Sudah seharusnya pemerintah daerah di pinggiran Jakarta memikirkan ruang publik di stasiun-stasiun yang ada dan membuatnya lebih mudah diakses, lebih baik, dan lebih menarik. Sisihkan APBD untuk keperluan masyarakat.
Oleh
Budiyono
·3 menit baca
Seandainya ruang publik di pinggiran Jakarta, seperti Depok (Bojong Gede, Citayam), Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, dan Tangerang, dibuat dengan sentuhan lanskap urban menarik dan dapat diakses semua orang, boleh jadi warga pinggiran tidak perlu ”nongkrong” di ruang Transit Oriented Development Sudirman.
Bayangkan, Transit Oriented Development (TOD) Sudirman, apabila sudah rampung, kelak akan lebih heboh karena mudah diakses dengan LRT, yang menghubungkan dengan Cibubur, Bekasi Timur.
Fenomena Citayam Fashion Week di ruang publik Sudirman Central Business District adalah karena ruang publik itu sebagai ruang transit yang ramai, mempunyai magnet dari segi ruang lanskap, bangunan, dan dengan spot menarik sehingga membuat banyak orang tertarik berfoto ria.
Keisengannya mungkin karena mereka spontan mencoba berlenggak-lenggok bak peragawan/peragawati, apalagi ada dukungan keramaian, sehingga menjadi sesuatu yang berbeda di ruang publik dan menjadi heboh.
Sudah seharusnya pemerintah daerah di pinggiran Jakarta memikirkan ruang publik di stasiun-stasiun yang ada dengan membuatnya lebih mudah diakses, lebih baik, dan lebih menarik. Sisihkan anggaran daerah (APBD) untuk keperluan masyarakat, bukan untuk dikorupsi. Gunakan untuk membangun taman-taman umum, plaza, dan area transit yang bisa dinikmati semua warga.
Selama ini, pemerintah daerah Bodetabek memberi porsi perluasan ruang begitu besar melalui developer sehingga ruang publiknya menjadi serba komersial. Bahkan, stasiun pun dikomersialkan dengan apartemen berlabel TOD, yang tentunya bukan untuk semua warga.
Pemerintah daerah tampaknya lupa dan alpa bahwa warganya yang tidak memiliki ruang yang baik dan manusiawi akan memanfaatkan jalan-jalan menuju ke stasiun, bahkan area depan stasiun, hingga menjadi kumuh dan semrawut. Ah, gimana ini Pak Wali, Pak Bupati?
Salah kaprah!
Budiyono
Jl Martapura III, Jakarta Pusat
Raden Samba
Raden Samba yang sudah bisa mendapatkan wahyu Cakraningrat harus kehilangan anugerah yang diperoleh karena tak tahan saat digoda Dewi Hagyanawati.
Konon Kresna memiliki dua putra, yaitu Suteja dan Samba. Keduanya sama-sama putra Kresna, tetapi beda ibu sehingga bedanya mencolok.
Suteja tinggi tegap gagah, berkulit merah, urakan, tetapi sakti. Samba kesatria tampan, lemah lembut, berkulit putih, calon pewaris takhta Kerajaan Dwarawati.
Kresna kemudian menikahkan Suteja dengan Hadnyonowati, putri kerajaan Giyantipura. Dalam cerita itu, kedua calon pengantin belum saling mengenal. Hadnyonowati hanya tahu dia akan dipersunting putra Kresna. Hadnyonowati yakin bahagia karena kualitas dan popularitas Kresna.
Pada sesi ”sungkeman” Hadnyonowati sungkem kepada Samba karena mengira dia calon suaminya. Kejadian ini sempat membuat runyam.
Peristiwa itu amat membekas di hati Samba hingga Samba berfantasi tentang Hadnyonowati. Ternyata Samba tidak bertepuk sebelah tangan. Meski resmi sebagai permaisuri Suteja, Samba selalu di hati Hadnyonowati.
Kegundahan sepasang sejoli ini ketahuan, tetapi Suteja rela istrinya menikah dengan Samba. Sayang, rencana pernikahan berantakan karena fitnah Limurna, burung ”kendaraan” perang Suteja yang bisa berbicara. Celakanya, Suteja percaya hasutan Limurna.
Suteja yang temperamental memutilasi Samba dan menyerang Arjuna (sepupu dan ipar Kresna). Maka, terjadilah perang besar antara pasukan Suteja dan pasukan Pandawa dan Dwarawati.
Menghadapi kekacauan ini, Kresna bertindak tegas. Malang tak bisa ditolak, Suteja akhirnya terbunuh oleh Cakra, senjata sakti Kresna. Suteja gugur bersama Samba, Hadnyonowati, dan prajurit kedua belah pihak.
Pesan cerita wayang ini adalah komunikasi yang tidak jujur memicu malapetaka.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi Cilengkrang, Bandung 40616