Pernyataan WHO yang menetapkan cacar monyet sebagai ”public health emergency of international concern” ketujuh di dunia memberi sinyal kita perlu waspada dan mengambil langkah tepat, termasuk vaksinasi. Jangan terlambat.
Oleh
TJANDRA YOGA ADITAMA
·5 menit baca
Pengadaan vaksin untuk pencegahan cacar monyet di Indonesia sudah dimulai, menyusul terkonfirmasinya satu kasus positif belum lama ini.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan, pengadaan vaksin cacar monyet sudah dimulai setelah adanya perintah khusus dari Presiden Joko Widodo. Pada tahap awal, pemerintah akan menyediakan 10.000 dosis vaksin untuk mencegah penyebaran virus ini. Sambil menunggu kedatangan vaksin, akan baik kalau sejak sekarang dibuat pedoman bagaimana dan siapa target pemberian vaksin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 24 Agustus 2022, sudah mengeluarkan pedoman yang dituangkan dalam ”Vaccines and Immunization for Monkeypox: Interim Guidance”. Pedoman ini disusun oleh Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) Working Group on Smallpox and Monkeypox Vaccines dan ini rekomendasi pertama WHO untuk penjabaran kriteria vaksinasi cacar monyet.
Ada lima hal penting dalam rekomendasi WHO ini, yang dapat juga dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pencegahan cacar monyet di Indonesia.
Pertama, saat ini belum diperlukan dan juga belum direkomendasikan pemberian vaksin untuk masyarakat umum.
Kedua, pada mereka yang ternyata kontak dengan pasien, direkomendasikan diberikan vaksinasi pasca-paparan (post-exposure preventive vaccination/PEPV). Vaksin yang dipilih generasi kedua atau ketiga. PEPV idealnya diberikan dalam waktu empat hari pertama, atau setidaknya 14 hari pertama jika tak ada gejala, sesudah kontak dengan pasien atau paparan dari bahan infeksius.
Sejauh ini sudah ada penelitian yang dipublikasi di jurnal ilmiah Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR, 19/8/2022) yang menunjukkan ditemukannya materi genetik cacar monyet pada berbagai permukaan alat/benda di rumah pasien di Utah, Amerika Serikat. Mereka meneliti sampel dari 30 obyek di sembilan area rumah itu, termasuk pakaian, tempat duduk, selimut, pegangan pintu.
Dari 30 spesimen, 21 spesimen (70 persen) memberi hasil polymerase chain reaction (PCR) positif. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan mencoba menumbuhkan virus dari PCR positif itu, tetapi ternyata tidak ada yang tumbuh di kultur di laboratorium.
Karena kasus pertama kita juga diisolasi mandiri di rumah, sebaiknya pada kasus ini juga dilakukan penelitian di rumahnya sesudah masa isolasi selesai.
Bentuk penelitian seperti ini laik laksana di Jakarta, dan ini bukan hanya agar kita memiliki data kasus di Indonesia, tetapi hasil penelitian ini juga bisa dipublikasi di jurnal internasional. Tujuannya, untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan global agar dunia dan kita semua bisa mengendalikan cacar monyet dengan lebih baik.
Ketiga, pada kelompok risiko tinggi direkomendasikan pemberian vaksinasi primer (primary preventive vaccination/PPV). Penentuan risiko tinggi ditetapkan oleh setiap negara, bisa saja meliputi perilaku seksual tertentu, petugas kesehatan yang menangani cacar monyet, petugas laboratorium yang berhubungan dengan pemeriksaan virus jenis orthopoxviruses, petugas laboratorium klinik yang memproses tes diagnostik cacar monyet, dan lain-lain, sesuai situasi dan kondisi setempat.
Akan baik kalau dari sekarang Indonesia sudah menetapkan siapa saja kelompok risiko tinggi ini agar ketika vaksin tersedia, mereka dapat langsung mendapatkannya.
