Pemanfaatan HKI dan Problem Pendanaannya
Tekad mendorong pertumbuhan usaha kecil, apalagi dalam pemanfaatan HKI di kalangan usaha kecil ataupun usaha awal/rintisan, sebaiknya memang tak berhenti pada kebijakan. Perlu keberpihakan yang jelas dan konsisten.

Heryunanto
Cerita tentang sulitnya menumbuhkan usaha baru berbasis pemanfaatan hak kekayaan intelektual atau HKI bukanlah hal baru.
Sejak dasawarsa terakhir, ketika paradigma pembangunan berbasis manusia dan iptek mulai digaungkan, ihwal itu sudah terdengar. Namun, hasilnya tetap saja. Belum apa-apa, dan belum ke mana-mana. Bahkan, sejak 40 tahun lalu, walau dalam kondisi dan konsep pikir yang sedikit berbeda, perhatian terhadap usaha kecil dan koperasi sebenarnya juga sudah ada.
Bedanya, masa lampau tersebut bergerak pada lingkup yang lebih umum, dan belum mengerucut pada pemanfaatan HKI. Maklum, masa itu sistem HKI-nya juga baru mulai dibangun.
Jejak lama
Seiring meningkatnya perhatian terhadap HKI, di awal abad baru, pemerintah mengesahkan UU No 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Dorongan bagi upaya pengembangan iptek dan HKI lewat kegiatan penelitian dilakukan dengan pendekatan insentif.
Namun, kebijakan yang dibungkus dalam PP No 35/2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi ternyata juga belum mampu mendongkrak peran iptek dalam kehidupan atau kegiatan pembangunan.
Insentif keringanan fiskal yang dijanjikan belum berjalan. Komite Inovasi Nasional yang dibentuk Presiden tahun 2010 menyarankan perbaikan utamanya penyederhanaan prosedur dan bentuk konkret insentif itu sendiri.
Namun, tindak lanjut juga tak muncul. Mungkin mengira sumber masalah terletak di sektor kebijakan, niat mewujudkan peran iptek dalam pembangunan dirumuskan lagi dalam Perpres No 38/2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional.
Baca juga Pembentukan Lokapasar Mesti Diikuti Perbaikan Sistem Perlindungan
Baca juga Hak Kekayaan Intelektual Membawa Harapan Sejahtera Perajin Batik Nitik
Tanpa mengacu pada UU No 18/2002 tadi, perpres dikeluarkan hanya dengan tumpuan kewenangan Presiden berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD. Alur cerita mungkin tidak begitu penting dibandingkan lompatan ide.
Setahun kemudian lahir UU No 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek. Orang menunggu bagaimana dan seberapa jauh UU ini mampu menggambarkan sekaligus membabar politik iptek nasional. Kini, setelah menunggu hampir tiga tahun, semua mesti masih bersabar menunggu peraturan pelaksanaan UU.
Lantas bagaimana soal paradigma baru dan cita tentang pemanfaatan HKI tadi? Memang banyak yang termangu ketika paradigma baru ”Pembangunan Berbasis Manusia dan Iptek” yang dilancarkan sejak 2014 belum juga terelaborasi dengan pas dan jelas di tahun-tahun berikutnya. Bahkan, hingga kini.
Seberapa jauh revolusi mental dan ide memerdekakan pendidikan memberikan panduan dalam membangun mentalitas, karakter, dan kualitas manusia masih harus diselisik; ya alurnya, ya relnya.
Menilai pentingnya iptek bagi pembangunan, tahun 2021 Presiden mengambil keputusan politik mengintegrasikan fungsi riset yang tersebar di banyak lembaga dalam satu wadah, BRIN. Memang masih perlu waktu untuk melihat kiprah dan hasil kerja BRIN.

Didie SW
Pemanfaatan HKI
Bagaimana dengan upaya pemanfaatan HKI dalam langkah di atas? HKI yang mana? Bukankah ada tujuh jenis di dalamnya? Hak cipta (untuk karya-karya seni budaya dan susastra lainnya) ataupun hak terkait hak cipta? Merek dan indikasi geografis? Desain produk industri? Paten? Rahasia dagang? Hak untuk karya seni dan teknologi dalam desain tata letak sirkuit terpadu? PVT atau temuan varietas baru tanaman?
Besar kecilnya semua mengandung nilai ekonomi dan membawa kemanfaatan. Makin tinggi manfaatnya, makin tinggi pula nilai ekonomi dan biasanya juga harganya. Apakah ada HKI yang nilai kemanfaatan dan keekonomiannya rendah (atau tak ada yang tertarik untuk meminta lisensi untuk mengeksploitasinya dalam kegiatan ekonomi)?
Pasti ada. Di bagian dunia mana pun keadaan serupa juga ada. Di Indonesia, data di Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan ratusan paten nasional ”tidur pulas”. Sampai-sampai terancam gugur karena tak dibayarnya biaya pemeliharaan tahunan (annual fee) beberapa tahun terakhir.
Mengapa bisa begitu? Kebanyakan paten itu secara hukum dimiliki atau dipegang perguruan tinggi atau instansi pemerintah karena penelitian dan penemuannya dibiayai APBN.
Di Indonesia, data di Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan ratusan paten nasional ”tidur pulas ”.
Mungkin saja paten diberikan karena memenuhi syarat kebaruan, dan secara teoretis juga dinilai industrially applicable, tetapi dalam konteks keekonomian, manfaat nyatanya rendah. Artinya, tak ada yang meminta lisensi untuk menggunakannya. Paten tak menghasilkan apa pun. Tak berbuah. Karena biaya pemeliharaan paten tak ada pos anggarannya, kewajiban membayar annual fee tertunggak dan membuat pusing instansi yang terkait.
Bagaimana bisa ”tertidur pulas” jika memang memenuhi kriteria industrially applicable? Temuan teknologi (obyek paten)—apakah yang sederhana, ataukah yang biasa dan luar biasa—semua berujung sama: kemanfaatan dan daya saing! Memiliki keunggulan lebih tinggi, baik dalam arti teknis (efisiensi-efektivitas), kenyamanan, keamanan/keselamatan dalam penggunaan produknya, dan mampu bersaing dalam harga.
Kabarnya, paten tidur tadi diperoleh sekadar karena terpenuhinya syarat kebaruan, dan syarat formal lain. Bisa demikian karena di kalangan dosen peneliti, perolehan paten lebih dijadikan pelengkap syarat untuk dapat tambahan KUM dalam perjalanan karier mereka. HKI yang tak bisa dimanfaatkan memang praktis tak ada gunanya. Nilainya rendah dan tak punya daya saing.

Suasana Kuliah Umum Kewirausahaan pada acara Paten Goes to Campus di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Purwokerto, Jawa Tengah, Sabtu (4/6/2022).
HKI sebagai jaminan
Sebagai aset, sebagai kekayaan, tidaklah keliru menjadikan HKI sebagai jaminan pinjaman. Tindakan pemerintah memberi jalan ke arah itu melalui PP No 24/2022 tidak salah, dan logis. Apakah pemberi pinjaman mau menerima atau tidak menerima, memang soal lain.
Bagaimana valuasi soal nilai dan kemanfaatan HKI memang perlu keahlian tersendiri untuk menghitungnya. Profesi di bidang ini belum (begitu) berkembang di Indonesia.
Karena itu, jika belakangan muncul beberapa reaksi dari dunia usaha perbankan yang mempertanyakan kemangkusan HKI sebagai jaminan, itu wajar saja. Sama seperti masa-masa awal ketika resi gudang dinyatakan bisa dijadikan jaminan.
Oleh karena itu, masalahnya kini adalah bagaimana memungkinkan hal itu bisa berjalan efektif. Kalau soal HKI bisa dipersempit ke paten yang berdaya saing dan bernilai ekonomi tinggi, soal jaminan sebagaimana dimaksud dalam PP pastilah bukanlah masalah. Industri yang memanfaatkannya tidak lagi mempersoalkan jaminan tersebut. Mereka tahu, jaminan ini terserap oleh pemahaman tentang kemanfaatan HKI yang mereka miliki, atau mereka lisensi.
Bagaimana valuasi soal nilai dan kemanfaatan HKI memang perlu keahlian tersendiri untuk menghitungnya.
Kualitas paten itu sendiri yang memberi jaminan. Soal modal kerja, itu dapat tercukupi dengan sumber daya yang mereka miliki. Masalah mereka adalah pasar bagi produk yang dihasilkan. Tak berlebihan jika kemudian orang menebak bahwa HKI yang difasilitasi PP No 24/2022 terutama adalah untuk karya intelektual yang (lebih) sederhana sifat, bentuk, dan cara penggunaannya.
Dalam bahasa sosial, HKI berupa karya intelektual yang mudah didorong pemanfaatannya di kalangan usaha kecil. Katakanlah UMKM. Atau usaha awal/rintisan (start up). Mendorong pemanfaatan HKI (misal, konkretnya temuan teknologi yang sederhana) serupa itu, jelas ide bagus. Bagus bagi penemu dan ”pencipta”, juga bagi dunia usaha yang berniat mengambil manfaat. Dampaknya terhadap napas dan gerak kehidupan ekonomi nasional, walau bermula dari yang kecil, sangat positif dan luas.

