Pembuatan buku teks ajar Kurikulum Merdeka hendaknya disiapkan dengan saksama dan melibatkan para guru agar lebih kontekstual sesuai kebutuhan siswa.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·5 menit baca
Pada 14 Agustus 2022 saya turut sebagai narasumber dadakan pada webinar bertajuk ”Penerbitan Buku Cetak Kurikulum Merdeka Menjadi Kegaduhan Baru Kemendikbudristek”. Dalam webinaritu kemudian terungkap bahwa banyak buku Kurikulum Merdeka yang sifatnya terjemahan langsung, seperti buku Fisika, Biologi, dan Kimia untuk kelas X. Begitu juga dengan buku Bahasa Inggris kelas VII, VIII, X, dan XI.
Secara regulasi, penerjemahan buku ajar ada benarnya. Namun, bagaimana jika buku terjemahan itu fungsinya sebagai buku teks ajar utama? Apakah itu tidak mencederai keaslian dari pendidikan kita?
Mungkin, banyak dari kita menganggap bahwa kehadiran buku ajar tidak terlalu penting. Namun jangan salah, di daerah pelosok, sering kali proses belajar-mengajar disederhanakan dengan mencatat ulang isi buku teks ajar.
Jadi, jikalau isi buku teks ajar itu tidak kontekstual lantaran mengangkat budaya asing, pembelajaran pasti akan kering. Apalagi jika isi muatan buku itu keliru, maka akan kelirulah banyak generasi. Karena itulah, buku teks ajar mestinya menghindari terjemahan langsung tanpa penyesuaian serta menghindari kesalahan-kesalahan yang sifatnya konyol. Kita maklum, tak ada produk yang sempurna.
Benar-benar keliru
Namun, jangan atas dasar delik bahwa tak ada yang sempurna, kita lantas menoleransi kesalahan yang sifatnya elementer dan konyol. Selain itu, buku ajar juga harus sederhana dan jangan terlalu teoretis. Belum saatnya anak didik bergelut dengan teori demi teori. Anak didik masih butuh materi sederhana untuk memantik nalar dan kemauan belajar.
Ambil, misalnya, buku teks ajar Bahasa Indonesia. Sejauh pengamatan saya, buku teks ajar terbitan pemerintah banyak yang sifatnya teoretis. Malah, ada beberapa kesalahan mendasar. Buku teks ajar kelas X tulisan Seherli dkk, misalnya, keliru dalam menempatkan frasa (hlm 33).
Buku ajar juga harus sederhana dan jangan terlalu teoretis. Belum saatnya anak didik bergelut dengan teori demi teori.
Masih ada beberapa kesalahan lain. Buku pegangan siswa kelas XI karangan tim yang sama juga keliru dalam membuat contoh kalimat kompleks pada halaman 9 di poin 4. Andaikan gurunya menjelaskan dan mengatakan bahwa contoh dalam buku itu keliru, siswa akan sulit untuk percaya. Sebaliknya, andaikan guru sama sekali juga tak tahu, ia akan mengajarkan hal yang salah.
Artinya, dampak dari buku yang keliru ini akan sangat merusak. Belum lagi adanya perbedaan teori pada kasus yang mirip. Hal itu setidaknya ditemukan dalam buku Bahasa Indonesia untuk kelas XII, masih oleh penulis yang sama.
Selain itu, pemberian contoh pun cenderung kompleks. Setiap contoh tidak selalu diawali dengan ilustrasi yang mudah. Padahal, sebaik-baiknya buku mesti dimulai dengan contoh yang mudah. Kekurangan lain yang juga perlu diperbaiki adalah kesinambungan antara materi yang satu dan materi yang lain, termasuk pada topik yang identik.
Katakan, misalnya, pada buku Bahasa Indonesia terbitan pemerintah kelas XII, ada topik identik, seperti tajuk rencana, artikel opini, dan esai. Secara struktur, ketiganya sama saja. Namun, dalam buku itu, penulis buku seperti tidak tahu bahwa ketiga topik itu identik.
Akibatnya, tak ada pengantar yang menyebutkan bahwa ketiganya secara struktur sama saja. Malah yang lebih parah, struktur teks novel sejarah dibuat berbeda dengan struktur novel biasa. Padahal, sebagai novel, keduanya sama saja.
Siswa saya lantas bertanya: apakah struktur novel bertema keluarga akan berbeda dengan novel bertema pendidikan? Pertanyaan itu masuk akal lantaran dibuat perbedaan struktur novel sejarah dan novel biasa. Siswa lain juga bertanya: berarti tidak ada struktur umum semua novel karena temanya berbeda-beda? Pertanyaan yang mengejutkan karena benar-benar keliru.
Maksud saya mengutarakan hal ini adalah agar buku teks ajar untuk siswa dibuat berkesinambungan, relevan, dan dimulai dari contoh sederhana. Terus terang, membaca sekilas buku Kurikulum Merdeka, saya khawatir buku teks ini tidak disiapkan secara saksama. Sebab, peluncuran Kurikulum Merdeka memang terkesan terburu-buru.
Bahwa memang ada program Guru Penggerak dan program Sekolah Penggerak, belum tentu guru dan sekolah mengikutinya. Malahan, program Guru Penggerak mulai sepi peminat lantaran tidak secara langsung menyentuh kebutuhan dasar seorang guru: jenjang karier, kesejahteraan, dan profesionalisme.
Sumber kebenaran
Senada dengan itu, program Sekolah Penggerak pun tidak terlalu menarik minat. Di tempat kami, sekolah-sekolah besar justru tak mengikuti program tersebut. Jika ada yang berminat, sekolah negeri yang kepala sekolahnya masih berstatus pelaksana tugas tak diperbolehkan ikut serta.
Terus terang, membaca sekilas buku Kurikulum Merdeka, saya khawatir buku teks ini tidak disiapkan secara saksama.
Artinya, meski terlihat bahwa persiapan Kurikulum Merdeka ini matang, itu hanya berlaku bagi guru dan sekolah penggerak. Dalam hal ini, jikalau buku teks ajar Kurikulum Merdeka dibuat terlalu kompleks dan tak beraturan seperti buku K-13 (Kurikulum 2013), saya sangat percaya bahwa Kurikulum Merdeka ini akan termasuk sebagai kurikulum yang gagal dan susah diaplikasikan.
Pasalnya, kini, dalam Kurikulum Merdeka, pola pengajaran sudah mengedepankan proyek bersama siswa dan proyek sesama guru dan siswa. Artinya, akan ada kesulitan baru. Kesulitan ini benar-benar akan jadi momok andai buku teks ajar tak memadai, teoretis, tidak kontekstual, bahkan kompleks.
Banyaknya buku teks ajar sebagai terjemahan langsung niscaya juga akan menjadi kesulitan baru lantaran sudah pasti tidak kontekstual, kecuali perihal teknis dalam buku itu masih disesuaikan para penerjemah dengan adab Nusantara. Karena itulah, saya menyarankan, pembuatan buku Kurikulum Merdeka hendaknya melibatkan para guru.
Saya percaya, jika selalu penulis buku terlalu melibatkan peran para guru besar, buku ajar mereka tidak akan kontekstual lantaran jatuh-jatuhnya teoretis dan bahasanya susah dimengerti. Namun, jika melibatkan guru, buku teks ajar akan kontekstual dan relevan. Buku teks ajar itu pun bisa menjadi pegangan bagi guru dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Barangkali sejauh ini pemerintah mengatakan bahwa buku hanya penunjang. Faktanya, terutama di daerah pinggiran, buku teks ajar cenderung menjadi sumber kebenaran, bahkan satu-satunya sumber pelajaran. Dalam pada itu, perlu keseriusan kita kembali dalam membuat buku teks ajar, terutama dalam pelibatan para guru. Semoga!
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan; Ketua P2G Humbang Hasundutan