Normal
Setiap masyarakat dibentuk serangkaian norma yang menguntungkan elitenya. Norma itu membatasi kesadaran khalayak umum tentang realitas dan apa yang ”normal”. Semua yang lain dianggap tidak normal....

Ariel Heryanto
Indonesia masa kini sering dibandingkan secara populer dengan masa Orde Baru. Bedanya sering dibesar-besarkan. Untuk mempertajam kontras dengan masa kini, masa Orde Baru digambarkan serba menyeramkan.
Sering disebut risiko mengerikan bagi yang mengkritik pemerintah di masa Orde Baru. Mereka diculik, disiksa, atau dibunuh. Media massa kritis dibredel. Semua itu memang terjadi. Namun, yang begitu tidak hanya terjadi di masa Orde Baru.
Di masa Orde Baru sendiri beredar perbandingan dengan masa sebelumnya. Rezim Orde Baru menjuluki pendahulunya ”Orde Lama”. Masa itu dikatakan serba kacau. Rakyat kelaparan, sementara pejabat negara sibuk menebar slogan politik. Bangsa terpecah belah karena politik. Mirip pasca-Orde Baru.
Yang mencolok membedakan Orde Baru dari masa sebelum atau sesudahnya adalah frekuensi, skala, atau tingkat kekejaman negara terhadap rakyat. Jika begitu, ini perbedaan dalam kadar atau tingkat kejahatan negara. Bukan perbedaan mutlak antara yang dulu dan sekarang.
Baca juga: Budaya Pop
Wajah setiap zaman mempunyai banyak sisi. Dahsyatnya kejahatan negara hanya satu dari beberapa sisi wajah Orde Baru. Penculikan, pembunuhan, dan beredel oleh aparat negara Orde Baru tidak terjadi setiap hari. Tidak setiap bulan. Tidak setiap tahun selama 32 tahun. Sisi lain dari masa Orde Baru adalah pembangkangan berulang kali oleh rakyat terhadap penguasa, betapa pun serius risikonya.
Di sela-sela penindasan negara juga ada sosok lain Orde Baru, yakni pembangunan infrastruktur besar-besaran. Masuknya modal asing memacu industri, pembangunan kota, sekolah, mal, selain kerusakan alam. Ekonomi tumbuh berkelanjutan. Juga kelas menengah dan selera gaya hidup kosmopolitan. Kehidupan sehari-hari Orde Baru kompleks dan penuh kontradiksi. Tidak monokrom.
Begitu juga masa kolonial. Berwarna-warni dan jauh berbeda dari gambaran populer di poster, pidato atau film nasionalis. Masa kolonial itu sarat kekerasan, tetapi tidak hanya berisi derita rakyat ditindas penguasa berkulit putih. Jatuhnya Hindia Belanda ke Jepang (1942) dikenang sebagai akhir zaman normal.
Kolonialisme Hindia Belanda tampak absurd bagi kebanyakan dari kita masa kini. Kok bisa segelintir orang berkulit putih bisa menguasai masyarakat lokal di wilayah yang mahaluas? Mengapa kaum terjajah yang jumlahnya jauh lebih besar tidak setiap hari dan di setiap jengkal tanah jajahan melawan?
Baca juga: Demam 2024
Malah sebaliknya. Lazim bagi warga terjajah bercita-cita bekerja untuk pemerintah kolonial. Bahkan sebagian bangga menjadi intel, tentara, jaksa, atau polisi kolonial. Kerja mereka menindak sesama warga yang ingin berontak! Mirip di banyak tanah jajahan lain, termasuk Timor Timur.
Apakah mereka itu pro penjajah Belanda? Pengkhianat? Itu pertanyaan khas generasi mutakhir yang sejak lahir dibesarkan dengan slogan nasionalis berdosis tinggi. Pertanyaan semacam itu tak terpikir di masanya. Ide nasionalisme masih asing bagi khayalak umum.
Penduduk kolonial hanya berusaha hidup sebaik mungkin. Mereka membina karier yang sah pada zamannya. Tidak berbeda dari kaum muda masa kini, mereka memanfaatkan peluang kerja yang tersedia dan jabatan terpandang di zamannya.
Peralatan dapur, perabot rumah, obat, dan busana dari Eropa memikat warga terjajah. Ujaran mereka ditaburi istilah Belanda. Bukan mereka ingin jadi Belanda. Itu tren gaya hidup zamannya yang berlanjut hingga kini yang diperluas oleh gaya hidup bersumber dari Asia Timur, Amerika Utara, dan Timur Tengah. Kini, istilah Inggris dan Arab bertaburan dalam bahasa Indonesia.
Masyarakat kolonial tidak kurang atau lebih abnormal daripada kehidupan sehari-hari kita masa kini dalam masyarakat kapitalis. Kolonialisme dan kapitalisme sama-sama merupakan sistem pengisapan struktural kaum lemah oleh yang kuat. Namun, ketika berjaya, kedua sistem itu diterima khalayak umum sebagai hal yang normal.
Penduduk kolonial terpilah dalam kelas-kelas sosial. Walau wujudnya rasis, kebijakan kolonial tidak semata-mata didasarkan perbedaan keturunan, tetapi tingkat modernitas. Ada ras yang dianggap lebih beradab daripada ras lain berkat pendidikan modern. Selain Eropa, yang dianggap modern adalah Jepang, Turki, dan Siam. Keturunan Tionghoa dan Arab disamakan dengan warga pribumi.
Sesudah RI merdeka, tingkat pendidikan modern tidak menjadi dasar diskriminasi sosial. Yang lebih menentukan adalah sebuah fiksi warisan kolonial, yakni ke-pribumi-an. Di masa Orde Baru yang dianggap lebih Pancasilais diberi hak-hak istimewa. Kini yang dianggap paling taat beragama. Atau orientasi seksualnya normal.
Baca juga: Bukannya Lupa
Di awal abad ke-20 tidak terbayangkan warga pribumi kelak bisa menjadi kepala negara di wilayah ini. Yakni wilayah yang dipersatukan dengan harga mati oleh operasi militer kolonial. Di awal abad ke-21 dianggap normal jika pemilu RI selalu menghasilkan presiden pria. Agamanya selalu sama. Juga etnisitasnya. Semua ini mungkin tampak absurd di awal abad ke-22.
Kolonialisme bertentangan dengan nalar modern. Kaum terpelajar di Hindia Belanda sadar. Namun, tak banyak yang siap atau berminat menggugat kolonialisme dengan risiko apa pun. Cendekiawan masa kini tentu sadar jahatnya kapitalisme. Namun, di kalangan mereka tak tampak semangat revolusioner anti-kapitalisme.
Setiap masyarakat dibentuk serangkaian norma yang menguntungkan elitenya. Norma itu membatasi kesadaran khalayak umum tentang realitas dan apa yang ”normal”. Semua yang lain dianggap tidak normal, tidak realistis atau tidak masuk akal. Nasib sebuah rezim bergantung pada daya sihir norma baku itu.
Norma-norma itu terbentuk lewat pembinaan. Masyarakat dididik menyangkal, mengabaikan atau melupakan berbagai kontradiksi, termasuk kontradiksi antara pelajaran sekolah, berita di media, khotbah di tempat ibadah, atau pidato pejabat dengan kenyataan hidup sehari-hari.
Kontradiksi sosial itu bisa disangkal, tetapi tidak bisa dilenyapkan. Dari saat ke saat, ia tampil ke permukaan dan mengganggu stabilitas sosial. Ketika ia meledak dan mengubah masyarakat, warganya dilatih belajar hidup baru dengan normalitas baru. Yang dulu dianggap normal akan tampak abnormal.
Ariel Heryanto
Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia.