Teknologi boleh berkembang, media boleh bertambah, tetapi prinsip-prinsip dasar RRI akan tetap kami pegang teguh. Jika korps TNI memiliki Sapta Marga, Polri punya Tri Batra, RRI memiliki Tri Prasetya.
Oleh
I HENDRASMO
·5 menit baca
Setiap tanggal 11 September, Radio Republik Indonesia (RRI) memperingati ulang tahunnya. RRI lahir beberapa minggu setelah Bung Karno membaca teks Proklamasi Kemerdekaan RI. Ulang tahun ke-77 RRI ini memiliki arti penting karena kita sebagai bangsa tengah dihadapkan pada persoalan disrupsi yang menggerus nilai-nilai kebangsaan kita.
Disrupsi bukan sekadar perkembangan teknologi komunikasi yang berdampak pada munculnya platform-platform digital baru yang menggaet audiens, berpaling dari media konvensional seperti RRI. Disrupsi juga menyangkut perubahan radikal yang berdampak pada perubahan tata nilai, sebagaimana diucapkan Fukuyama dalam The Great Disruptions.
Tatanan nilai yang telah lama dianggap ideal terkoyak-koyak oleh adanya perubahan nilai akibat budaya instan nan pragmatis yang kian menguat.
Sistem demokrasi yang telah kuat tak menjamin sistem itu tak mengalami kerusakan diterpa disrupsi. Demokrasi di Amerika Serikat terguncang di era Trump yang hadir dengan frekuensi demokrasi berbeda dari para pendahulunya. Fake news makin banyak, politik identitas kian menguat, yang selanjutnya membelah masyarakat negara itu.
Sistem demokrasi yang telah kuat tak menjamin sistem itu tak mengalami kerusakan diterpa disrupsi.
Di Indonesia, terpaan hoaks dan post truth juga tak kalah dengan negeri yang disebut sebagai soko guru demokrasi itu. Selama Pilpres 2014, 2019, juga Pilkada 2016, politik identitas justru menyeruak dalam peristiwa pesta demokrasi.
Bagaimana RRI menyikapi
Apa yang terjadi saat ini sebenarnya pernah terjadi pada awal dasawarsa 1950. Salah satu bapak pendiri RRI, Maladi, mencatat, sesudah Revolusi Fisik, RRI memasuki era baru dalam kelanjutan perjuangan, yaitu mengisi kemerdekaan.
Segera tampak bahwa terdapat kekaburan pandangan karena dasar dan landasan perjuangan tak jelas. Keluarga RRI bertambah besar dengan pendatang-pendatang baru, yang tidak atau kurang mengetahui tentang dasar dan tujuan, serta pedoman perjuangan RRI.
Menurut Maladi, dasar dan pandangan yang tak jelas ini karena RI masih menganut UUD Sementara 1950 yang lebih banyak berorientasi ke liberalisme, bukan gotong royong.
”Jika RRI berasas liberalisme dalam siarannya, RRI akan berkembang menjadi alat pemecah persatuan dan kesatuan bangsa, membangkitkan daerahisme, sukuisme, fanatisme keagamaan dan persaingan yang tak sehat dalam perekonomian, yang semuanya itu akan dapat membahayakan kehidupan Republik Indonesia,” kata Maladi (1985).
Kami generasi penerus RRI merasa beruntung mewarisi nilai-nilai kejuangan dari para pendiri RRI. Teknologi boleh berkembang, media boleh bertambah, tetapi prinsip-prinsip dasar RRI akan tetap kami pegang teguh. Jika korps TNI memiliki Sapta Marga, Polri punya Tri Batra, RRI memiliki Tri Prasetya. Prinsip itu tak pernah lekang meski zaman berganti.
Tri Prasetya berbunyi: (1) Kita harus menyelamatkan segala alat siaran radio dari siapa pun yang hendak menggunakan alat tersebut untuk menghancurkan negara kita, dan membela alat itu dengan segala jiwa raga, dalam keadaan bagaimanapun dan dengan akibat apa pun.
(2) Kita harus mengemudikan siaran RRI sebagai alat perjuangan dan alat revolusi seluruh bangsa Indonesia dengan jiwa kebangsaan yang murni, hati yang bersih dan jujur, serta budi yang penuh kecintaan dan kesetiaan kepada Tanah Air dan bangsa. (3) Kita harus berdiri di atas segala aliran dan keyakinan partai atau golongan dengan mengutamakan persatuan bangsa dan keselamatan negara, serta berpegang pada jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kami generasi penerus RRI merasa beruntung mewarisi nilai-nilai kejuangan dari para pendiri RRI.
