Kendati banyak memberikan manfaat, pinjaman online” memiliki sisi negatif yang perlu diwaspadai, yaitu dapat menyebabkan sektor rumah tangga terjerat utang. Literasi keuangan digital pada masyarakat perlu diperkuat.
Oleh
ARDHIENUS
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Transformasi digital di sektor keuangan sudah menjadi tren global. Indonesia juga tak luput dari tren itu. Indikasinya terlihat dari kehadiran beberapa bank digital dan gencarnya layanan keuangan berbasis digital yang ditawarkan bank konvensional. Alhasil, transaksi keuangan digital di perbankan pun melonjak tinggi.
Menurut catatan Bank Indonesia, transaksi layanan perbankan digital mencatatkan pertumbuhan 24,60 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 4.295,32 triliun pada semester I-2022. Sementara itu, nilai transaksi uang elektronik tumbuh 34,57 persen (yoy) mencapai Rp 32,51 triliun pada Juni 2022.
Inovasi untuk menopang keuangan digital melalui digitalisasi sistem pembayaran juga terus gencar dilakukan BI. Beberapa inisiatif telah diluncurkan dan berkembang dengan baik, seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan BI-FAST yang memudahkan penyelesaian transaksi antarbank dengan mudah, cepat, dan berbiaya murah.
Tidak hanya itu, BI memperluas jangkauan sistem pembayaran dengan menggandeng beberapa bank sentral di negara ASEAN, yaitu Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina, untuk mengembangkan penyelesaian transaksi lintas negara (cross broder payment). Selain memudahkan dan mempercepat penyelesaian transaksi apabila bertransaksi di luar negeri, cross broder payment sudah pasti akan memangkas biaya karena menggunakan mata uang lokal (local currency settlement).
Sejauh ini, pemain keuangan digital tidak hanya dimonopoli kalangan perbankan, tetapi juga diramaikan oleh perusahaan financial technology (fintech). Fintech yang merupakan gabungan teknologi dengan keuangan sangat memudahkan masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas keuangan, seperti mendapatkan pinjaman, berinvestasi, dan belanja daring (online).
Saat ini lebih dari 70 persen populasi penduduk Indonesia merupakan usia produktif yang menjadi target pasar sangat besar industri fintech. Ditambah pengguna telepon pintar (smartphone) di Indonesia mencapai 167 juta jiwa dan pengguna internet mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Dengan kemudahan akses dan ditopang kondisi-kondisi tersebut, membuat industri fintech di Indonesia berkembang pesat.
Bahkan, fintech berlari lebih kencang dan agresif ketimbang perbankan dalam memberikan layanan keuangan digital. Tak heran, saat ini banyak bank menjalin kerja sama dengan fintech, terutama dalam hal penyaluran pinjaman.
Pinjaman "online"
Keberadaan fintech yang paling menyedot perhatian adalah fintech peer-to-peer (P2P) lending atau populer dengan sebutan pinjaman online (pinjol). Pinjol yang menawarkan kemudahan meminjam ini telah memicu masyarakat mengambil utang.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, kucuran pinjaman dari 102 fintech lending yang berizin mencapai Rp 110,62 triliun pada semester I-2002. Nilai tersebut tumbuh 56,05 persen (yoy) dibandingkan semester I-2021 yang mencapai Rp 70,88 triliun.
Berdasarkan outstanding, pinjol melesat 89,67 persen (yoy) menjadi Rp 44,34 triliun dengan pinjaman aktif mencapai 15,23 juta rekening. Pinjaman tersebut didominasi perorangan yang mencapai 82,84 persen atau Rp 36,73 triliun dan 57,07 persen digunakan untuk konsumsi.
Kendati banyak memberikan manfaat, bagaikan sebuah koin mata uang, pinjol juga memiliki sisi negatif yang perlu diwaspadai, yaitu dapat menyebabkan sektor rumah tangga terjerat utang. Mungkin kita ingat beberapa waktu lalu, media diramaikan cerita beberapa orang yang terjerat utang dari pinjol. Jumlahnya tak tanggung-tanggung hingga berkali-kali lipat dari utang awalnya.
