Di Malaysia hukum dan politik dikenal kerap berjalin berkelindan. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Najib Razak membuktikan, hukum di sana bisa tajam ke atas.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Najib Razak, perdana menteri yang berkuasa di Malaysia tahun 2009-2018, menjadi bekas PM pertama di negara itu yang dijebloskan ke penjara. Mulai Selasa (23/8/2022), ia menjalani hari-harinya di Penjara Kajang, tenggara Kuala Lumpur, yang dihuni sekitar 5.000 narapidana (napi), termasuk napi pembunuh dan pengedar narkoba.
Ia harus tinggal di penjara itu selama 12 tahun, sesuai vonis Pengadilan Tinggi Malaysia pada Juli 2020 yang dikuatkan Mahkamah Agung. Bagi tokoh yang lahir dari lingkaran ”darah biru politik Malaysia”—ayah dan pamannya adalah PM pertama dan ketiga—lalu hampir setengah abad malang melintang di kancah politik Malaysia dan berpuncak menjabat PM, status Najib sebagai napi menjadi sekuel karier politik yang tragis.
Dipoles dan disiapkan untuk menjadi pemimpin sejak debut politiknya pada usia 23 tahun, Najib mengalami karier melejit, lalu jatuh, seperti digambarkan media Malaysia Kini: jadi anggota parlemen usia 23 tahun, menteri besar 29 tahun, menteri 33 tahun, PM 56 tahun, dan napi 69 tahun.
Bagi publik Malaysia, kasus Najib menumbuhkan kepercayaan terhadap penanganan hukum, termasuk pengadilan dalam kasus korupsi. Najib tersangkut skandal megakorupsi perusahaan investasi pemerintah (1MDB), yang dibentuknya tak lama setelah menjabat PM tahun 2009. Penyidikan di sejumlah negara mengungkap sedikitnya 4,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 65,5 triliun) dicuri dari 1MDB dan, antara lain, masuk ke rekening Najib antara tahun 2009 dan 2014.
Sebagian dana curian itu dicuci melalui sejumlah rekening bank di Amerika Serikat (AS) dan negara lain untuk membiayai film Hollywood serta membeli properti dan barang mewah, seperti hotel, kapal pesiar, karya seni, dan perhiasan. Kleptokrasi dalam bentuk paling buruk, demikian sebut Jeff Sessions, Jaksa Agung AS kala kasus ini dalam penyelidikan.
Sejak terbongkar tahun 2015, penanganan kasus Najib naik turun, mengikuti dinamika politik di negeri jiran kita itu. Malaysia kerap dilanda kasus korupsi. Umumnya terkait politik uang, yang dirancang untuk menjaga Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) tetap berkuasa. Titik terang penanganan kasus 1MDB muncul saat UMNO untuk pertama kali, setelah menjadi partai penguasa sejak 1957, kalah pada pemilu 2018.
Pada Juli 2020, Pengadilan Tinggi Malaysia menyatakan Najib bersalah dan menghukumnya 12 tahun. Hukuman ini dikuatkan di pengadilan banding dan tingkat kasasi. Vonis kasasi muncul saat UMNO kembali di barisan pemerintah. Najib sudah tak mendapat perlindungan politik di partainya.
Setelah vonis final tingkat kasasi ini, Najib masih memiliki celah untuk bebas melalui peninjauan kembali di pengadilan federal dan pengampunan Raja. Namun, masih ada empat kasus lain menantinya. Kasus Najib memberi pesan yang jelas: di Malaysia, siapa pun orangnya, sekalipun pernah jadi orang nomor satu, jika terbukti bersalah, harus dihukum.