Yang harus dipahami, butir-butir Tri Prasetya itu disusun pada zaman yang berbeda meski substansi permasalahan banyak yang serupa. Tri Prasetya disusun ketika perkembangan teknologi penyiaran masih pada fase awal. Situasi politik yang genting dan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda.
Oleh karena itu, memahami Tri Prasetya tak bisa secara harfiah belaka. Butir pertama harus kita pahami bahwa perkembangan teknologi sedemikian rupa membuat siaran radio harus dengan pemancar yang berukuran raksasa. Namun, inti dari butir pertama adalah bahwa bangsa Indonesia harus menguasai teknologi dengan sungguh-sungguh. Disrupsi sebagaimana yang terjadi sekarang harus dihadapi, bukan dihindari.
Dewasa ini RRI tetap akan mengembangkan siaran dengan terus mengikuti perkembangan teknologi guna mendekatkan khalayak dengan RRI. Saat ini banyak berkembang usaha mikro, kecil, dan menengah dikelola anak-anak muda. RRI menciptakan acara baru, platform baru guna menyerap aspirasi dan ikut serta memberi sumbangan pengembangan ekonomi rakyat/ekonomi kreatif.
Puluhan tahun RRI mengembangkan berbagai sektor kehidupan melalui berbagai saluran terestrial ataupun streaming. RRI Programa (Pro)-1 untuk pemberdayaan rakyat di tingkat lokal, RRI Pro-2 untuk pemberdayaan anak muda. Pro-4 untuk pengembangan budaya. Pro-3 dan portal rri.co.id untuk siaran berita. RRI Pro-5 untuk siaran musik.
Kini juga tengah memasuki dunia audio visual dengan meluncurkan RRI.NET. Sejak awal berdiri, RRI juga telah memiliki siaran luar negeri yang kini disebut VOI (Voice of Indonesia) dengan sembilan bahasa asing.
Poin kedua harus kita maknai bahwa mengelola atau ”mengemudikan” RRI harus dilandasi semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, dengan hati bersih dan jujur. Jiwa kebangsaan adalah inti butir kedua. RRI harus bersama negara memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Segala bentuk upaya meninggalkan Pancasila harus ditentang. Politik identitas, intoleransi, radikalisme harus dilawan.
Dewasa ini RRI harus terus membawa marwahnya, menyelenggarakan siaran untuk membangun kecintaan terhadap negara. Pukul 10 pagi radio itu mulai memutarkan lagu ”Indonesia Raya”, juga ”Dirgahayu Indonesia”. Sebagian mungkin mengatakan itu siaran jadul, yang lain mengatakan itulah yang harus dilakukan RRI untuk terus memupuk rasa nasionalisme, merajut nilai-nilai identitas nasional ketika bangsa ini dihadapkan pada disrupsi tak kenal ampun, dan memberikan dampak bagi seluruh kehidupan.
Poin ketiga sangat erat kaitannya dengan tugas bidang pemberitaan dan penyiaran secara luas. Para pendiri RRI telah bertekad untuk: berdiri di atas segala aliran, berdiri di atas segala keyakinan partai, berdiri di atas segala golongan.
Dalam dunia jurnalistik, kita mengenal istilah cover both sides (meliput kedua belah pihak), imparsial (tak berpihak). Di sini menandakan RRI sejak awal telah memahami prinsip-prinsip jurnalistik modern itu.
Para pendiri RRI telah memiliki sikap yang jauh ke depan untuk berada di tengah-tengah berbagai aliran, keyakinan, dan golongan politik. Diperlukan integritas dan komitmen yang kuat agar tetap lurus menegakkan negara yang diproklamasikan Bung Karno, 17 Agustus 1945.
Tri Prasetya adalah jiwa dan semangat RRI. Marwah ini harus tetap dijaga agar RRI bisa konsisten dalam perjuangannya bersama negara dan bangsa.
RRI telah menjangkau hampir seluruh wilayah dan penduduk Indonesia. Ada 67 stasiun cabang RRI di seluruh pelosok negeri. Kami masih aktif melayani pendengar di ujung dan tempat terpencil, seperti Sabang, Merauke, Rote, Tahuna, Ranai (Natuna), Entikong, Nunukan, dan Saumlaki.
Semoga RRI bisa tetap bersama rakyat, bangsa, dan negara membangun cita-cita masa depan yang lebih cerah. Sekali di udara tetap di udara, sekali merdeka tetap merdeka!