Persoalan ini juga dikuatkan hasil survei Indikator Politik Indonesia April 2022 yang menunjukkan 74,4 persen responden menilai pinjol menimbulkan masalah baru ketimbang memberikan solusi (11,9 persen), sementara yang menjawab tidak tahu mencapai 13,7 persen.
Ini menyinyalir bahwa sisi buruk pinjol memang nyata. Studi empiris Yue et al (2022) yang meneliti perkembangan pinjol di China menyajikan bukti bahwa kemudahan mengakses kredit telah menyebabkan peningkatan risiko sektor rumah tangga terjebak utang (debt trap). Mereka mengambil utang lewat pinjol untuk menopang tingkat konsumsinya. Maka, tak heran apabila utang sektor rumah tangga di China membumbung tinggi.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Polda Metro Jaya mengungkap 11 tersangka karyawan perusahan peminjaman daring ilegal di Jakarta, Jumat (27/5/2022).
Setidaknya ada dua penyebab pinjol dapat menimbulkan jebakan utang. Pertama, literasi keuangan dan digital yang rendah. Banyak masyarakat umum tidak terinfo dengan baik dan tak paham tentang produk keuangan yang ditawarkan, terutama dari sisi risiko. Mereka terbuai dengan kemudahan uang yang didapat dan terkaget tatkala saldo utang yang tiba-tiba melonjak tinggi.
Kedua, banyaknya masyarakat terjebak pinjol tidak lepas dari perilaku masyarakat itu sendiri yang terkadang cenderung tidak terkendali dalam mengambil utang. Karena kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan pinjol serta gencarnya iklan, banyak masyarakat tanpa pikir panjang mengonsumsi barang/jasa meski tidak ditopang dengan penghasilan yang cukup. Perilaku gali lubang tutup lubang membuat utang mereka kian melejit.
Banyaknya masyarakat terjebak pinjol tidak lepas dari perilaku masyarakat itu sendiri yang terkadang cenderung tidak terkendali dalam mengambil utang.
Kondisi seperti itu harus dihindari mumpung penyaluran pinjaman melalui pinjol belum eksesif. Untuk itu, diperlukan peran dan sinergi antara otoritas, pelaku industri, dan masyarakat itu sendiri.
Peningkatan literasi keuangan digital menjadi aspek yang penting agar masyarakat tidak terjebak pada produk ilegal dan produk berisiko tinggi. Upaya yang dapat dilakukan, misalnya, dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum dan UMKM yang aktif menggunakan teknologi digital, termasuk ke ibu rumah tangga, pelajar, dan mahasiswa. Informasi wajib disebarluaskan agar pemahaman terhadap suatu produk menjadi lebih baik.
Aspek yang perlu ditekankan sebelum meminjam melalui pinjol seperti pinjam pada pinjol yang terdaftar di OJK, sesuai kemampuan dan kebutuhan, untuk kebutuhan yang produktif, serta pahami biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya, Selain itu, perlu diperkuat regulasi dari otoritas terkait untuk mengatur dan mengawasi pinjol. Terlebih terhadap pinjol ilegal yang terus mengancam masyarakat. Bagaimanapun masyarakat harus dilindungi dari jeratan utang.
Karena itu, sudah sangat tepat langkah OJK baru-baru ini mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 menggantikan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Ini agar praktik pemberian pinjaman oleh pinjol tetap memenuhi prinsip kehati-hatian sembari menguatkan pinjol baik dari sisi kelembagaan, penyelenggaraan, maupun tata kelola.
Peraturan OJK itu juga mengatur mengenai perlindungan konsumen. Ini penting agar sisi negatif dari pinjol dapat dikendalikan dengan baik sehingga keberadaan dan manfaat pinjol benar-benar dapat dirasakan masyarakat.
Ardhienus, Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia