Merayakan Melankolisme
Rezim Joko Widodo, yang selama ini meneguhkan pentingnya revolusi mental dan sedang ”grengseng” (penuh semangat) membangun infrastruktur, tidak anti-lagu-lagu melankolis.
Melankolisme berelasi dengan kubangan sentimentalitas dan haru biru atas kesedihan atau berlarat-larat kecengengan. Orang yang memuja melankolisme sering dianggap berjiwa lembek. Tidak militan, heroik dan bahkan fatalistik.
Pada era Orde Baru, awal tahun 1990-an, lagu-lagu melankolis alias cengeng dilarang. Alasannya: melemahkan jiwa bangsa, yang saat itu sedang gigih membangun.
Rezim Joko Widodo, yang selama ini meneguhkan pentingnya revolusi mental dan sedang grengseng (penuh semangat) membangun infrastruktur, tidak antilagu-lagu melankolis. Bahkan, dalam perhelatan 77 tahun Kemerdekaan RI, ditampilkan dangdut koplo bertajuk ”Ojo Dibandhingke”. Kontan sejumlah petinggi negara berjoget. Farel Prayoga, penyanyi bocah itu, pun mendapat apresiasi tinggi. Banyak hadiah untuk dia, termasuk beasiswa. Bahkan, ia didapuk, ditunjuk, jadi duta Hak Kekayaan Intelektual. Apa ora hebat?
Demitologisasi
Berbeda dengan rezim Orde Baru, rezim Jokowi tidak melihat adanya potensi lagu cengeng yang bisa membikin ambruk mental bangsa. Mereka sangat terbuka terhadap berbagai arus kebudayaan. Termasuk budaya massa atau budaya pop, yakni budaya yang lebih mengutamakan hal-hal eksoteris (permukaan) daripada kedalaman (esoteris). Atau lebih mementingkan hal-hal yang artifisial daripada yang substansial. Karena itu, produk budaya pop selalu ringan, gampang dipahami, enak dinikmati dan yang penting bisa mengharu biru suasana hati. Karena ringan dan menghibur itulah, pasar budaya pop sangat luas.
Perhelatan acara resmi semacam Peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus selama ini identik dengan kekhidmatan dan kesakralan. Ritus budaya politik tahunan itu menjadi momentum untuk meneguhkan kembali komitmen pemerintah, penyelenggara negara dan masyarakat atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Lagu-lagu perjuangan atau ode (pemujaan) atas Tanah Air pun mendominasi, di antara lagu-lagu etnis Nusantara. Juga ada ikrar kesetiaan atas bangsa dan negara.
Namun, pada 17 Agustus lalu, terjadi demitologisasi. Lagu dangdut koplo menyeruak sakralitas suasana. Baru kali ini, dalam sejarah perhelatan macam ini, ditampilkan lagu campur sari atau dangdut koplo.
Demitologisasi merupakan tindakan, yang juga dapat diartikan gerakan budaya, untuk mencairkan kekentalan mitos yang sebelumnya hadir dan menguasai kesadaran, pikiran, dan perilaku manusia. Demitologisasi diwujudkan melalui penghadiran budaya tanding yang dianggap mampu meretakkan ruang kaca kesadaran lama, hingga lahir cara pandang baru.
Pemerintahan Jokowi telah melakukan banyak koreksi atas orde-orde sebelumnya, terutama Orde Baru. Misalnya birokrasi yang dingin dan kaku diubah jadi ”hangat” ramah dan terbuka. Tradisi perizinan tidak bertele-tele. Transparansi dan akuntabilitas pun jadi prioritas pelayanan. Prinsipnya: ”semua urusan jadi mudah”.
Soal jarak antara pemerintah dan penyelenggara negara dengan masyarakat juga mengalami pengikisan. Keterbukaan Istana Negara atas arus budaya pop dan antusiasme masyarakat hanyalah salah satu bukti. Meskipun upaya itu bukan yang pertama kali. Presiden Abdurrahman Wahid sudah memulainya: menjadikan Istana Negara tidak berjarak alias bisa disentuh publik.
Rileks dan egaliter
Dalam iklim berbangsa dan bernegara yang demokratis, kesetaraan jadi kata kunci. Setiap produk budaya punya hak yang sama dengan lainnya, untuk hidup, hadir, dan berkembang. Tidak boleh ada dominasi dan hegemoni kultural. Publiklah yang akan menyeleksi, apakah jenis kesenian tertentu itu bisa bertahan atau gulung tikar.
Soal cara berpikir terbuka dan sikap egaliter ini, penulis jadi ingat perjuangan kultural budayawan Umar Kayam (30 April 1932-16 Maret 2002) ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta tahun 1969-1972. Ia ”menjungkirbalikkan premis kesenian adiluhung” (istilah Goenawan Mohamad) dengan menampilkan grup band Koes Plus, grup lawak Srimulat, lenong Betawi, wayang, dan lainnya di Taman Ismail Marzuki (TIM), yang waktu itu dianggap ”angker” alias menara gading kesenian Indonesia. Hanya seni yang dianggap adiluhung dan avant-garde yang ”boleh tampil”. Umar Kayam mendobrak keangkeran itu. Berhasil.
Jokowi juga mendobrak ”keangkeran” Istana Negara: dangdut koplo ditampilkan. Upaya ini jadi salah satu tanda: rezim Jokowi adalah rezim yang rileks menyikapi segala kecenderungan dan dinamika kultural masyarakat. Tak ada hierarki kultural. Tak ada konsep budaya alus dan kasar atau tinggi-rendah. Setiap kesenian dipahami sebagai produk sah kebudayaan masyarakat yang wajib diapresiasi agar tumbuh berkembang dan menemukan masa depannya. Begitu juga musik pop dangdut koplo dengan lagu berlirik bahasa Jawa.
Bukan tidak mungkin, dalam perhelatan ke depan, Istana pun siap menampilkan dangdut Rhoma Irama, musik rock God Bless, musik reggae, jazz, dan lainnya yang bersanding dengan musik klasik, etnis, keroncong, dan gambus. Semua kekayaan kultural Indonesia ditampilkan.
Kita berharap, pemerintahan Jokowi tidak hanya berhenti sebatas mengapresiasi beragam budaya dan kesenian. Namun juga memberikan dukungan riil yang lebih optimal di dalam melindungi, merawat, mengembangkan, dan memanfaatkan seni-budaya produk masyarakat menjadi industri kreatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan para pelaku seni-budaya.
Kesenian merupakan bagian dari roh kebudayaan bangsa yang memantulkan kreativitas gagasan, nilai, dan kejiwaan manusia. Kesenian hadir ibarat oksigen kultural yang turut memperpanjang tarikan napas masyarakat. Setidaknya kesenian selalu jadi penanda signifikan atas ”masih hidupnya” manusia, kemanusiaan. Juga tetap terjaganya dinamika kebudayaan yang bermuara pada penguatan peradaban bangsa.
INDRA TRANGGONO
Praktisi Budaya dan Esais