Menaikkan harga BBM sekaligus memberikan bantalan sosial sesungguhnya hanya kebijakan teoritikal. Tidak ada jaminan apakah hasilnya akan baik. Ini seperti dalam teori ”kucing Schrodinger”.
Oleh
SONNY ELI ZALUCHU
·5 menit baca
Sadar bahwa kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak berisiko, pemerintah menyiapkan dana sokongan Rp 24,17 triliun untuk mewujudkan tiga bantalan sosial demi menjaga daya beli masyarakat (Kompas, 30/8/2022). Skenario bantalan berupa bantuan tunai tersebut sesungguhnya teori ”kucing Schrodinger” oleh Erwin Schrodinger, seorang fisikawan kuantum.
Menurut eksperimen Schrodinger, seekor kucing yang ditempatkan di dalam kotak bersama racun dan radio aktif memiliki kemungkinan hidup dan mati. Namun, untuk memastikannya adalah sebuah perbuatan yang mustahil karena jika kotak itu dibuka, kalau bukan kucing itu berada dalam keadaan hidup, ya pasti mati. Sepanjang kotak tidak dibuka, maka kucing tetap memiliki kemungkinan hidup dan mati. Hidup dan mati jauh lebih baik daripada hidup atau mati, bukan?
Dengan logika demikian, maka kita mencoba menganalisis kebijakan pemerintah tersebut. Di atas kertas, pemerintah tidak membuka keran harga BBM mentok pada harga pasar karena itu berarti membuka kotak berisi kucing Schrodinger, juga tidak memberikan subsidi sebesar-besarnya karena hanya akan menyebabkan kolapsnya kantong pemerintah. Kedua hal itu jika dilakukan hanya akan memastikan salah satu pihak hidup atau mati.
Pemerintah justru mencoba mempertahankan kotak itu tetap tertutup meski pemerintah juga tahu bahwa situasi tersebut tetap menyebabkan risiko terpukulnya kehidupan masyarakat. Bantalan sosial disediakan untuk memastikan bahwa meski harga BBM naik, akan masih ada masyarakat yang bisa bertahan walaupun yang berada dalam keadaan kehilangan harapan hidup juga akan ada. Sebagaimana eksperimen kucing Schrodinger, pemerintah menjaga peluang agar hidup dan mati tetap ada.
Pemerintah telah membuktikannya dalam menangani pandemi Covid-19. Dalam kasus sirkulasi Covid-19, pemerintah menjaga ”kotak” berisi kucing Schrodinger dengan cara tidak memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada masyarakat karena masih ada kebijakan menggunakan masker. Namun, pemerintah juga tidak melakukan identifikasi menyeluruh kepada imunitas masyarakat untuk mengetahui kondisi terkini penyakit tersebut.
Kedua hal itu sia-sia karena dinamika virus yang masih tinggi dan biaya yang akan sangat besar. Yang muncul justru peringatan demi peringatan tentang virus kepada publik yang dimotori oleh pejabat pemerintah.
Menaikkan harga BBM memperlihatkan sebuah kerumitan. Kondisi mempertahankan kotak memang menyisakan harapan adanya masyarakat ’mampu’ yang dianggap bisa bertahan.
Maka, pemerintah pun memutuskan meneruskan status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), terus-menerus, sebagai upaya menjaga ”kotak” agar meski ada masyarakat yang mengalami risiko kematian, tetapi masyarakat yang masih bertahan hidup juga tetap ada. Kematian tetap terjadi, tetapi yang tetap sehat juga ada dalam proporsi peluang yang sama besar.
Itulah kondisi yang terjadi saat ini. Meski menaikkan harga BBM merupakan keputusan yang seolah tepat, masyarakat berada dalam paradoks hidup dan mati di saat bersamaan. Dalam pandangan pemerintah, itu jauh lebih menguntungkan. Probabilitasnya masih bisa dijamin di angka 50:50.
Tetapi menaikkan harga BBM memperlihatkan sebuah kerumitan. Kondisi mempertahankan kotak memang menyisakan harapan adanya masyarakat ”mampu” yang dianggap bisa bertahan. Tetapi bagi masyarakat ”tidak mampu”, dampak kenaikan BBM bak ”tali jemuran” (istilah ini muncul di kelas Kompas Institut yang saya ikuti). Apa saja dapat naik ke jemuran dan tergantung di sana sebagai dampak yang berderet-deret dan dengan sabar antre melanda masyarakat.
Secara umum, kenaikan BBM akan menyebabkan menyebabkan inflasi. Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat turun. Pendapatan tergerus, kehidupan melemah. Konsumsi makanan memburuk. Nah, di sinilah terjadi perbedaan probabilitasnya. Masyarakat yang mampu akan menggunakan tabungannya, menggunakan asetnya, dan segala harta yang dimilikinya untuk bertahan hidup.
Berbeda dengan masyarakat yang tidak mampu, sudah bisa ditebak akan mengalami pukulan. Mereka akan terjerembap dan mati pelan-pelan. Sebelum kenaikan harga BBM saja kepenuhan kebutuhan makan mereka sudah Senin-Kemis, apalagi sejak pandemi dan kini diperberat dengan kenaikan harga BBM. ”Tali jemuran” berisi penderitaan masyarakat tidak mampu sudah penuh dan melengkung ke bawah karena sarat dengan gantungan dampak mengerikan dalam kehidupan mereka.
Bantalan sosial Rp 24,17 triliun itu sama sekali tidak memiliki efek jangka panjang, bahkan menengah pun tidak. Sudah banyak riset menunjukkan jika uang yang diberikan secara cepat dan mudah akan cepat menguap di tangan orang miskin yang jauh lebih membutuhkan makanan sehari-hari. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan uang tersebut untuk kepentingan nonproduktif, seperti rokok atau barang-barang mewah.
Alih-alih menolong masyarakat yang 50 persen berada dalam kemungkinan akan menderita. Dari sisi pemangku kepentingan, model pemberian bantalan seperti ini adalah yang paling enak dilakukan. Ini merupakan ”komoditas” menggiurkan untuk diciptakan.
Dari sisi pemangku kepentingan, model pemberian bantalan seperti ini adalah yang paling enak dilakukan.
Jika subsidi dicabut, harga BBM naik, harga-harga akan meroket, maka akan bermunculanlah kaum ”Robin Hood”. Pahlawan yang muncul saat masa resesi itu akan datang membagi-bagikan bantuan-bantuan bantalan sosial melalui berbagai seremoni.
Apalagi, ke depan ini, kompetisi politik semakin mengeras, model-model bantuan sosial menjadi tren di dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Walhasil, hidup masyarakat seperti menjadi korban. Sudah menderita terkena dampak BBM, mereka terjatuh ke dalam kamuflase persaingan politik.
Menaikkan harga BBM sekaligus memberikan bantalan sosial sesungguhnya hanya kebijakan teoritikal. Tidak ada jaminan apakah hasilnya akan baik. Justru kemungkinan masyarakat akan menderita jauh lebih besar daripada bertahan. Tentu kita tidak perlu membuktikan hal itu bukan?
Pemerintah sebaiknya menegakkan aturan pembelian BBM. Jika konsumsi BBM selama ini hanya digunakan oleh orang mampu, kenapa itu tidak dikendalikan oleh pemerintah? Mudah melakukannya bukan? Seluruh rantai pasokan BBM bukankah dikuasai oleh pemerintah. Pemerintah hanya tinggal mendaftarkan setiap kendaraan dengan cc di atas ukuran tertentu, lalu memberikan kuota. Selesai.
Lalu, pemerintah tegas dan keras memberantas penjualan BBM secara ilegal. Kalau gang judi saja bisa diberantas belakangan ini, masak para pemain bisnis BBM ini tidak bisa dipukul habis oleh Kapolri?
Di sinilah kita meminta pemerintah berani tegas. Bantalan subsidi hanyalah upaya terakhir sesungguhnya karena itu cenderung karitatif. Ada hal yang lebih esensial untuk dibenahi di dalam regulasi. Jangan sampai pemerintah dianggap tega membiarkan masyarakat sebagai kucing Schrodinger, berada dalam kemungkinan hidup dan mati.
Sonny Eli Zaluchu, Mahasiswa Doktor Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga