Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Media pers punya tanggung jawab mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas. Dalam konteks menghadapi Pemilu 2024 serta merawat keindonesiaan, media pers perlu waspada pada upaya membelah masyarakat dengan politik identitas.

Didie SW
Sepenggal kalimat dari bagian tujuan kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, tidak lain adalah cita-cita mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas. Ini biasa dikaitkan dengan pendidikan warga negara.
Untuk itu perlu diingat bahwa pendidikan bukan hanya dunia persekolahan bertingkat-tingkat, sebab signifikansi hasil pendidikan bukan hanya pengetahuan, melainkan kecerdasan.
Pendidikan bukan hanya dari ruang kelas sekolah, juga bersumber dari seluruh kegiatan penyampaian informasi. Ada informasi yang mencerdaskan, sayangnya ada pula yang mengantarkan kebebalan. Oleh karena itu, setiap pihak yang mentransfer informasi dituntut menyadari posisi mengemban misi sebagai guru. Dunia informasi: sekolah dan institusi pendidikan nonformal (termasuk media pers) patut dianggap gagal jika kecerdasan bangsa merosot.
Bagaimana membayangkan bangsa yang cerdas? Guna melawan lupa, di sini boleh diputar ulang kehidupan masa lalu, era negeri ini dibekap kekuasaan fasis-militerisme. Sepertiga abad warga negara digiring menjadi bebal yang patuh pada kekuasaan di luar dirinya, kehilangan akal sehat dan kecerdasan. Ini dijalankan dengan penguasaan alam pikiran warga, menjauhkannya dari fakta otentik.
Bagaimana membayangkan bangsa yang cerdas?
”Off the record” fakta
Represi alam pikiran warga dimulai dari media pers. Kehadiran media pers berurusan dengan fakta publik. Langkah rezim Orde Baru (Orba) adalah pengendalian media pers. Artinya, warga dibatasi untuk mengetahui fakta.
Sebutan off the record populer pada masa Orba. Asalnya, merupakan komitmen moral antara jurnalis dan narasumber pemberi keterangan yang tidak mau identitasnya dibuka dalam publikasi. Namun, zaman Orba berubah fungsi menjadi instrumen penguasa militer atau pejabat sipil yang menikmati pemerintahan ala fasis-militerisme untuk membungkam media pers.
Istilah itu menjadi kewajiban jurnalis untuk menunda pemberitaan informasi faktual sebelum mendapatkan konfirmasi dari penguasa. Artinya, hanya keterangan penguasa resmi boleh menjadi berita jurnalisme.

Acuan kerja kaum profesional media pers dengan standar universal tidak ada artinya pada penguasa dengan sistem berpikir fasis-militerisme warisan tentara pendudukan Jepang. Secara ideal, media pers sebagai institusi sosial penampilannya berasal dari hasil tindakan profesional para jurnalis personelnya. Dengan kompetensinya, seorang jurnalis bertindak terarah pada orientasi yang bersifat etis ataupun teknis. Sifat teknis tentu bertolak dari kriteria untuk tujuan pragmatis, sedangkan tindakan etis berasal dari pilihan ideal, dan ini menyatu dalam sikap merdeka.
Apa makna merdeka? Tindakan yang lahir dari kesadaran pilihan ideal. Suatu tindakan dapat menjadi buruk jika bukan dari kesadaran intrinsik, melainkan dari ketidakberdayaan akibat intimidasi eksternal.
Kehidupan surat kabar harian Kompas dapat dilihat sebagai contoh soal. Di kala Orde Baru, wartawan senior Rosihan Anwar menempelkan julukan ”jurnalisme kepiting” karena tajuk rencana harian Kompas, terutama yang mengulas isu dalam negeri, berputar-putar tidak langsung menohok pada substansi pro atau kontra.
Baca juga Kenaikan Indeks Kemerdekaan Pers Dibayangi Sejumlah Persoalan
Baca juga Jangan Lelah Suarakan Kebenaran...
Tujuan setiap tajuk rencana memang pada hakikatnya mencerminkan sikap media menghadapi isu aktual. Namun, itu di negara demokrasi dengan iklim terbuka. Jika Rosihan yang kehilangan koran akibat dibredel rezim Orba menjadi sarkastis, Pemimpin Kompas Jakob Oetama dengan kalem berujar, ”Yang mati tidak dapat berbuat apa-apa.” Dari sini ”jurnalisme kepiting” patut dijadikan pelajaran sejarah tentang represi rezim fasis-militerisme.
Pembredelan merupakan eksekusi mati. Kompas pernah mengalaminya, syukur masih diberi kesempatan hidup kembali. Dibangkitkan dari kematian, perlu dihayati sebagai jalan berduri yang harus dilewati. Apakah tunduk sepenuhnya, menjadi ”zombie” yang digerakkan mantra sang penguasa, atau membaktikan kehidupan secara bermakna. Itulah pilihan media pers pada era Orde Baru untuk bertahan hidup.
Di sini makna diwujudkan dalam dua cara, pertama bersifat negatif: berjaga-jaga dari ancaman kematian. Kedua, secara positif: memberikan kepada publik wacana bermakna guna memelihara akal sehat.

Makna di antara baris
Beruntung media pers tertentu sepanjang era Orba didukung khalayak tertindas, tetapi cerdas, sehingga dapat menemukan makna dengan membaca di antara baris (read between the lines) untuk mendapatkan fakta publik yang disembunyikan penguasa dengan tekanan off the record.
Dengan kata lain, ada lapisan masyarakat yang psikososialnya tidak terkooptasi dengan hegemoni fasis-militerisme. Mereka adalah generasi yang sempat mendapat pendidikan dasar dan menengah pra-Orba.
Berkah reformasi pasca-Orba adalah lenyapnya ancaman pembredelan pers. Media pers Indonesia sepenuhnya dapat menjalankan orientasi pragmatis dalam operasi jurnalisme, yaitu menyampaikan informasi faktual yang penting dan menarik, dalam kerangka kaidah jurnalisme demi obyektivitas dan kebenaran.
Berkah reformasi pasca-Orba adalah lenyapnya ancaman pembredelan pers.
Sembari itu dapat dipelajari dari keberadaan harian Kompas, misalnya, yang memenuhi visinya menjadi bagian kebangsaan Indonesia yang terdiri dari multietnis dan multiagama dengan penghargaan pada toleransi dan nilai tradisi multikultural. Di sini Kompas senantiasa mengangkat nilai keindonesiaan itu.
Era sekarang jurnalisme makna dengan keindonesiaan dan penghormatan pada nilai kemanusiaan tentu lebih leluasa dijalankan. Begitu pula dalam menghadapi kekuasaan eksternal, pemberitaan dapat lugas. Maka, media pers tidak perlu lagi berbasa-basi.
Namun, mungkin ada yang hilang, yaitu khalayak cerdas yang mau membaca di antara baris demi mencari kebenaran dan obyektivitas faktual.
Media pers menghadapi paradoks. Di satu sisi dapat lebih lugas untuk menyampaikan narasi substansial, pada sisi lain semakin berkurang khalayak yang mencari obyektivitas dan kebenaran informasi faktual. Semakin luas khalayak lebih menyukai konten sensasional yang diburu dari media yang berorientasi pada umpan klik (clickbait).

Siapakah khalayak media sekarang? Lapisan khalayak media semakin sedikit yang berasal generasi pra-Orba. Secara populer disebut generasi X, Y, atau Z. Secara psikososial bagian terbesar adalah mereka yang menerima internalisasi nilai ala Orba. Psikososial dari generasi ini berbeda dengan khalayak media pers sebelumnya yang mau ”bersusah payah” mencari makna tersirat dari suatu teks jurnalisme.
Ruang publik yang terbuka setelah Orde Baru runtuh diterima sebagai kebebasan bagi generasi yang bertahun-tahun diformat dengan keseragaman berpikir dan kepatuhan pada kekuasaan. Aktualisasi diri lebih bebas, tetapi sulit membedakan substansi atau sensasi dari suatu ekspresi. Contoh ekstrem, istri tentara berkomentar negatif secara sensasional tentang isu publik melalui media sosial. Hal yang mustahil pada era Orba.
Khalayak yang berubah
Makin hari kita menyaksikan bagaimana kaum terdidik bahkan dari kalangan perguruan tinggi semakin menonjol dengan alam pikiran penuh doktrin. Hanya saja, doktrin ala Orba diganti dengan keagamaan eksklusif yang senada dengan fasisme. Media sosial menjadi ajang mengaktualisasikan posisi dalam keterbelahan politik identitas keagamaan eksklusif.
Dalam menghadapi publik semacam ini, selayaknya pengelola media pers bersikap. Caranya dengan tidak membiarkan media sebagai panggung bagi kelompok eksklusif yang bersikap intoleran dan berorientasi meniadakan nilai kemajemukan di Indonesia.
Makin hari kita menyaksikan bagaimana kaum terdidik bahkan dari kalangan perguruan tinggi semakin menonjol dengan alam pikiran penuh doktrin.
Boleh jadi masih ada kegamangan menghadapi kelompok yang menabalkan diri seolah mewakili umat Islam ini. Persepsi yang terbentuk agaknya muncul dari hasil hegemoni kelompok eksklusif.
Setelah reformasi memang ada gerakan mengisi psikososial yang kosong setelah Orde Baru runtuh. Salah satunya kelompok yang berupaya mewujudkan kekuasaan khilafah dengan mengafirkan setiap pandangan yang berbeda serta menolak nilai multikultural dan toleransi antaragama. Gerakan ini sebenarnya minoritas di antara umat Islam Nusantara yang berorientasi inklusif dan menjaga toleransi pada kelompok yang berbeda.
Orientasi khilafah menyamarkan diri dalam berbagai bentuk dan pengucapan. Di setiap peluang suaranya lantang, dan tampak nyata membelah masyarakat Indonesia pasca-Pilkada DKI 2017, berlanjut dengan Pilpres 2019. Sikap itu masih terus dipupuk melalui media sosial dan mimbar yang mereka kuasai.
Politik identitas berdasarkan agama eksklusif memberi peluang bagi eksistensinya. Ini perlu menjadi perhatian media pers dalam menunaikan fungsinya secara pragmatis menghadapi Pemilu 2024, dan dalam jangka panjang merawat keindonesiaan sebagai warisan Proklamasi 1945.
Ashadi Siregar, Novelis dan Pengajar Jurnalisme

Ashadi Siregar