Pada tatanan masyarakat kita, siapa yang berani mengganggu orang dengan penampilan religius, atau menolak perintah atasan, pemuka agama, atau yang ditokohkan, sekalipun perintahnya abu-abu?
Oleh
Yes Sugimo
·5 menit baca
Identitas secara alamiah melekat pada individu. Misalnya jenis kelamin, usia, dan nama. Namun, identitas juga bisa dikonstruksikan, misalnya terkait kapabilitas individu. Identitas diperlukan sebagai pembeda, sekaligus menunjukkan indahnya keberagaman ciptaan Tuhan.
Menjadi persoalan jika identitas dipolitisasi sehingga menjadi aktivitas yang memarjinalkan pihak lain. Misalnya, pemuka agama yang memanfaatkan pengaruhnya untuk memobilisasi massa, cuci otak, demi ambisi pribadi atau kelompoknya. Mengatasnamakan identitas dengan kalkulasi kuantitas tanpa diimbangi kualitas ibarat mempersiapkan lubang kubur sendiri.
Membaca kolom budaya Ahmad Najib Burhani (ANB) ”Identitas Arab” (Kompas, 13/8/2022), kita seperti ditelanjangi. Pernyataan ANB sebenarnya membuka kotak pandora, betapa selama ini kita tidak hanya suka kearab- araban, tetapi juga keinggris-inggrisan, kekorea-koreaan, kereligius-religiusan, dan seterusnya.
Pada tatanan masyarakat kita, siapa yang berani mengganggu orang dengan penampilan religius, atau menolak perintah atasan, pemuka agama, atau yang ditokohkan, sekalipun perintahnya abu-abu?
Naifnya identitas dari negara asal bergeser nilai sampai di Indonesia. Di Inggris kebebasan merupakan kultur demokrasi, begitu masuk Indonesia kebebasan dimaknai sebagai modernitas. Di Korea musik dan drama sebagai hasil kerja keras, di sini sebagai komoditas. Di Arab penampilan fisik dan perilaku merupakan kultur, masuk Indonesia dimodifikasi jadi sakral.
Komodifikasi pemegang otoritas tiap-tiap bidang ampuh menggiring masyarakat akar rumput tanpa paham substansi. Kelompok inilah yang paling berpotensi diprovokasi, sesungguhnya mereka korban provokator.
Sungguh nista identitas yang seharusnya suci jadi ternoda akibat perilaku minor pemegang identitas. Tentara/Polri seharusnya memberikan keamanan. Faktanya justru menebar ketakutan dan sinisme masyarakat. Tokoh agama sebagai panutan spiritualitas justru menyemai gerakan radikal dan merendahkan martabat melalui pelecehan seksual dan bertindak intoleran.
Sejarah bangsa Indonesia adalah keberagaman kearifan lokal dan budaya. Elemen tersebut tidak kalah menarik dan berkualitas. Jiwa nasionalisme diwujudkan melalui apresiasi dengan mengembangkan budaya dan produk lokal, bukan bangga pamer produk impor. Kata Presiden Joko Widodo, bangsa kita berkelimpahan SDM dan SDA, tinggal niat baik dan eksekusi yang bertanggung jawab.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang Bandung 40616
Adab Baru Berkendara
Pengguna kendaraan sepeda motor menghindari kemacetan di Jalan Jenderal Basuki Rachmat dengan melewati jalan di samping proyek Banjir Kanal Timur di Cipinang, Jakarta Timur, Jumat (29/4/2011). Buruknya sistem transportasi massal di Ibukota membuat warga pinggiran menggunakan sepeda motor untuk menembus kemacetan ke pusat kota. Kompas/Agus Susanto
Saat ini, ketidaknyamanan berkendara di Tanah Air lebih disebabkan oleh penambahan kendaraan bermotor yang eksponensial, tanpa diimbangi penambahan ruas jalan dan transportasi publik. Akibatnya, kemacetan makin parah, pemborosan BBM, polusi, dan ekonomi biaya tinggi.
Perbandingan polisi lalu lintas dan jumlah kendaraan yang tidak berimbang membuat masalah di lapangan tidak semua teratasi. Pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi, seperti berkendara tanpa surat izin mengemudi (SIM), tidak memakai helm, melanggar rambu lalu lintas, berkendara melawan arus, dan melaju di atas batas kecepatan.
Perlu pengemban tugas yang memiliki kemampuan membenahi, seperti yang dilakukan Ignasius Jonan saat membenahi perkeretaapian.
Untuk mendapatkan brevet penerbang atau nakhoda kapal, seseorang harus dididik dan dilatih. Pengemudi kendaraan bermotor seharusnya juga diperlakukan sama, tentunya dengan format yang berbeda, sederhana dan singkat. Terutama untuk pengemudi kendaraan umum, ambulans, truk sampah, bahan bakar/galian, produk olahan pabrik, dan alat berat.
Wewenang pemberian SIM kendaraan bermotor harus dialihkan dari kepolisian ke Kementerian Perhubungan. Tugas polisi harus dikembalikan sepenuhnya pada penegakan hukum, dengan demikian SDM kepolisian dapat lebih banyak untuk mengurus kelancaran, keamanan, dan keselamatan pengguna jalan.
Kementerian Perhubungan dalam hal ini, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), melaksanakan alih tugas, membuat dan menyempurnakan aturan perundangan dan turunannya.
FX WibisonoJl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
NKRI Lahir Lagi
Presiden Sukarno (naik jip, kanan) didampingi KSAU Komodor (U) Suryadi Suryadarma, memeriksa pasukan dan pesawat-pesawat terbang AURI di salah satu pangkalan udara yang tidak disebutkan dalam foto bertanggal 1 Januari 1951 ini..
Melengkapi Bedah Buku di Kompas (24/8/22) berjudul ”Tanamkan Nilai Nasionalisme dari Lima Tahun Awal Kemerdekaan”, saya tambahkan catatan sejarah berikut.
Perjuangan membentuk dan membangun Indonesia merdeka telah berlangsung sejak awal abad ke-20, dimulai dengan Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan puncaknya Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Belanda tidak mau mengakui dan ingin kembali menguasai sehingga terjadi aksi militer pertama 21 Juli 1947 di Jakarta. Ibu kota negara terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada 19 Desember 1949 Belanda melakukan agresi militer kedua, menyerang ibu kota Yogyakarta. Akhirnya berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, 23 Agustus–2 November 1949, sebagai ajang perundingan Indonesia-Belanda.
Di sini Belanda dengan licik menjadikan Republik Indonesia hanya salah satu peserta KMB. Peserta lainnya Belanda, delegasi BFO (Bijenskoms voor Federal Oversleg) yang mewakili daerah–daerah bakal RIS buatan Belanda.
Dalam perjanjian KMB, Belanda menahan Papua untuk dibicarakan satu tahun kemudian. Pada 27 Desember 1949 Ratu Juliana menyerahkan kedaulatan kepada RIS sehingga NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 hilang. Indonesia hanya salah satu negara bagian dengan berlakunya Konstitusi RIS.
Sebelumnya ada Persetujuan Linggarjati (25/3/1947) dan Renville (17/1/1948).
Setelah RIS, banyak negara bagian yang ingin tetap menjadi bagian negara RI, mereka sebut Republik Yogyakarta.
M Natsir, anggota parlemen RIS dari Masyumi, kemudian melobi berbagai pihak dan berpidato di depan parlemen RIS pada 3 April 1950. Dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, pidato ini intinya mengajak kembali menjadi NKRI.
Pada 15 Agustus 1950 Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama Parlemen dan Senat RIS. Pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya NKRI kembali.
Mustakim, SHPerumahan Pondok Duta 1, Tugu, Depok 16451