Pendidikan vokasi tak hanya memberikan keterampilan, tetapi juga melakukan karakterisasi dengan menginjeksikan nilai-nilai hingga kemudian lulusannya memiliki karakter yang kompetitif dengan dunia usaha dunia industri.
Oleh
SYAMSUL ARIFIN
·5 menit baca
Pemberitaan Kompas terkait pendidikan vokasi: ”Harta Karun Inovasi Pendidikan Vokasi” (Kamis, 4/8/2022) dan ”Penguatan Pendidikan Vokasi Digelar Menyeluruh” (Sabtu, 6/8/2022), kian menyadarkan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pendidikan vokasi tentang harapan, masalah, dan pentingnya gerakan untuk memperkuat orkestrasi revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia.
Seperti ditulis Kompas, pendidikan vokasi memiliki keunikan yang tersimpan lama, tak ubahnya harta karun yang perlu digali. Keunikan pendidikan vokasi tampak jelas pada misi yang diembannya, yakni menyiapkan tenaga terampil yang bisa diserap dengan mudah, cepat, dan tepat oleh dunia usaha dan industri (DUDI).
Secara kelembagaan, pendidikan vokasi merentang mulai dari jenjang menengah (sekolah menengah kejuruan/SMK) hingga pendidikan tinggi dengan jumlah yang bisa dikatakan lebih dari cukup. Berdasarkan datapokok.ditpsmk.ac.id, jumlah SMK, baik negeri maupun swasta, sebanyak 14.459 sekolah. Sementara jumlah pendidikan tinggi vokasi (diksi), menurut pddikti.kemdikbud.go.id, sebanyak 1.190, baik negeri maupun swasta. Masalahnya, misi pendidikan vokasi bertolak belakang dengan kenyataan karena jumlah pengangguran di Tanah Air justru lebih banyak berasal dari pendidikan vokasi.
Kesenjangan itu yang kemudian mendorong terutama pihak pemerintah melakukan revitalisasi terhadap pendidikan vokasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Revitalisasi sebagaimana ditegaskan dalam perpres harus dilakukan secara menyeluruh, berkesinambungan, terintegrasi, dan terkoordinasi. Dengan merujuk kepada perpres ini, revitalisasi pendidikan vokasi merupakan pekerjaan yang melibatkan aspek-aspek fundamental, termasuk kefilsafatan yang akan memberikan pemahaman esensi pendidikan vokasi, yang nanti akan menentukan arah pada tahapan praktikalnya.
Filosofi
Pendidikan vokasi sejatinya pendidikan yang secara eksplisit menyentuh martabat atau harga diri (dignity) manusia, yakni kerja. Kerja dimaknai oleh filsuf dan teoritikus sosiologi klasik, Karl Marx, sebagai tindakan produktif yang sekaligus perwujudan dari hakikat kemanusiaan manusia (George Ritzer, Sociological Theory, 2011).
Filosofi ini tersambung dengan John Dewey (1859-1952) yang mengembangkan pragmatisme dalam pendidikan. Dari tokoh ini kita mengenal konsep learning by doing. Alih-alih teori, pendidikan dalam kerangka filosofi Dewey harus mampu menjamin kepastian masa depan dengan bekal kompetensi dan keterampilan (skill) yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Filosofi yang menekankan pada pendidikan atau menyempit lagi sekolah untuk kerja dipegang juga oleh tokoh-tokoh pendidikan kita bahkan sejak di masa penjajahan, seperti yang dirintis oleh Engku Mohammad Syafei dengan pendirian INS Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dalam Sejarah Pendidikan (1974), ditulis I Jumhur, terdapat kutipan dari Syafei, ”...anak-anak kita perlu belajar bekerja sehingga mereka pandai mempergunakan tangannya di samping memakai otaknya”.
Pendidikan vokasi sejatinya pendidikan yang secara eksplisit menyentuh martabat atau harga diri ( dignity) manusia, yakni kerja.
Gagasan Syafei berkoherensi dengan Dewey yang dikenal dengan aliran pemikiran (school of thought) ”sekolah kerja”. Hingga Indonesia berada fase kemerdekaan dan berikutnya, berkembang pula sekolah teknik bahkan sejak di jenjang menengah pertama, yakni sekolah teknik negeri (STN) untuk jenjang menengah pertama dan sekolah teknik menengah (STM) sebagai kelanjutan dari STN. Belakangan sekolah kejuruan ini bermetamorfosis menjadi SMK.
Mengelola pendidikan bukan pekerjaan sederhana, termasuk pendidikan vokasi yang sedari awal mengusung visi menjadi ”sekolah kerja” untuk menghasilkan ”manusia pekerja”. Ketika ada data yang mengungkapkan sebagian besar pengangguran berasal dari lulusan SMK, maka publik dengan gampangnya mengatakan sebagai kegagalan pendidikan vokasi. Karena itu yang menjadi keniscayaan bagi pendidikan vokasi adalah keterhubungan secara nyata atau yang biasa disebut dengan link and match antara dunia pendidikan dan DUDI.
Keniscayaan itu yang dipegang kuat oleh Johan Balthasar Casutt atau yang dikenal dengan Romo Casutt ketika mengembangkan pendidikan tinggi vokasi di Solo, Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) pada 1971-2000, lalu berikutnya ATMI Cikarang (2003-2004). Kiprah dan dedikasi Romo Casutt bergelut dengan pendidikan vokasi sehingga mahasiswa ATMI Solo ”diijon” sebelum lulus terekam dalam buku Romo Casutt, SJ: Dalam Senyap Pendidikan Vokasi Indonesia (Kompas, 2018).
Swiss, muasal Romo Casutt, tentu memberikan pengaruh besar pada saat merintis dan mengembangkan pendidikan vokasi. Swiss adalah negara ”mini” dengan luas hanya sepertiga Jawa, tetapi memiliki pengaruh lumayan kuat terhadap negara lain berkat kemampuan memproduksi teknologi yang berkualitas tinggi.
Di bidang pendidikan vokasi, Swiss juga sering dijadikan rujukan. Swiss memiliki tradisi kuat dalam mengembangkan dual system pendidikan vokasi di mana sebagian besar kegiatannya adalah bekerja di bengkel dan terutama di dunia usaha dan dunia industri (70 persen). Hanya dengan cara demikian, lulusan mendapat kepastian terserap ke DUDI. Pada awal-awal mengembangkan ATMI Solo, Romo Casutt menghadapi tantangan ketersediaan DUDI untuk menjamin keberlangsungan dual system.
Karakterisasi
Solusi yang dilakukan Romo Casutt adalah memperkuat bengkel di ATMI Solo yang menyerupai DUDI. Tidak hanya membangun infrastruktur, Romo Casutt melakukan karakterisasi dengan menginjeksikan nilai-nilai hingga kemudian mahasiswa dan lulusannya memiliki karakter yang kompetitif dengan DUDI. Di buku terbitan Kompas itu, dinarasikan tentang nilai-nilai yang dikarakterisasikan, yaitu kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, dan inovatif.
Sengaja menggunakan istilah karakterisasi karena yang ingin ditekankan adalah pembentukan sikap paling puncak pada ranah afeksi sebagaimana teori dari Benjamin S Bloom atau lebih dikenal dengan taksonomi Bloom, yaitu characterization. Di tahapan ini, nilai-nilai tidak cukup diketahui (moral knowing), tetapi disadari (moral feeling) hingga dilaksanakan (moral action). Sejalan dengan pandangan bahwa nilai itu tidak cukup diajarkan (teach) tetapi ditangkap (caught), maka dalam karakterisasi perlu penciptaan apa yang disebut dalam literatur living values education (LVE) dengan atmosfer berbasis nilai.
Tidak hanya membangun infrastruktur, Romo Casutt melakukan karakterisasi dengan menginjeksikan nilai-nilai.
Nilai inovatif, misalnya, Romo Casutt mengarakterisasikan antara lain dengan mencipta suatu produk yang tidak hanya dibutuhkan pasar, tetapi juga memiliki kualitas tinggi, sejalan dengan ekosistem inovasi di Swiss. Jadi, di ATMI Solo, bukan sekadar praktik, melainkan sudah produksi yang mampu bersaing dengan produk lainnya dan sekaligus sebagai revenue generating bagi ATMI Solo.
Yang menarik, Romo Casutt berperan pula sebagai marketer yang gigih memasarkan produk-produk ATMI Solo. Romo Casutt terkadang door to door ke toko-toko atau pengguna lainnya. Dengan begitu, penting ditambahkan pula, pendidikan vokasi meniscayakan kehadiran seorang leader yang memiliki mental kewirausahaan (entrepreneurship).
Tentu yang dilakukan oleh Romo Casutt itu ketika ATMI Solo masih berada di fase-fase awal pada saat ekosistem digital tidak secanggih sekarang. Dan pula, ATMI Solo belum memperoleh rekognisi seperti saat ini.
Di era sekarang, pemasaran dan pengembangan jejaring tentu jauh lebih gampang, tetapi juga memberikan tantangan karena digitalisasi di era revolusi industri 4.0 menimbulkan disrupsi yang berakibat pada menghilangnya banyak jenis pekerjaan. Bisa jadi ketidakterserapan lulusan pendidikan vokasi karena jenis pekerjaan sudah terdisrupsi. Inilah tantangan para pengelola pendidikan vokasi agar terus melakukan inovasi sejalan dengan filosofi dan misi pendidikan vokasi.
Syamsul Arifin, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Muhammadiyah Malang