Kebanggaan Nasional
HUT Ke-77 RI kiranya mematangkan mentalitas dan praksis kebanggaan nasional kita. Tak hanya bangga keelokan negeri, keramahan penduduk, dan mengidolakan kesuksesan, tapi juga berani jujur mengakui fakta kebobrokan kita.
Ditanya apakah ia mencintai Tanah Airnya, Gustav Heinemann dalam kapasitas sebagai Presiden Jerman periode 1969-1974 itu menjawab, ”Saya tidak mencintai negara, tetapi istri saya.”
Jawaban Heinemann merangsang iritasi dan respons kritis publik. Bukankah seorang kepala negara harus mencintai negerinya?
Statement provokatif Heinemann didongkrak kebenaran esensial dan historis. Pertama, hakikat cinta adalah perasaan humanis. Cinta secara hakiki tak pernah dialamatkan ke obyek infrahuman, termasuk Tanah Air, tetapi human (kekasih, keluarga, sahabat).
Kedua, semangat cinta Tanah Air bertajuk nasionalisme di Jerman telah dimanipulasi rezim Nazi-Hitler yang membidani malapetaka kemanusiaan tak terbandingkan. Warga Jerman post-totalitarisme agak risi meluapkan gejolak nasionalisme-patriotisme. Rasa kebanggaan nasional diekspresikan secara transparan sebatas acara spesial, seperti kompetisi sepak bola Piala Eropa dan Dunia.
Nasionalisme dan patriotisme mendeskripsikan format ikatan emosional berbangsa dan bernegara. Siapa yang mendefinisikan diri nasionalis atau patriotis, ia memaklumkan keanggotaannya pada komunitas tertentu dan menegasi kelompok lain. Afirmasi ini secara internal melahirkan identifikasi, integrasi, unifikasi, dan solidaritas; secara eksternal berkonsekuensi pembatasan.
Nasionalisme dan patriotisme mendeskripsikan format ikatan emosional berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme (natio: bangsa) lebih menandakan paguyuban manusia dengan homogenitas ataupun heterogenitas etnis yang berkohesi jadi kolektif dalam alur waktu. Kolektivitas ini lazimnya dipertegas kesamaan bahasa, budaya, kebiasaan, tradisi, dan konsensus sejarah.
Pelbagai faktor tersebut berperan penting dalam konstruksi dan konsolidasi karakter dan identitas bersama.
Gagasan nasionalisme menjalar sejak abad ke-18 akibat gaung Perang Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Geliat sejarah tersebut memperkuat perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme dan membidani lahirnya negara-negara nasional yang baru.
Patriotisme (patria: tanah air) berkaitan dengan respek dan kebanggaan penduduk. Warga polis (negara kota) zaman Yunani kuno merasa bebas dan setara, menikmati hak dan perlindungan yang digaransi polis. Riak patriotisme berperan penting dalam mengembangbiakkan paham republik dan trisula semboyan Revolusi Perancis, liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Nasionalis dan patriotis
Trauma sejarah warisan nasional sosialisme di Jerman melahirkan dikotomi nuansif antara nasionalisme dan patriotisme dalam tataran lingua franca. Warga Jerman sungkan dibilang nasionalis ketimbang patriotis. Seorang patriotis membanggakan negaranya, sementara seorang nasionalis mengunggulkan negerinya dengan meremehkan dan mendiskreditkan tanah air orang lain.
Distingsi politis ini menempatkan patriotisme pada skala positif, terbuka, dan dicerahkan. Nasionalisme lantas disejajarkan dengan sovinisme inklusif, agresif, arogan, rasistis-darwinistis, intoleran, penyulut destruksi. Sovinisme berkulminasi pada deklarasi antagonistis ”musuh-teman” ala Carl Schmitt.
Musuh tidak hanya berasal dari luar, tapi juga dari dalam lantaran perbedaan ras, etnik, agama, haluan politik, topografi, status minoritas, serta orientasi seksual.
Dalam kancah empiris, diferensi ini acapkali kehilangan adekuasi. Nasionalisme dan patriotisme disinonimkan. Spirit nasionalisme-patriotisme menagih identifikasi, loyalitas, dan pengorbanan. Segmen ini acapkali dimanfaatkan sebagai tameng sekaligus aset bersama, khususnya di masa kemelut.
Saat depresi ekonomi akbar sejagat (1929), Pemerintah Inggris melancarkan kampanye ”Buy British” dan AS menggencarkan ”Buy American Act”. Imbauan dan aksi sugestif serupa untuk membeli produk dalam negeri juga tak asing lagi kita dengar di Nusantara.
Loyalitas dan identifikasi kolektif menagih simbol acuan dan perekat seperti bendera merah-putih, pakaian seragam, Garuda Pancasila, lagu ”Indonesia Raya”, tim bulu tangkis atau kesebelasan nasional.
Baca juga Memimpi dan Memimpin Kejayaan
Pada fase ini patriotisme-nasionalisme masih bercorak konvensional. Suatu bangsa yang human, demokratis, dan dewasa mesti menapaki tangga post-konvensional. Identifikasi dan ikatan nasional beranjak dari emosi (perasaan) menuju rasio (akal budi).
Nilai-nilai luhur human dan infrahuman jadi parameter kebanggaan nasional. Ikatan emosional dan infantil harus luluh di hadapan kebebasan, penghargaan harkat dan martabat manusia, akseptansi dan pelestarian kebinekaan, pengayoman terhadap minoritas, kesejahteraan sosial-ekologis, penegakan hukum dan keadilan.
Patriotisme konstitusi
Dipengaruhi oleh aroma Pencerahan, pemikiran Ernest Renan dan kelak dielaborasi lebih jauh oleh Juergen Habermas, pakar politik Dolf Sternberger menggagas apa yang disebut Verfassungspatriotismus (patriotisme konstitusi).
Gagasan patriotisme konstitusi tak bercorak darah dan minus ikatan emosional. Ia sangat menjunjung tinggi prinsip supremasi dan suverenitas negara hukum (bukan supremasi pemerintah), kesamaan dan kebebasan warga.
Identifikasi dan kebanggaan nasional diarahkan pada nilai-nilai humanis, lembaga, dan prosedur politik yang republik-demokratis berdasarkan undang-undang dan partisipasi aktif-rasional civil society.
Koridor ini tak boleh dikangkangi oleh kepentingan dan patokan lain, termasuk kaidah Allah, agama, tradisi, dan adat-istiadat. Tampaknya patriotisme konstitusi masih labil sehingga selalu digaungkan ajakan sekaligus ancaman bertajuk Pancasila dan NKRI harga mati.
HUT Ke-77 RI kiranya mematangkan mentalitas dan praksis kebanggaan nasional kita. Yang ditagih adalah kebanggaan post-konvensional dan konstitusional: kebanggaan kritis dan fair, yang tidak hanya mengapresiasi keelokan negeri, mendendangkan keramahan penduduk dan mengidolakan kesuksesan, tapi juga berani dan jujur mengakui fakta kebobrokan masa lalu dan kini.
Frasa terakhir masih sulit bagi bangsa Indonesia yang terkenal dengan rasa malu siluman dan facade-mentality. Bangsa yang dewasa hendaknya jujur, sportif, dan tak malu mengakui kesalahan masa silam dan mengelolanya. Aspek ini sayangnya dianaktirikan Presiden Jokowi dengan slogan revolusi mental.
Fidelis Regi WatonPengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman