Sumbangan penggunaan produk lokal terhadap pertumbuhan ekonomi sangat nyata. Pembelanjaan Rp 400 triliun barang dan jasa dalam negeri meningkatkan pertumbuhan 1,7 persen.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Peningkatan penggunaan produk dalam negeri dapat menjadi tumpuan meningkatkan pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja berkualitas.
Presiden Joko Widodo menetapkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri, terutama produk pengusaha menengah dan kecil, harus menjadi prioritas belanja pemerintah pusat hingga daerah. Besarannya tidak tanggung-tanggung. Lebih dari Rp 1.200 triliun belanja pemerintah, 40 persennya harus dipakai membeli produk usaha kecil dan menengah (UKM) sesuai Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. Presiden lalu membentuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memastikan tujuan itu tercapai.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah tingkat provinsi hingga kabupaten/kota menjadi ujung tombak untuk menentukan jenis barang dan jasa yang akan dibeli. Menjadi menarik saat hampir semua wali kota anggota Kompas Collaboration Forum dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), berjumlah 14 orang, yang hadir dalam pertemuan di Kebun Raya Bogor, Sabtu (3/9/2022), mengaku tak terlalu paham mengenai mekanisme percepatan penggunaan anggaran belanja untuk produk UKM dalam negeri.
Ketua LKPP Abdullah Azwar Anas menyebutkan, telah menyederhanakan prosedur pelaporan penggunaan belanja pemerintah dari sembilan tahap menjadi hanya dua tahap, yaitu pendaftaran dan penayangan produk e-katalog. Tak ada negosiasi, harga yang digunakan harus wajar rata-rata.
Penggunaan anggaran pemerintah untuk menopang pertumbuhan bukan hal baru. China dan Amerika Serikat melakukannya. Presiden Soeharto pernah mengadakan lembaga khusus untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Sayangnya, saat itu upaya tersebut tidak berlanjut.
Sumbangan penggunaan produk lokal terhadap pertumbuhan ekonomi sangat nyata. Azwar Anas menyebut, pembelanjaan Rp 400 triliun barang dan jasa dalam negeri meningkatkan pertumbuhan 1,7 persen. Cita-cita Indonesia menjadi negara kaya pada tahun 2045 seakan bukan utopia.
Kita berharap pertumbuhan yang tercapai akan berkualitas. Pada beberapa waktu sebelumnya, pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah harus melalui tawar-menawar. Keadaan ini membuka peluang terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menguntungkan pengusaha dari pusat yang bermodal kuat.
Di tengah optimisme itu, beberapa dukungan harus diberikan. Kelembagaan harus dikuatkan. Kelembagaan ini harus menjamin keberlanjutan dan pengembangan ke depan, ada pengawasan kualitas barang dan jasa yang digunakan, menguatkan UKM supaya masuk ke ekonomi digital, meningkatkan kapasitas manajemen UKM, terutama dalam pengelolaan keuangan dan pemasaran, dan memperbanyak perempuan pelaku UKM.
Terutama cita-cita program ini adalah menyejahterakan masyarakat di tingkat keluarga, menghapus kemiskinan dan tengkes (stunting), menciptakan lapangan kerja, serta seharusnya juga melahirkan para pelaku kewirausahaan.