”Aja Dibanding-bandingke”
Saya usul untuk membuka ”ruang kolaboratif”, mempertemukan anak berbagai talenta agar saling kolaborasi, saling mengisi, ditempa dan diberi panggung. Semoga, dengan demikian, lahirlah karya-karya kreatif dan inovatif.

Para menteri Kabinet Indonesia Maju bergoyang saat Farel Prayoga (12) bernyanyi memeriahkan Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022). KOMPAS/HERU SRI KUMORO 17-08-2022
Lagu ”Aja Dibandingke” Farel Prayoga yang sukses menggoyang Istana Merdeka malah ”menginspirasi” saya untuk mbandingke. Farel punya suara merdu, sangat pas menyanyikan lirik lagu ciptaan Abah Lala dan Denny Caknan yang terdengar tidak biasa itu.
Improvisasi musik pengiring pun kemudian mengajak tubuh bergoyang. Bahkan, para menteri ikut turun dari kursinya, berjoget di samping panggung mini tempat Farel berdendang. Jutaan pasang mata yang mengikuti siaran langsung di televisi memandang kagum, saya salah satunya.
Banyak orang yang kemudian berkali-kali memutar video yang beredar dan mencari tahu siapa Farel Prayoga. Ini sungguh suatu sukses yang paripurna.
Saya mengira-ngira kesuksesan Farel berproses panjang. Mulai dengan mengamen bersama ayahnya dari pasar ke pasar, berkembang dari panggung ke panggung, hingga akhirnya punya band pengiring, kesempatan berlatih dan mengasah vokal, ketemu lagu yang pas, dan diunggah di kanal Youtube.
Farel anak yang beruntung, Tuhan telah memilih dia untuk naik ke panggung HUT RI di Istana Merdeka. Bahkan, pelesetan kalimat ”hanya ada kamu” menjadi ”hanya ada Pak Jokowi”, menjadi hits.
Saya mulai mbandingke. Apa jadinya jika anak bersuara merdu, tetapi tidak tahu bagaimana mencari band pengiring, tidak punya uang untuk berlatih vokal, mungkin hanya berakhir menyanyi di kamar mandi.
Saya lanjut mbandingke dengan peserta kontes penyanyi dewasa, seperti Akademi Fantasi, Indonesia Idol, dan sejenisnya, berapa banyak yang tak lolos seleksi?
Apa kabar manajemen talenta? Kompas sudah sering membahasnya. Bagaimana agar program negara ini dapat menyentuh anak-anak kreatif Indonesia?
Saya ingin usul untuk membuka ”ruang kolaboratif”, mempertemukan anak berbagai talenta alami agar saling kolaborasi, saling mengisi, ditempa dan diberi panggung.
Semoga, dengan demikian, lahirlah karya-karya kreatif, lahirlah generasi inovatif, yang pandai mengemas dan memanajemen karya, ahli riset, produksi, penjualan, dan ahli-ahli lain yang dibutuhkan masa depan.
Ruang kolaboratif bisa dimulai dari talenta alami seni (bernyanyi, bermusik, menggambar, berbahasa asing, memasak, menata panggung, membuat video) dilanjutkan talenta alami ilmu pengetahuan (misal fisika) dan aneka talenta alami masa kini lainnya.
Manajemen talenta untuk anak dalam benak saya bukan seperti sekolah, bukan sekadar arena kontes. Karena, seperti lirik lagu Farel, mereka "aja dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesti kalah…."
Endang TRBukit Pamulang Indah, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten 15417
Paten Kulit Singkong

Para buruh tani memanen singkong di kawasan Curug, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (31/5/2020). Harga singkong di tingkat petani berkisar Rp 4.000 per kilogram. Singkong-singkong itu dijual kepada industri kecil pembuatan tape di Depok. Singkong memiliki manfaat besar dan berpotensi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat di masa depan. Saat ini, sejumlah penelitian telah mengungkapkan besarnya protein yang berasal dari singkong. Endang Sukara dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, singkong memiliki potensi untuk membantu memenuhi kebutuhan protein masa depan. Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)31-5-2020
Pada 24 Mei 2022 ada tayangan Kompas TV berjudul ”Khasiat Lain Singkong: Padamkan Api”. Aiman Witjaksono mewawancarai Aryanto Misel, seorang inventor, tentang temuannya berupa alat pemadam api ringan berbahan baku bubuk kulit singkong.
Dalam dialog Aiman dan Aryanto dibahas antara lain paten dari produk pemadam api tersebut. Aryanto bercerita, patennya dijual ke Jepang.
Kenapa ke Jepang? ”Karena di Indonesia tidak ada yang menerima.” Barang bagus begini tidak ada yang menerima. Kenapa? ”Karena kalau ada barang murah, kan, tidak mau pemerintah kita.”
Sampai di sini timbul pertanyaan, apakah benar sudah ada patennya? Apakah benar sudah dijual ke Jepang? Apakah benar pemerintah tidak mau menerima?
Dari penelusuran paten ke dalam Pangkalan Data Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual tidak ditemukan paten alat pemadam api ringan bubuk kulit singkong yang terdaftar milik Aryanto Misel. Karena tidak ada patennya, tidak mungkin dialihkan haknya kepada orang atau perusahaan Jepang.
Pernyataan Aryanto bahwa pemerintah tidak mau menerima produk itu karena murah adalah pernyataan insinuatif, tendensius, dan mendiskreditkan pemerintah.
Mengenai zat aktif bubuk kulit singkong, Aryanto mengatakan, kulit singkong mengandung potasium sitrat yang dapat memutus rantai proses pembakaran. Dari penelusuran alat pemadam api ringan berbahan baku bubuk kimia, diketahui bahwa salah satu bahan aktif yang biasa digunakan sebagai pemadam api adalah potasium bikarbonat, bukan potasium sitrat.
Salah satu syarat untuk mendapatkan paten adalah dapat diterapkan dalam industri. Pembuatan bubuk kulit singkong dalam skala industri membutuhkan ketersediaan bahan baku, proses pencucian dan pengeringan, serta penggilingan. Perlu pasokan kulit singkong dalam jumlah besar dari limbah industri tapioka.
Diperlukan mesin pencuci dan pengering serta penggiling berkapasitas besar pula. Hal mana tidak ditunjukkan oleh Aryanto kepada Aiman sehingga tidak ada bukti penerapan dalam skala industri.
Uraian di atas memunculkan dugaan bahwa Aryanto berbohong kepada Aiman mengenai paten produknya dan mendiskreditkan pemerintah. Kompas TV perlu mengklarifikasi tayangan itu.
Gunawan SuryomurcitoKonsultan Kekayaan Intelektual, Pondok Indah, Jakarta 12310
Stok Pangan

