Mengenai pemanasan global, ahli cuaca sudah mengingatkan, bahwa “waktu hampir habis”. Artinya kesempatan untuk mengoreksi kondisi cuaca ini sekarang ini sudah semakin tipis.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kalau saja bisa dibaca sebatas sebagai laporan berita internasional, maka sejumlah kisah tentang cuaca di Kompas Sabtu (27/8) dan Senin (29/8) kemarin bisa jadi bacaan yang mengasyikkan. Ada sejumlah sungai yang dilaporkan surut berat di China dan di AS.
Seperti kita baca beritanya, ada penyusutan di Sungai Yangtze, sungai ketiga terpanjang di dunia setelah Sungai Nil dan Sungai Amazon. Di kota Chongqing, Provinsi Sichuan, permukaan Sungai Yangtze turun hingga 4,85 meter, menjadi surut terparah pada sungai tersebut.
Jika di China penyusutan sungai Yangtze membuat patung-patung Buddha Siddartha Gautama muncul dan tampak utuh, di AS susutnya aliran sungai mengungkap jejak-jejak dinosaurus yang berusia 113 juta tahun. Ini terjadi di Taman Nasional Lembah Dinosaurus di Forth Worth, Texas. Sungai Paluxy yang melintasi Taman Dinosaurus mengalami kekeringan parah.
Surutnya tandon air berupa waduk, juga terjadi di Spanyol. Waduk Valdecanas peninggalan diktator Francisco Franco surut parah, memunculkan Dolmen Guadalperal yang sudah ada sejak 5000 tahun sebelum Masehi. Monumen ini mengingatkan orang pada Stonehenge yang ada di Inggris.
Infografik Jajak Pendapat Krisis Iklim
Ulasan lain di Kompas juga menyebutkan kekeringan yang parah, sekaligus banjir yang parah di sejumlah wilayah China. Sementara Organisasi Meteorologi Dunia Jumat (26/8) menyebutkan, kekeringan di kawasan Tanduk Afrika memburuk. Kawasan ini di ambang bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi.
Kita juga masih ingat belum lama ini ada serangan gelombang panas di sejumlah negara Eropa, seperti Inggris dan Perancis.
Kita tentu tidak ingin menyimak berita dari permukaannya, karena sebenarnya di balik semua yang terjadi di atas ada fenomena cuaca yang amat kritis, yang entah masih bisa diatasi oleh umat manusia atau tidak.
Seperti yang telah berulang kali kita tulis di kolom berita maupun di tajuk rencana sebagai penyuara pesan suratkabar ini, semua dipicu oleh pemanasan global yang meningkatkan suhu permukaan bumi. Hal ini meningkatkan perbedaan tekanan udara di permukaan bumi dan di lapisan atas atmosfer di mana di antara keduanya berlangsung dinamika cuaca.
Mengenai pemanasan global, ahli cuaca sudah mengingatkan, bahwa “waktu hampir habis”. Artinya kesempatan untuk mengoreksi kondisi cuaca ini sekarang ini sudah semakin tipis. Pemanasan global tidak semata akan ditandai dengan melelehnya es di wilayah kutub, juga di pergunungan Himalaya, yang akan meninggikan muka air laut. Fenomena ini juga akan memicu krisis aneka bentuk yang akan menyengsarakan milyaran manusia.
Ada pertanyaan yang melintas di kepala jika merenungkan hal ini. Sudah cukupkah kita mendengar pesan yang disampaikan oleh alam ? Sebagian tentu akan dengan semangat menjawab “sudah”. Buktinya ada berbagai perundingan dan komitmen di forum-forum dunia untuk mengambil langkah drastik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai biang keladi utama pemanasan global.
Tetapi jika melihat alarm yang dikirim oleh alam, sebagaimana kita amati pada cuaca global dewasa ini, komitmen dan tindakan yang diambil oleh manusia tampak seperti pepatah Inggris “ too little, too late”, terlalu sedikit dan sangat terlambat.