Budaya membaca yang digantikan budaya mengakses informasi seketika di internet telah memengaruhi daya kritis dalam memilah dan menentukan rujukan tepercaya. Maka, fakta palsu sering lebih menggoda.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·4 menit baca
Iklim pascapandemi Covid-19 menyembulkan kembali matahari harapan yang sempat redup meski gairah itu tak selalu memperoleh sinar cerah di setiap bidang. Seperti dunia pendidikan yang tak henti memancing polemik.
Pelajaran berharga menunjukkan pendidikan manusia ternyata sangat kompleks dan berdimensi banyak. Mungkin itulah sebabnya generasi lebih awal, seperti Soedjatmoko, Sartono Kartodirdjo, Mochtar Buchori, Y.B. Mangunwijaya, Andi Hakim Nasution, J. Drost, Ahmad Syafii Maarif, dan Azyumardi Azra—untuk menyebut beberapa—selalu mengingatkan jangan mempermainkan pendidikan!
Sebagai bidang amat vital bagi pencerdasan bangsa, persoalan pendidikan senantiasa menarik perhatian. Bukan karena sok tahu, melainkan bisa karena kepedulian sebagai wujud dari rasa memiliki. Rasa peduli tampak seperti suara kritis dan penolakan beberapa tokoh dan pegiat pendidikan atas draf terbaru RUU Sistem Pendidikan Nasional 2022 yang dinilai tidak partisipatif, tidak visioner, dan tidak menjawab masalah mendasar, termasuk kurikulum yang kaku dan komersialisasi pendidikan.
Polemik RUU Sisdiknas mengingatkan sisi lain perubahan sosial budaya dan ekonomi yang telah berimbas mendalam bagi dunia pendidikan di negeri ini. Perubahan itu selain mengubah arah politik pendidikan, juga orientasi dunia akademik dan budaya ilmiah. Sebutlah, misalnya, gejala peningkatan kuantitas anak muda di beberapa perguruan tinggi disertai persoalan tata kelola potensi SDM yang demikian besar.
Hal tersebut mengingatkan pada pandangan Edward Shils beberapa dekade lalu mengenai ”universitas massa” di negara industri yang mesti melayani puluhan ribu mahasiswa. Dalam bukunya yang terkenal, The Academic Ethics, Shils menyebut semakin banyak jumlah universitas, semakin meningkat intensitas permainan rebutan kursi. ”Di mana jumlah mahasiswanya besar, di situ lulusannya tidak bermutu,” ujar Shils. Dia merisaukan turunnya mutu lulusan, etika akademik, dan semangat ilmiah.
Gejala ke arah ”universitas massa” berlangsung di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Hal ini, di satu sisi, ditandai kemajuan fisik dengan semakin megahnya gedung-gedung kampus meski tidak selalu berarti peningkatan kualitas kehidupan akademis dan kesejahteraan pengajarnya. Bahkan kalau melihat lebih dekat untuk menjamin kepuasan mahasiswa dan calon mahasiswa yang berselera kelas menengah, beberapa universitas lebih memperluas ”lahan parkir” (kendaraan) ketimbang ”lahan pikir” (perpustakaan, laboratorium). Ini juga sisi kemajuan universitas massa: memuaskan selera pasar!
Di sisi lain, ditandai peningkatan kuantitas dengan keniscayaan menampung sebanyak mungkin mahasiswa dari beberapa jalur. Selain untuk menyalurkan semangat generasi baru untuk berkuliah, juga dalam rangka mengumpulkan dana. Korupsi dari jalur penerimaan mahasiswa oleh seorang rektor baru-baru ini hanyalah salah satu bentuk ekses pergeseran tata kelola universitas massa.
Universitas massa diisi oleh generasi baru yang dibesarkan dalam kemilau industri budaya digital yang akrab dengan Tiktok. Kita sebut saja ”generasi Tiktok” dengan selera budaya berbeda dari ”generasi mesin tik”. Kehidupan akademis mereka bertumpu pada gawai. Kebiasaan membaca berubah dan budaya perpustakaan, warisan ”generasi mesin tik”, dianggap hanya membuang waktu. Dengan berselancar di tengah tsunami informasi di genggaman, mereka dengan mudah mengakses rujukan. Kemudahan reproduksi digital, disertai kemalasan, cukup jadi dasar bagi sebagian mahasiswa membudayakan jiplak-menjiplak tugas. Pandangan dunia pragmatisme mengalahkan integritas dan kerja keras sebagai nilai yang dianggap ideal bagi semangat ilmiah.
Budaya membaca yang digantikan budaya mengakses informasi seketika di internet telah memengaruhi daya kritis dalam memilah dan menentukan rujukan tepercaya. Tak heran kalau fakta palsu dan informasi alternatif yang belum tentu kebenarannya sering lebih menggoda bagi ”generasi Tiktok”. Tak jarang, fakta-fakta palsu justru dijadikan rujukan perlawanan terhadap sains dan sikap ilmiah dalam rangka mengomodifikasikan viral. Terbayang kalau kemudian sebagian dari mereka menjadi inti pendukung generasi pasca-kebenaran. Gejala yang dikritik Carlos Elías dalam buku kontroversialnya, Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the Era of Fake News. Dia membahas maraknya gejala irasionalitas dan sihir di media dan jaringan sosial yang mengancam tumbuhnya semangat dan budaya ilmiah.
Akibat lainnya, universitas massa era disrupsi memunculkan birokrasi pendidikan dengan berbagai prosedur dan pintu. Seperti memperbanyak jumlah staf administrasi untuk membuat budaya akademik menjadi kegiatan mengumpulkan dan mengunggah formulir, berkas, sertifikat, dan dokumen kegiatan yang pada praktiknya lebih jadi belenggu birokrasi alih-alih mendorong kebebasan dan semangat ilmiah.
Gejala perebutan jabatan kursi birokrasi kampus lengkap dengan tim sukses hanyalah bagian dari perkembangan universitas massa di Indonesia. Birokrasi hanya cocok dalam masyarakat yang belum bisa mengatur diri dan tidak menghargai orang lain. Budaya birokrasi kampus harus dieliminasi. Karena di tangan yang salah, birokrasi menularkan tradisi menghambat inisiatif dan kebiasaan mempersulit hal yang mudah.
Kesenjangan komunikasi akademik sebagian berhasil diatasi lewat digitalisasi, tetapi birokratisasi pendidikan semakin kompleks dan impersonal. Kondisi tersebut sedikit-banyak bisa memengaruhi komunikasi ilmiah dan hubungan profesi yang sebenarnya diperlukan oleh universitas guna tetap menghidupkan semangat ilmiah memajukan pengetahuan.
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi.