Pemimpin daerah punya beragam gaya. Di sela rutinitasnya, ada yang mengarang dan menyanyikan lagu. Ada pula yang suka marah-marah. Yang santun, cantik juga gagah, tenar di media sosial pun ada. Mana yang paling ideal?
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Neli Triana, wartawan Kompas
Awal bulan ini, beredar rekaman video Wali Kota Surakarta melepas paksa masker seorang anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Anggota Paspampres itu kedapatan memukul seorang warga Surakarta yang dianggap menghalanginya menjalankan tugas. Kala minta maaf kepada warga, wali kota geram karena si pelaku tidak terlihat wajahnya yang tertutup masker dan dinilai kurang merasa bahwa tindakannya salah.
Pendapat masyarakat, tak hanya warga Surakarta, terbelah antara mendukung penuh tindakan wali kota dan ada yang menghujatnya karena dinilai terlalu arogan. Beberapa komentar menyebut tak sekali ini saja wali kota muda tersebut bertindak emosional. Tak lama kemudian, isu tersebut surut dengan sendirinya.
Seiring puncak peringatan Hari Kemerdekaan RI, medio Agustus, giliran Wali Kota Depok menggelitik publik dengan merilis lagu baru ciptaannya. Lagu bertema bangkit dari pandemi Covid-19 tersebut menuai banyak tanggapan. Kreatif dan menyemangati disematkan kepada si wali kota oleh pendukungnya. Kurang kerjaan dan justru melenceng dari penanganan isu-isu penting di Kota Depok diteriakkan warga yang tak puas.
Tak hanya dua wali kota itu yang membuat publik ”terhibur” mendapat bahan obrolan seru, membuat meme, ajang mencela nyinyir ataupun mendukung, sampai adu debat antarpara pengusung pendapat yang berbeda.
Kalau saja kita memiliki kepemimpinan yang nyata (baik), maka segalanya akan membaik. (Robin Hambleton)
Ada juga kepala daerah yang kedapatan nyawer seorang biduan di sebuah acara. Kemudian, ada pemimpin yang menyarankan poligami untuk menyudahi penyakit tertentu yang tidak ada bukti ilmiah sebagai dasar pendapat itu. Sebelumnya, masyarakat berkali-kali disuguhi ulah kepala daerah tertangkap tangan korupsi sampai terungkapnya sisi-sisi kehidupan pribadi yang tak seharusnya menjadi pembicaraan umum.
Di luar yang terkait skandal, sudah biasa bagi para pemimpin mengklaim keberhasilan program pembangunannya di dunia maya. Para pemuja mereka, masyarakat biasa dan pendengung yang bahkan dari luar wilayah wewenangnya, begitu militan menerima mentah-mentah klaim si pemimpin dan membelanya habis-habisan. Di sisi lain, ada kubu berbeda, menuding semua hanya sukses semu di dunia maya. Terkadang kritik disertai hujatan yang masuk akal ataupun tidak.
Perkara dukung-mendukung tokoh publik pujaan memang tak lagi dibatasi wilayah administrasi. Tak heran para pemimpin, pejabat, dan siapa pun yang mendamba menduduki kursi nomor satu di suatu daerah atau jabatan penting lain, kini kian akrab dengan kehebohan di dunia maya. Ibaratnya, mereka dan kubunya selalu dapat belanja kursi dan posisi meningkatkan karier dari kebisingan isu seputar dirinya, baik yang positif maupun negatif.
Bagaimana dengan publik? Silih berganti warga diombang-ambingkan dengan isu yang datang dan pergi. Terkadang, muncul sikap apatis, tidak tahu lagi siapa yang dipercaya dapat menjadi pemimpin amanah. Sebab, di daerah tempat tinggal warga masih berkutat dengan isu kemacetan, transportasi publik tidak berkembang, kekurangan air bersih, sampah tidak terkelola, banjir, kemiskinan bertambah, hingga kualitas fasilitas pendidikan dan kesehatan tak jua beranjak lebih baik.
”Kalau saja kita memiliki kepemimpinan yang nyata (baik), maka segalanya akan membaik,” tulis Robin Hambleton, Guru Besar Urban Planning and Public Affairs, University of Illinois, Chicago, Amerika Serikat.
Pernyataan Hambleton itu bagai menyuarakan kegelisahan publik. Masyarakat pun diajak untuk mengetahui segala sesuatu tentang pemimpin atau calon pemimpin mereka demi mengikis frustrasi.
Merujuk Keith Grint yang mendalami isu kepemimpinan, menjadi pemimpin akan selalu dikaitkan dengan strategi, bekerja jangka panjang, dan mengatasi isu tertentu. Ia bekerja dalam multitingkat pemerintahan yang memungkinkannya bernegosiasi dengan banyak aktor pemimpin dari level berbeda setiap saat.
Bagaimana kepemimpinan dibentuk dan dikoordinasikan, menurut Grint, dapat dirunut dengan pertanyaan siapa (terkait identitas), apa (visi strategis yang hendak dicapai), bagaimana (taktik untuk mencapai tujuan), dan mengapa (komunikasi persuasif agar pengikut juga warga di wilayahnya dapat mengikuti pemimpinnya).
Kepala daerah se-Jawa Barat berkumpul di depan Balai Kota Bogor seusai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Kamis (27/5/2021).
Di abad ke-21 kala dunia disatukan oleh kemajuan teknologi digital sekaligus membuka berbagai peluang baru, beranjak dari Grint dan Hambleton, ada tren kebutuhan pemimpin kota atau daerah yang berbeda dari masa sebelumnya. Dalam paparan Leslie Budd dan Alessandro Sancino, hal itu bisa dikelompokkan dalam lima hal.
Pertama, butuh pemimpin yang tanggap terhadap kebangkitan masyarakat berjaringan secara lokal dan global yang turut menambah tanggung jawab dan tuntutan akuntabilitas lebih besar. Selanjutnya, butuh upaya untuk menghidupkan kembali politik demokrasi dan keterlibatan sipil dalam menghadapi sikap apatis politik yang meluas. Mampu merespons reaksi lokal dan desentralisasi terhadap bangkitnya lagi sentralisasi kekuasaan negara.
Selain itu, perlu kesadaran politisi-politisi di daerah bahwa mereka dapat membuat dampak paling besar melalui pemimpin lokal terpilih yang tak lagi lahir dari politik partai tradisional. Terakhir, ada tren kembalinya kekuatan personal atau individu menggantikan sistem kepartaian yang sebelumnya terdepersonalisasi.
Budd dan Sancino merujuk Stone menegaskan, pemerintah daerah juga tidak berdiri sendiri dalam mengelola kawasannya, tetapi dipengaruhi pihak swasta dan jaringan organisasi sipil berpengaruh yang dapat memunculkan debat publik tentang isu-isu kebijakan tertentu.
Karena pemimpin itu tidak begitu saja muncul dan terpilih, Hambleton menyatakan ada tiga tipe kepala daerah. Ada kepemimpinan manajerial yang berangkat dari manajer publik yang bekerja di organisasi pemerintah daerah. Wali kota hingga gubernur yang merintis karier dari pegawai pemerintah rendahan bisa masuk dalam kelompok ini.
Selanjutnya, ada kepemimpinan politik yang muncul dari para politisi lokal. Ada pula pemimpin sipil yang berakar perwakilan individu dan dari organisasi nirlaba atau bisnis murni.
Setiap tipe tersebut memiliki gaya berbeda. Namun, pada akhirnya harus dapat berkompromi dengan pihak lain di luar pendukungnya agar bisa melaksanakan pemerintahan dengan baik.
Namun, kepemimpinan kota yang sukses, menurut Hambleton, tetap perlu mempromosikan inovasi dalam politic of place serta dalam manajemen pelayanan publik. Politik tempat mengacu pada tiap lokasi atau daerah dengan isu tersendiri yang membutuhkan pemimpin yang sensitif terhadap apa dan bagaimana wilayah yang dipimpinnya.
Inovasi membantu pemimpin—yang tak seorang pun memiliki legitimasi 100 persen dari warga—untuk menjalankan kepemimpinan kuat di suatu wilayah.
Hari ini dan hari-hari ke depan, berbagai polah pemimpin dan siapa pun yang hendak mencalonkan diri menjadi pemimpin akan selalu menyedot perhatian. Ada baiknya menggunakan sedikit ilmu dari Hambleton, Grint, dan lainnya untuk menilai mereka. Setidaknya agar kita tidak berulang terpukau, kecewa, salah pilih, lalu apatis dan abai pada nasib kota sendiri. Semoga.