Fakultas Pertanian Universitas Lampung mencetak rekor muri atas perolehan paten terbanyak dalam kurun waktu 7 bulan dan 12 hari. Piagam rekor muri diserahkan pada Kamis (22/8/2019) di Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Dukungan pendanaan dan usaha modal ventura khusus
Tetapi kalau benar itu yang dimaksudkan, layak diingat pengalaman selama ini. Di luar masalah sosio-kultural yang ada, kendala klasik yang melingkupi upaya menggerakkan usaha kecil, terutama adalah dukungan pendanaan.
Dalam konteks pemanfaatan HAKI, apalagi bila menyangkut teknologi (yang sesederhana apapun), problema tersebut akan terkuak lebih komplet. Tidak hanya tentang soal pendanaan, tetapi juga bantuan teknis dalam proses penggunaan HAKI (baca: teknologi) dan juga pemasarannya. Bila semuanya dapat selesai dengan mekanisme perbankan pada umumnya, mungkin penegasan bahwa HAKI boleh dijadikan jaminan, tidak sejauh perjalanan PP No 24/2022 tadi.
Karenanya, bila soal itu akan disandarkan pada kemampuan daerah, sudah waktunya pemda lebih didorong perannya dalam penumbuhan usaha semacam Modal Ventura yang dibentuk dengan misi khusus. Khusus bagi usaha pemanfaatan HAKI (teknologi).
Di masa awal, tak perlu usaha serupa itu harus ada dan dibentuk serentak di setiap provinsi. Mana yang siap, dan memang memiliki potensi unggulan yang khas untuk didorong. Modal ekuiti mestinya tak jadi masalah, apalagi untuk UMKM. Bukankah banyak pemda yang dikabarkan menernak triliunan rupiah dana mereka di Jakarta? Melalui keikutsertaan di ekuiti, usaha Modal Ventura bisa menyelesaikan problema penja -minan HAKI yang akan dimanfaatkan.
Dengan kata lain diperlukan keberpihakan yang jelas dan konsistensi.
Dengan menumbuhkan usaha Modal Ventura, pemda juga sekaligus menyediakan lapangan kerja bagi anak-anak mereka yang memiliki keterampilan vokasi, baik teknis ataupun pemasaran. Tekad mendorong pertumbuhan usaha kecil, apalagi dalam pemanfaatan HAKI di kalangan usaha kecil ataupun usaha awal/rintisan lainnya, sebaiknya memang tak berhenti pada kebijakan saja.
Lebih dari itu, dengan mengingat besarnya potensi dan peran usaha seperti itu dalam membangun ekonomi nasional yang bernapaskan kerakyatan, untuk mendorong perwujudannya juga dibutuhkan keteguhan sikap atau determinasi. Dengan kata lain diperlukan keberpihakan yang jelas dan konsistensi.
Potensi HAKI, terutama hasil temuan teknologi yang sederhana, dalam pembangunan, lewat penumbuhan kegiatan ekonomi masyarakat “bawah”, sesungguhnya memang besar. Setidaknya, tagline "Pembangunan Berbasis Manusia dan Iptek" bisa diwujudkan dengan cara dan dalam bentuk sederhana tetapi konkret. Semoga.
Bambang Kesowo,Pemerhati HAKI

Bambang Kesowo