Keempat, pelaksanaan vaksinasi harus berjalan bersama dengan pelaksanaan surveilans yang ketat, penelusuran kasus yang baik, peningkatan kampanye dan komunikasi risiko dan upaya farmakovigilans yang tepat.
Kelima, pemilihan jenis vaksin yang akan digunakan di suatu negara perlu didasari analisis mendalam tentang pertimbangan risiko dan manfaat. Juga baik kalau dilakukan pengumpulan data untuk penelitian efektivitas vaksin cacar monyet, yang memang belum sepenuhnya diketahui secara ilmiah.
Vaksin yang mana
Kita masih menunggu vaksin cacar monyet yang mana yang akan disediakan Kementerian Kesehatan yang sesuai arahan presiden. Cara pemberian dan dosisnya tentu akan bergantung dari vaksin mana yang akan kita pilih.
Pada 9 Agustus 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS mengeluarkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) vaksin JYNNEOS untuk disuntikkan di dalam kulit (intradermal) untuk kelompok risiko tinggi yang berusia 18 tahun ke atas. Untuk kelompok risiko tinggi di bawah 18 tahun, suntikan diberikan di bawah kulit, sub kutan.
Vaksin JYNNEOS diberikan dua kali, berjarak waktu empat minggu.
Negara-negara Uni Eropa menggunakan vaksin Imvanex. Penentuan jenis vaksin di Eropa sesuai dengan evaluasi Committee for Medicinal Products for Human Use (CHMP), komite khusus di European Medicine Agency (EMA), yang sudah mulai melakukan analisis ilmiah sejak akhir Juni 2022.
Akan baik kalau kita di Indonesia juga segera memulai proses analisis ilmiah mendalam untuk penentuan jenis vaksin yang akan kita gunakan.
Namun, cara pencegahan terbaik adalah menghindari kontak langsung dengan pasien.
Dua jenis vaksin lain, LC16 dan ACAM2000, yang digunakan untuk pencegahan di sejumlah negara, juga dipertimbangkan. Secara umum, masih perlu penelitian lebih lanjut untuk tahu efikasi dan berapa kali harus diberikan. Namun, cara pencegahan terbaik adalah menghindari kontak langsung dengan pasien.
Apakah mereka yang sebelum tahun 1980 sudah pernah dapat vaksin cacar, berarti sudah ada kekebalan terhadap cacar monyet? Ada beberapa pendapat mengenai ini. Virus penyebab cacar monyet memang satu genus dengan penyebab cacar. Ini dasar pendapat bahwa vaksin yang puluhan tahun lalu diberikan untuk cacar, masih mungkin berperan untuk cacar monyet sekarang ini.
Di sisi lain, Dr Anthony Fauci penasihat penyakit menular Pemerintah AS mengatakan, lamanya proteksi vaksin cacar dapat berbeda dari orang ke orang sehingga kita tak bisa menjamin sepenuhnya bahwa mereka yang dulu sudah divaksin cacar akan terlindung pula dari cacar monyet sekarang ini.
WHO menyatakan, beberapa studi observasional menunjukkan vaksin cacar memiliki efektivitas 85 persen untuk mencegah cacar monyet. Artinya, setidaknya masih ada 15 persen yang tak terlindungi. Kalau populasi besar seperti Indonesia, jumlah yang belum terproteksi akan besar juga. WHO juga menyatakan, mereka yang sudah pernah divaksin cacar dan kemudian tertular cacar monyet, gejalanya akan lebih ringan.
Pernyataan WHO yang sudah menetapkan cacar monyet sebagai public health emergency of international concern (PHEIC) ketujuh di dunia jelas menunjukkan bahwa kita perlu waspada dan mengambil langkah tepat, termasuk vaksinasi yang proses persiapannya perlu dimulai sejak sekarang. Jangan sampai terlambat.
Tjandra Yoga Aditama,Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P dan Ka Balitbangkes