Utak-atik Stok Dokter
Apakah Indonesia memang kekurangan dokter dan membutuhkan tambahan dua kali lipat dari stok sekarang? Jangan-jangan yang terjadi sesungguhnya adalah maladistribusi; penyebaran dokter tidak merata dan tidak proporsional.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini mengungkapkan bahwa jumlah dokter di Indonesia sangat kurang.
Alasannya, hingga kini Indonesia belum mencapai rasio dokter yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu tersedianya satu dokter untuk seribu penduduk (1 : 1.000).
Berdasarkan rasio ini, mestinya ada 270.000 dokter untuk 270 juta penduduk saat ini. Sementara jumlah dokter yang tercatat di Kementerian Kesehatan sekitar 140.000, dan Kolegium Kedokteran mencatat 186.000. Kemenkes mengklaim Indonesia butuh 130.000 dokter lagi. Jumlah ini besar, hampir dua kali lipat stok saat ini.
Untuk mengatasi kekurangan ini, pemerintah akan segera meningkatkan produksi dokter. Lewat Surat Keputusan Bersama No 02/KB/2022 yang ditandatangani Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) dan Menteri Kesehatan beberapa minggu lalu, fakultas-fakultas kedokteran diminta meningkatkan 10 persen kuota penerimaan mahasiswanya.
Selain itu, akan dilakukan perluasan program spesialisasi dan penambahan kuota dokter pendidikan spesialis. Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat memenuhi rasio rekomendasi WHO dalam sepuluh tahun mendatang.
Kemenkes mengklaim Indonesia butuh 130.000 dokter lagi.
Kurang atau lebih dokter?
Apakah Indonesia memang kekurangan dokter dan membutuhkan tambahan dua kali lipat dari stok sekarang? Pernyataan ini perlu ditinjau kembali berdasarkan sejumlah alasan.
Pertama, parameter yang digunakan kurang relevan. Kemenkes menggunakan rasio dokter 1 : 1.000 sebagai ukuran kurangnya dokter di Indonesia.
Alasannya, ini rasio rekomendasi WHO. Jika menggunakan parameter ini, Indonesia memang belum memenuhi standar. Per 2020, rasio dokter di Indonesia baru 0,6 per seribu penduduk.
Pada tingkat global, rasio dokter bervariasi luas dari 0,03 hingga delapan per seribu penduduk. Dibandingkan negara Asia Tenggara lain, rasio dokter Indonesia termasuk terendah. Di Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing 2,3, 1,3, dan 0,8 per seribu penduduk.
Meski banyak digunakan sebagai data follow up dan pelaporan, WHO tak pernah menganjurkan penggunaan parameter ini dalam analisis kebutuhan tenaga dokter. Pertimbangannya, setiap negara memiliki sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang berbeda. Selain itu, tingkat sosial ekonomi dan kapabilitas pengembangan program kesehatan juga sangat bervariasi.
Karena itu, tidak relevan menetapkan sebuah standar pada negara-negara dengan variabilitas sumber daya dan kapabilitas yang lebar. Kasarnya, prinsip one size fits all tidak berlaku. Selain itu, parameter ini juga terlalu sederhana.
Supriyanto
Ia dibangun berdasarkan asumsi bahwa semua dokter yang tercatat masih aktif bekerja di bidang klinis dan semua penduduk memiliki kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, tidak semua dokter aktif bekerja klinis.
Kebutuhan kesehatan setiap penduduk pun berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter umum, sebagian lagi membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tak bisa dipukul rata.
Penggunaan parameter ini bisa menimbulkan bias dan kesalahan estimasi. Karena itu, penggunaannya dalam penentuan status kekurangan dokter tidak relevan.
Kedua, parameter alternatif yang jamak digunakan adalah beban kerja dokter (doctor’s workload). Parameter ini mempertimbangkan beban kerja riil dokter saat menentukan kebutuhan dokter.
Beban kerja meliputi jumlah pasien yang dilayani setiap hari, rerata waktu layanan per pasien, jumlah panggilan emergency yang diterima, dan durasi tindakan medis, seperti operasi atau rehabilitasi. Berdasarkan data ini, bisa diketahui rerata beban kerja dokter di sejumlah daerah, baik dokter umum maupun spesialis. Dibandingkan rasio dokter, parameter ini lebih akurat dan spesifik.
