Kegiatan pemberdayaan masyarakat desa sejatinya tak hanya tentang peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan, tetapi juga pemberdayaan bagi pihak yang menjadi mitra pendamping.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Sejak lama desa-desa di Indonesia menjadi wilayah penerima berbagai bantuan dan program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Mulai dari pengadaan infrastruktur, macam listrik masuk desa, sampai program-program pemberdayaan masyarakat, seperti program ABRI masuk desa (kini TNI Manunggal Masuk Desa, TMMD), kegiatan pengabdian kepada masyarakat dari warga kampus melalui kuliah kerja nyata (KKN) atau kegiatan pengabdian lainnya. Tak ketinggalan juga, berbagai program oleh perusahaan-perusahaan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial (corporate social responsibility /CSR) mereka.
Hubungan kemitraan antara penduduk desa dan pihak luar juga ditemukan dalam pengelolaan dana desa yang melibatkan pendamping desa. Keberadaan pendamping desa diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penggunaan modal finansial tersebut dalam mewujudkan ”penduduk desa yang berdaya, yang lebih sejahtera”.
Ada beberapa catatan saya setelah mengamati program pemberdayaan masyarakat desa yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak.
Mitra desa adalah fasilitator
Dulu program-program pemberdayaan ini sering mendudukkan masyarakat desa sebagai obyek. Semakin ke sini semakin disadari bahwa menjadikan masyarakat desa sebagai subyek akan membuat program pemberdayaan tersebut berjalan lebih efektif.
Program yang dulu sering menggunakan metode top-down kini semakin bernuansa partisipatif, menempatkan penduduk desa dan mitranya, yaitu pihak luar yang berkegiatan di desa (mahasiswa yang sedang KKN, wakil-wakil perusahaan pendamping program CSR, atau para pendamping desa), pada tingkat yang sama.
Ketika penduduk desa dan pihak pendamping adalah mitra yang sejajar, para pendamping desa tidak lagi dominan; bukan lagi sebagai pengajar atau penentu kegiatan, tetapi lebih sebagai fasilitator. Tugas utama fasilitator ialah mendorong penduduk desa menggali dan mampu menemukenali tujuan serta kebutuhan mereka sendiri di tahap perencanaan, dan menjadi mitra seperjalanan di tahap pelaksanaan.
Penentuan tujuan beserta kegiatan-kegiatan untuk mencapainya perlu dilakukan secara mandiri dan bersama-sama agar masyarakat bersedia berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya. Kebersamaan dan kesepakatan pada tahap perencanaan juga merupakan salah satu upaya untuk mengurangi potensi konflik di tahap selanjutnya.
Kebersamaan dan kesepakatan pada tahap perencanaan juga merupakan salah satu upaya untuk mengurangi potensi konflik di tahap selanjutnya.
Diperlukan keterampilan dan kepiawaian para mitra pendamping dalam mendorong masyarakat desa untuk berani bermimpi, kemudian mengenali kelebihan dan kekurangan mereka. Berdasarkan hal-hal tersebut, masyarakat desa akan mampu menyusun kegiatan secara mandiri untuk mencapai tujuan mereka.
Selain itu, proses identifikasi tujuan dan penyusunan kegiatan ini biasanya memerlukan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan metode top-down. Pertemuan sekali-dua kali sangat mungkin tidak cukup. Selain itu, harus tetap diingat bahwa tugas utama pendamping sebagai fasilitator, bukan penentu. Hal ini sungguh memerlukan kesabaran.
Salah satu tantangan program pemberdayaan masyarakat desa ialah menjalankan semboyan ”berikan kail, bukan ikan”. Semua mengerti artinya, tetapi menjalankan secara konsekuen bukan perkara mudah.
Bukan sekadar secara harfiah tidak memberikan uang, melainkan bahkan ketika pihak mitra desa memberikan modal fisik (peralatan pertanian atau industri rumahan), juga harus dilihat kesesuaian dan keberlanjutan penggunaannya dalam menunjang kegiatan penerimanya.
Perkenalan masyarakat desa terhadap kegiatan-kegiatan pendampingan di masa lalu yang cenderung menggunakan pendekatan ”proyek” juga menjadi tantangan lain. Pendekatan ”proyek” yang dimaksud, dalam ungkapan almarhum Prof Mubyarto ialah ”Iki Duwit enTekno” (plesetan Inpres Desa Tertinggal, IDT), yang merujuk pada pemberian bantuan modal finansial dengan pertanggungjawaban tidak jelas.
Sinyal bahwa ”kami adalah mitra yang akan bekerja bersama-sama penduduk ” perlu ditegaskan sejak awal perjumpaan.
Tak jarang penduduk desa, yang di masa lalu terbiasa dengan ”proyek”, berharap mendapat hal serupa ketika berkenalan dengan mitra yang baru, terutama jika mitra itu berasal dari perusahaan atau institusi yang dianggap mempunyai nama mentereng. Sinyal bahwa ”kami adalah mitra yang akan bekerja bersama-sama penduduk” perlu ditegaskan sejak awal perjumpaan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat desa sejatinya tak hanya tentang peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan, tetapi juga pemberdayaan bagi pihak yang menjadi mitra pendamping. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat akan menumbuhkan semangat peduli dan berbagi pada para pengabdinya. Hal ini merupakan modal sosial yang penting untuk menjalani hidup bermasyarakat.
Selain sikap peduli dan semangat berbagi, banyak kearifan lokal yang dapat dipetik dari kehidupan di desa. Saya ingat, 35 tahun yang lalu, sebagai mahasiswa yang akan menjalani program KKN, salah satu pesan Pak Rektor (saat itu Prof Koesnadi Hardjasoemantri) ketika melepas kami adalah carilah ilmu dari orang-orang desa karena mereka memiliki kearifan-kearifan lokal yang tidak ditemukan di bangku kuliah, yang kelak sangat berguna untuk menjalani hidup.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat desa sejatinya tak hanya tentang peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan, tetapi juga pemberdayaan bagi pihak yang menjadi mitra pendamping.
Pak Rektor bahkan lebih menekankan pada ”mencari ilmu dari orang-orang desa”, bukan sebaliknya. Pesan itu tak hanya menegaskan ”kalian, para mahasiswa tidak lebih pintar dari orang desa, maka jangan pongah”, tetapi juga menekankan bahwa di desa ada pengetahuan-pengetahuan berharga untuk digali.
Pesan itu tetap relevan sampai sekarang. Pemberdayaan masyarakat desa tidak hanya tentang penduduk desa yang makin berdaya, tetapi juga mitranya yang mendapat banyak ilmu tentang kehidupan.