Jejak sastra, foklor, dan artefak kita berlimpah menceritakan citra serta keberadaan kelompok transjender yang mengisi dan menginspirasi peradaban. Imaji tentang penyatuan unsur feminin dan maskulin ada dalam Siwaisme.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
Kekerasan dan diskriminasi tidak kunjung usai membayangi keberadaan komunitas yang menampilkan keanekaragaman ekspresi jender. Seolah-olah mereka selalu berdiri dalam penghakiman publik, diinterogasi, dicerca, dan dipertanyakan: apakah identitas jendernya lelaki atau perempuan?
Kejadian yang dilalui seorang mahasiswa di Makassar yang menyatakan dirinya nonbiner memantik berbagai tanggapan di masyarakat. Sebagian mengutuk, namun ada pula yang menunjukkan dukungan. Saya mengingat kembali keunikan keragaman jender dalam masyarakat Bugis beserta dengan filosofi ataupun tradisi yang melekat dalam lima ragam jender tersebut. Sosok bissu dipandang sebagai orang terpilih yang disucikan oleh para penghayatnya. Ciri metajender merupakan salah satu keistimewaan seorang bissu, seiringan dengan itu mereka pun diyakini memiliki kekuatan gaib untuk menjadi penghubung dengan alam roh.
Jejak sastra, foklor, ataupun artefak kita berlimpah menceritakan citra serta keberadaan kelompok transjender yang mengisi dan menginspirasi peradaban kita. Dalam seni tari tradisional terdapat lengger Banyumas yang mengandaikan elastisnya tubuh, mengayun bebas antara ekspresi feminin dan maskulin.
Selain itu, dalam mitologi Yunani dikenal Hermafroditos, buah hati gabungan antara Dewa Hermes dan Dewi Afrodit. Saya tertegun melihat keindahan patung ”Hermafroditos yang Terlelap” di Museum Louvre. Patung yang terbuat dari marmer putih itu menjelmakan secara syahdu kemolekan tubuh Hermafroditos yang telanjang.
Imaji tentang penyatuan unsur feminin dan maskulin juga kental dalam aliran Siwaisme. Menatap arca Ardanariswari, saya merenungkan peleburan kekuatan Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Parwati, yang menjadi simbol asal-muasal terbentuknya kosmos ini.
Perspektif interseksional
Berlandaskan studi jender termutakhir, kita dapat mengkritisi pandangan yang membakukan persoalan jender menjadi klasifikasi tertutup jender biner, yakni laki-laki dan perempuan. Melebihi itu, identitas jender merupakan proses yang terus menjadi, kedirian seseorang tidak serta-merta ditetapkan oleh fakta biologis dari kelahirannya. Konstruksi jender menandakan kebebasan performatif seseorang mempraktikkan identitasnya secara lentur.
Saya berdiskusi dengan Hendrika Mayora, seorang transpuan yang berasal dari Desa Habi, Nusa Tenggara Timur. Saat ini ia tengah bertugas di Badan Permusyawaratan Desa dan ia bersikukuh untuk melayani masyarakat demi keadilan dan kesetaraan. Hendrika Mayora mengakui bahwa masyarakat Maumere adalah orang-orang yang progresif dan dapat menerima, bahkan merayakan, keberagaman ekspresi jender.
Meski demikian, perjuangannya untuk menjadi seorang pejabat publik penuh dengan kesukaran dan penderitaan. Ia mengutarakan perihnya segala diskriminasi, cemoohan, hingga persekusi yang dia rasakan ataupun saat mendampingi kawan-kawan transpuan lainnya.
Semasa pandemi, Hendrika Mayora mengupayakan bantuan kesehatan untuk para transpuan. Bermacam-macam tantangan ia hadapi untuk mengadvokasikan kartu tanda penduduk (KTP) bagi transpuan sehingga komunitas transpuan dapat mengakses bantuan kesehatan ataupun dana.
Memasuki isu ketidakadilan menggunakan pandangan interseksional memungkinkan kita mencermati hal-hal yang selama ini ditelantarkan. Bahwa, sebagai warga negara, transpuan mengalami berlapis diskriminasi: dikarenakan performativitas jendernya, dikarenakan kemiskinan, juga dikarenakan identitas etnis atau latar belakang kultur tertentu. Kajian interseksional dapat mengungkap marjinalisasi berlipat yang sering kali tidak tampak. Seperti halnya persimpangan, transpuan berada di tengah hantaman ketimpangan yang melibatkan tumpang tindihnya jender, kelas, etnis/ras.
Hendrika Mayora bertekad membuka seluas-luasnya ruang perjumpaan yang menghargai keragaman dan hak asasi manusia. Ia menginisiasi komunitas yang bersolidaritas tidak saja pada isu kesejahteraan bagi transjender. Melalui komunitas Fajar Sikka ia mendampingi para lansia, kelompok difabel, dan perempuan kepala keluarga.
Ekologi ”queer”
Sanggar Seroja merupakan komunitas transpuan yang memiliki kepedulian terfokus pada problem perubahan iklim. Mereka melakukan penelitian dan pementasan seni yang bertujuan untuk memperkuat kesadaran masyarakat tentang pentingnya keseimbangan lingkungan hidup. Saya menjumpai mereka di sanggar yang berlokasi di Kampung Duri, Jakarta Barat. Melewati gang-gang yang ramai dengan warga berdagang, duduk bersenda gurau, dan anak-anak yang bermain berlarian. Para transpuan bertegur sapa dengan warga secara akrab.
Mama Pandan, salah seorang transpuan anggota Sanggar Seroja, bergiat mengampanyekan lingkungan hidup yang bersih. Saat ini mereka sedang mendorong bank sampah dan juga mengajak anak-anak muda untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, bahkan mereka mendaur ulang limbah plastik yang kemudian dijadikan kostum pementasan mereka yang ceria dan gemerlap. Tertulis dalam riset yang mereka lakukan bahwa tercatat 80 transpuan di Kampung Duri yang semasa pandemi mengalami krisis pendapatan dan juga kesusahan mendapatkan jaminan kesehatan.
Bersamaan dengan pandemi, mereka juga menunjukkan secara interseksional kerentanan komunitas transpuan dikarenakan perubahan iklim, salah satunya adalah bencana banjir. Ekologi queer adalah prinsip etika kepedulian pada lingkungan yang terinspirasi biodiversitas, yakni keragaman yang saling menopang satu dengan yang lain.
Negara wajib hadir melalui kebijakan publik yang mengarusutamakan partisipasi komunitas transjender dalam kehidupan sosial. Walau terbebani oleh stigma, pengasingan, hingga ancaman kekerasan, para transpuan gigih menunjukkan kecintaan dan kepedulian kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.