Baca juga Mengurai Problem Kekurangan Dokter di Indonesia
Beberapa tahun lalu, Kemenkes pernah menggunakan parameter ini sebagai acuan. Saat itu Kemenkes menyebutkan, berdasarkan workload, satu dokter seharusnya dapat melayani 2.500 penduduk. Jika parameter ini digunakan, jelas tidak ada kekurangan dokter saat ini.
Berdasarkan parameter ini juga, beberapa tahun lalu Kemenkes sering menggaungkan narasi bahwa Indonesia mengalami fenomena kelebihan (oversupply) dokter. Bahkan Kemenkes, lewat Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK), pernah mempersiapkan program pembatasan produksi dokter dari 10.000 menjadi 2.000 per tahun.
Oleh karena itu, sungguh paradoks jika beberapa tahun lalu Kemenkes berupaya membatasi atau mengurangi produksi dokter dan kini justru antusias memperbanyak stok dokter.
Didie SW
Ketiga, keterbatasan penyerapan dokter. Saat ini, Indonesia memiliki 140.000 dokter yang berkiprah di lapangan. Kemenkes pada tahun 2020 melaporkan jumlah dokter yang bekerja pada puskesmas sebanyak 25.000, rumah sakit 73.000, klinik mandiri 11.000, dan praktik mandiri 5.000. Total penyerapannya berkisar 120.000-130.000.
Artinya, masih ada kelebihan 10.000 dokter yang tidak terserap pada fasilitas layanan kesehatan utama. Hal lain, penyerapan pada fasilitas layanan ini telah hampir jenuh (congested) dan tidak lagi memberikan banyak kesempatan untuk penambahan tenaga dokter.
Saat ini, misalnya, 30 persen puskesmas telah memiliki jumlah dokter yang cukup dan 60 persen puskesmas jumlah dokternya bahkan telah melebihi standar yang ditetapkan.
Pada saat bersamaan, fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia setiap tahun secara konstan memproduksi 10.000 hingga 14.000 dokter. Artinya, pada 2025 jumlah dokter akan menjadi 190.000 hingga 210.000 dokter. Jika pemerintah ingin menambah lagi 130.000 dokter, bagaimana penyerapan tenaga dokter ini?
Apakah pemerintah sudah menyiapkan sistem penyerapan yang menjamin tersalurnya stok besar ini?
Apakah pemerintah sudah menyiapkan sistem penyerapan yang menjamin tersalurnya stok besar ini? Kalau tidak, akan timbul fenomena oversupply dokter yang akan memberat dari tahun ke tahun. Ujung-ujungnya, kesejahteraan dokter akan merosot tajam dan hal ini akan menggerus kualitas layanan.
Dengan stok 140.000 dokter saja saat ini, kesejahteraan sebagian dokter belum memadai. Survei Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada ratusan dokter umum menemukan bahwa sekitar seperempat dokter masih memperoleh penghasilan di bawah Rp 3 juta per bulan. Selain itu, 90 persen dokter tidak mencapai standar layak gaji yang diusulkan IDI, yaitu Rp 12,5 juta per bulan.
Jika jumlah dokter bertambah dua kali lipat dari saat ini, bagaimana pengaturan pekerjaan, pendapatan, dan kesejahteraan dokter? Jangan-jangan yang justru terjadi adalah merebaknya pengangguran intelektual.
Maladistribusi
Jika jumlah dokter telah cukup, mengapa sejumlah pihak masih berteriak kekurangan dokter? Persoalannya adalah maladistribusi; penyebaran dokter tidak merata dan tidak proporsional. Antara daerah satu dan lainnya terdapat disparitas lebar stok dokter.
Per 2020, di DKI Jakarta tersedia satu dokter setiap 680 penduduk. Sementara di Sulawesi Barat, satu dokter tersedia setiap 10.417 penduduk. Jadi densitas dokter di Jakarta lima belas kali lipat dibandingkan di Sulawesi Barat.
Maladistribusi dokter spesialis lebih lebar lagi. Untuk setiap 100.000 penduduk, 52 dokter spesialis tersedia di Jakarta, sementara di Papua hanya tersedia tiga dokter spesialis. Maladistribusi merupakan penyebab masih adanya puskesmas tanpa dokter hingga saat ini. Bukan dokternya tidak ada, melainkan penyebarannya tidak merata.
Maladistribusi timbul akibat penumpukan dokter di kota-kota besar. Daerah pedalaman, apalagi yang terpencil, kurang diminati. Penyebabnya terkait dengan isu kesejahteraan. Setelah menjalani pendidikan lama dan sulit, dokter ingin segera memperoleh tingkat kehidupan dan kesejahteraan lebih baik.
Kota-kota besar memiliki sarana dan prasarana lukratif dan membuka peluang berpenghasilan lebih baik sehingga menjadi pilihan dan tujuan banyak dokter. Beda dengan daerah pedalaman yang minim sarana dan prasarana; selain itu, penawaran gaji dan insentifnya juga sering tidak lukratif.
Pemerintah telah mengupayakan berbagai program untuk meminimalkan maladistribusi ini. Setelah program Dokter Wajib Kerja Sarjana dan dokter pegawai tidak tetap (PTT), pemerintah saat ini menambah lagi beberapa program khusus, seperti Internship Dokter, Nusantara Sehat, dan Wajib Kerja Dokter Spesialis.
Sayangnya, hasilnya masih belum efektif; maladistribusi dokter masih tetap menganga. Penyebabnya, tidak banyak dokter yang memiliki komitmen jangka panjang terhadap program ini. Setelah ikut beberapa lama, mereka tidak melanjutkan. Mungkin reward yang diberikan tidak cukup adekuat dan lukratif.
Isu stok dokter saat ini bukan kekurangan, melainkan maladistribusi dokter.
Program ”mutual benefit”
Isu stok dokter saat ini bukan kekurangan, melainkan maladistribusi dokter. Jumlah dokter sudah cukup, tetapi penyebarannya tidak merata. Ini memicu terasa kurangnya jumlah dokter.
Upaya menambah kuota produksi dokter, apalagi mendirikan fakultas kedokteran baru, bukan kebijakan tepat. Strategi ini hanya akan memicu oversupply dokter. Jika kebijakan ini dipaksakan, akan timbul image bahwa pemerintah hanya ingin mengejar rasio dokter 1 : 1.000 tanpa mempertimbangkan keseimbangan supply-demand dan kesejahteraan dokter.
Padahal, rasio ini sendiri bukan rasio standar atau rekomendasi WHO. Sejumlah studi juga melaporkan bahwa pencapaian rasio ini tidak menjamin perbaikan signifikan outcomes utama kesehatan, seperti angka harapan hidup, angka kematian ibu dan bayi. Jadi, pemerintah tidak perlu memaksakan penggunaan metrik ini sebagai acuan.
Maladistribusi dokter adalah isu kronis yang perlu segera dituntaskan. Berbagai program yang dijalankan pemerintah belum memberi daya retensi kuat bagi dokter. Artinya, ada yang kurang pas. Salah satunya, program-program ini hanya memberi partial benefit. Pemerintah terkesan hanya ingin mengutilisasi dokter saat mereka telah selesai pendidikan.
Jika pemerintah ingin memiliki kontrol penuh penempatan dokter, mereka seharusnya melakukan kontrak mutual benefit dengan dokter sejak saat awal mereka masuk fakultas kedokteran.
Jika pemerintah ingin memiliki kontrol penuh penempatan dokter, mereka seharusnya melakukan kontrak mutual benefit dengan dokter sejak saat awal mereka masuk fakultas kedokteran. Biaya pendidikan dan kehidupan mereka ditanggung mulai dari awal hingga akhir pendidikan.
Karena telah terikat kontrak substansial, saat selesai pendidikan para dokter tentu bersedia ditempatkan di mana saja sesuai kebutuhan pemerintah. Tanpa kontrak substansial, sulit menggandeng dokter bekerja permanen di pedalaman.
Alternatif lain adalah menawarkan gaji dan insentif yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan pemasukan potensial mereka jika bekerja di kota.
Penanganan adekuat maladistribusi tidak hanya menimbulkan pemerataan, tetapi juga kecukupan jumlah dokter. Mesti ada program khusus percepatan pemerataan dokter. Program ini mesti komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan. Juga memberi win-win solution bagi dokter dan pemerintah.
Daya retensi program tidak adekuat tanpa prinsip-prinsip win-win solution. Persoalan maladistribusi ini mesti dituntaskan segera. Jangan sampai gelombang-gelombang berikut pandemi muncul dan pemerintah berteriak kekurangan dokter lagi.
Iqbal Mochtar, Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah