaupun tidak soal kemampuan akademik siswa yang tidak lebih baik dari tahun ke tahun atau pergantian kurikulum adalah soal kesejahteraan guru. Polemik terakhir adalah tentang tunjangan profesi yang lenyap dari Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2022.
Klarifikasi dari pemerintah cukup menenangkan hati bahwa guru nanti tidak perlu menunggu sertifikasi untuk menerima penghasilan yang layak sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tampaknya penghasilan yang layak menjadi indikator utama kesejahteraan guru di Indonesia.
Bukan berarti hal itu salah. Akan tetapi apabila diselami lebih dalam soal kesejahteraan itu, maka sesungguhnya tidak cukup hanya dengan makna tingginya penghasilan yang diterima, lebih dari itu adalah kesejahteraan psikologis guru.
Kesejahteraan psikologis guru di Indonesia jelas masih diabaikan oleh tak hanya pemerintah dan para ilmuwan, namun juga organisasi guru. Padahal kesejahteraan psikologis guru berpengaruh kepada tingginya kualitas mengajar, hasil belajar siswa, dan efektivitas regulasi pemerintah di bidang pendidikan (Hascher dan Waber, 2021).
Mungkin pengertian akan hal itu masih kurang, sehingga apabila harus dikatakan tidak ada, kesadaran akan kesejahteraan psikologis guru masih rendah. Lihat, apakah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ada klausul yang menjelaskan soal itu?
Sementara itu, peran ilmuwan untuk mengungkap kesejahteraan psikologis guru juga tampak belum bergairah. Bandingkan dengan beberapa negara maju, Jepang dan Amerika misalnya. Hasil riset tentang kesejahteraan psikologis guru hampir rutin dilaporkan tiap tahun.
Tak pernah terdengar
Di Indonesia, alih-alih memetakan tingkat kesejahteraan psikologis guru, ruang untuk mengkaji hal itu masih gelap. Demikian halnya, organisasi guru di Indonesia agaknya belum mengenalinya. Buktinya, tuntutan akan perlindungan kesejahteraan psikologis guru tidak pernah terdengar. Kecuali, yang terdengar keras adalah tuntutan kesejahteraan dalam arti penghasilan yang layak.
Meskipun penghasilan yang layak itu penting, dalam makna kesejahteraan yang lebih utuh, itu tidaklah cukup. Riset telah membuktikan bahwa besarnya penghasilan berpengaruh kecil terhadap kesejahteraan seseorang (Diener, 2009). Hal itu pun dapat diberlakukan untuk guru.
Kalau masih ingat, hasil uji kompetensi guru yang dilakukan pada tahun 2012 dan 2015 terbilang memprihatinkan (kompas.com). Padahal, meskipun tidak seluruhnya, guru telah menerima penghasilan yang layak.
Tuntutan akan perlindungan kesejahteraan psikologis guru tidak pernah terdengar. Kecuali, yang terdengar keras adalah tuntutan kesejahteraan dalam arti penghasilan yang layak.
Lalu, apakah selama ini kesejahteraan psikologis guru di Indonesia sedang baik-baik saja? Sebelum membahasnya, ada baiknya memahami maknanya terlebih dahulu.
Kesejahteraan psikologis guru adalah kemampuan guru untuk mengelola kemampuan kognisi dan emosinya untuk menilai keadaan yang dihadapi sehari-hari secara positif sehingga guru dapat berkembang optimal dan bahagia. Pemicunya dapat dari faktor internal dan faktor eksternal, utamanya seperti pengalaman selama pendidikan, tuntutan mengajar secara konstruktivis, dan suasana kerja di sekolah.
Meskipun belum ada data yang gamblang, namun gambaran kesejahteraan psikologis guru di Indonesia dapat diterka dengan melihat ulang faktor pemicu internal dan eksternal di atas. Pengalaman pendidikan yang dilalui guru saat ini telah pada level sarjana atau bisa dikatakan selama empat tahun dan ditambah satu tahun untuk pendidikan profesi.
Terlebih, saat ini sebagian besar guru berasal dari kalangan milenial berusia 30-39 tahun (katadata.co.id) yang dapat diduga telah mengalami pendidikan keguruan dengan baik di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) bermutu. Namun, persoalannya terletak pada kontinuitasnya, yakni pengalaman setelah menjadi guru, apakah level pengetahuannya masih terjaga.
Kekhawatiran itu lumrah karena di tengah-tengah tuntutan mengajar secara konstruktivis, sebagian besar guru terjebak pada rutinitas kerja dan berkubang pada tugas administrasi alih-alih meningkatkan kapasitas dirinya sebagai guru, dalam makna terampil membelajarkan siswa. Dalam hal ini, penting memastikan bahwa pemerintah tidak abai untuk menjaga kontinuitas pengalaman pendidikan bagi guru.
Apakah kegiatan semacam itu selama ini tidak ada? Tentu ada, namun kata kuncinya adalah kapabilitas agar semua guru dapat mengakses pengalaman pendidikan secara mudah.
Sementara itu, suasana kerja di sekolah yang tampak sering terlihat adalah ekspresi kelelahan akibat beban kerja berlebih yang hampir menjadi langganan guru tiap hari, seakan menagih kemampuan emosional yang kuat. Padahal, kelelahan emosi segaris lurus dengan rendahnya kualitas pembelajaran (Madigan dan Kim, 2021).
Tentu, hal itu perlu diuraikan dan ditemukan pangkal dari masalahnya. Dalam hal ini, penting memastikan bahwa pemerintah peduli dengan mengatur regulasi yang mengarah kepada terwujudnya institusi sekolah yang positif.
Apabila ditelaah seksama sebagaimana di atas, dampak kesejahteraan psikologis guru bahkan mampu meletakkan kualitas pembelajaran pada satu garis kontinum, yaitu berhasil mewujudkan kualitas pembelajaran pada satu ujung dan gagal mewujudkan kualitas pembelajaran pada ujung lainnya. Namun anehnya, entah kenapa kesejahteraan psikologis guru masih sepi dalam perbincangan, bahkan di lingkungan pendidikan itu sendiri.
Kesejahteraan guru selalu saja disempitkan pada perolehan penghasilan guru. Meskipun itu juga berpengaruh, namun guru layak mendapatkan lebih dari itu. Guru yang berkembang optimal dan bahagia membelajarkan anak didiknya adalah potret yang layak terpampang di dinding-dinding kelas.
Potret itu sekarang berharap pada "aji mumpung", mumpung perhatian masyarakat sedang mengarah kepada rancangan sistem perundangan pendidikan yang baru. Hal ini menjadi kesempatan yang baik untuk mengarusutamakan kesejahteraan psikologis guru sebagai indikator utama keberhasilan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan begitu, guru tidak akan hanya berdaya secara penghasilan, namun sejahtera dalam makna seutuhnya.
Wahyu Widodo, Dosen Ilmu Pendidikan di Universitas Tribhuwana Tunggadewi