Tangkapan layar Pelaksana tugas Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (NFA) Risfaheri yang sedang menjelaskan mengenai ketahanan pangan nasional dalam webinar "Menangkis Ancaman Krisis Pangan Global" yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta. Selasa (9/8/2022).
Akhir Juni silam, lewat tengah malam saya mendengar penjelasan pakar pertanian dalam diskusi interaktif di stasiun radio swasta di Jakarta. Narasumber mengurai kondisi pangan nasional, yang meningkat terus impornya.
Pada akhir diskusi, saya baru tahu narasumber adalah Andreas Dwi Santosa dari IPB University, Bogor.
Meski bukan petani, saya sangat tertarik dengan uraian itu, sebab sewaktu remaja di desa, saya selalu membantu orangtua menggarap sawah. Musim kemarau simbok menanam palawija secara tumpang sari: canthel (sorgum), di sela-selanya ditanam kacang tunggak, kacang panjang, kacang hijau, labu, mentimun. Jadi, kami punya cadangan pangan dan komoditas tambahan bernilai tinggi.
Saat membuka koran, Kompas edisi Selasa, 21 Juni 2022, ada tulisan Dwi Andreas Santosa, ”Waspadai Stok Pangan 2022”. Artikel bagus dan agak ”medeni”, bahwa rawan pangan sudah terjadi di berbagai belahan bumi.
Di akhir artikel ditulis: ”Situasi pangan di Indonesia kurang menggembirakan. Impor pangan melonjak dari 6,83 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 9,09 miliar dollar AS pada 2021. Impor mencakup delapan komoditas utama: gandum, beras, jagung, kedelai, gula tebu, bawang putih, ubi kayu, dan kacang tanah”.
Sebagai pekerja minyak, saya pernah bekerja dari Papua sampai Sumatera. Saya melihat hamparan tanah subur melimpah. Apakah lahan tersebut tidak cocok ditanami bahan pangan? Apakah kita lebih suka mengimpor daripada susah-susah menanam?
Sugeng HartonoPensiunan Kuli Minyak, Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) NPA 1260, Bona Indah, Jakarta 12440
Citayam Fashion Week

Anak muda dari Citayam, Bonge dan Kurma yang viral di media sosial melalui "Citayam Fashion Week" dikerubuti para remaja di kawasan Dukuh Atas, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (22/7/2022) sore. Bonge dan Kurma merupakan anak muda yang menjadi ikon dari Citayam Fashion Week. Serial Urban Koming
Fenomena Citayam Fashion Week (SCBD) di Jakarta memicu pro-kontra atas penyelenggaraannya. Kegiatan itu diawali oleh anak-anak muda SCBD. Bukan Sudirman Central Business District, melainkan Sudirman-Citayam-Bojonggede-Depok.
Kegiatan itu menggerakkan kaum muda lainnya. Sebenarnya, di sisi lain, kreativitas seperti ini dibutuhkan bangsa Indonesia untuk menata kembali perekonomian setelah berjibaku melawan Covid-19.
Sejauh mengikuti informasi di media massa, tidak tercatat hal negatif dari kegiatan ini. Jika belum ada izin, pemerintah daerah dan kepolisian sebaiknya membuka pintu untuk mendapatkan izin. Jika mengganggu lalu lintas dan aktivitas di lokasi kegiatan, bantu untuk mengaturnya.
Lebih dari sekadar kegiatan berlenggak-lenggok di zebra cross jalanan umum, Citayam Fashion Week mengabarkan dengan jelas bahwa kaum muda berdaya tahan untuk memperjuangkan masa depannya.
P Citra TriwamwotoSrengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640