Mendialogkan Pribumisasi Islam Gus Dur dan Keindonesiaan Buya Syafii
Jika pribumisasi Islam Gus Dur mengajarkan menjadi Muslim yang tak kehilangan identitas kenusantaraan, pemikiran keindonesiaan Buya Syafii juga mengingatkan dalam berislam tak boleh melupakan kesadaran berbangsa.
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif) merupakan guru bangsa yang banyak menyumbangkan pikiran, khususnya soal moral bangsa, tentang keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Keduanya tidak hanya dihormati di kalangan masing-masing, NU dan Muhammadiyah, tetapi non-Muslim pun menghormati kedua guru bangsa yang komitmen menyuarakan keadilan dan kemanusiaan ini.
Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan Gus Dur dan Buya Syafii, melainkan ingin menarik satu benang merah yang menghubungkan pemikiran dua guru bangsa ini.
Gus Dur dengan pemikiran pribumisasi Islam-nya mengajarkan untuk berislam dengan tetap menjadi manusia Nusantara. Sebagaimana Gus Dur dalam Pribumisasi Islam menjelaskan, ”....proses pribumisasi Islam dalam arti mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama.”
Baca juga: Gus Dur, Pancasila dan Pribumisasi Islam
Baca juga: Keislaman dan Keindonesiaan dalam Satu Tarikan Napas Buya Syafii Maarif
Di sisi lain, Buya Syafii dengan pemikiran keindonesiaannya mengajak agar Muslim Nusantara menampakkan ekspresi Islam yang friendly face (ramah). Sebagaimana Buya Syafii dalam Islam, Humanity, and the Indonesian Identity mengajak untuk, ”Creating an Islam in Indonesia that shows a friendly face.... (mewujudkan Islam di Indonesia yang memperlihatkan wajah ramah).”
Pemikiran dua guru bangsa ini sangat berarti bagi peradaban Islam Nusantara.
Pribumisasi Islam Gus Dur
Meski Islam merupakan agama yang bersumber dari wahyu Tuhan, karena Islam hidup dalam masyarakat (Muslim), pasti akan berinteraksi dengan budaya manusia. Dalam hal ini, Islam dan budaya saling tumpang-tindih (bukan berarti berbenturan) satu sama lain.
Interaksi itu memunculkan kehidupan berislam dalam bentuk budaya. Misalnya, tradisi bubur suro di Jawa, monuntul (pasang lampu) di Bolaang Mongondow, dan juga termasuk cara hidup, seperti budaya santri dalam menghormati kiai.
Pribumisasi Islam Gus Dur mengajarkan untuk menjadi Muslim tanpa kehilangan identitas kenusantaraan.
Upaya pribumisasi Islam, sebagaimana dijelaskan Gus Dur dalam Pribumisasi Islam, ”...bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya (Islam dan budaya).” Melainkan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pribumisasi Islam Gus Dur mengajarkan untuk menjadi Muslim tanpa kehilangan identitas kenusantaraan, dalam arti menjadi manusia yang berbudaya dan taat dalam beragama. Oleh karena itu, bagi Muslim Nusantara, penerimaan dan pengamalan Islam tidak membuat akar sejarah budaya tercerabut dalam kehidupan.
Keindonesiaan Buya Syafii
Jika pribumisasi Islam Gus Dur mengajarkan untuk menjadi Muslim yang tidak kehilangan identitas kenusantaraan, pemikiran keindonesiaan Buya Syafii juga mengingatkan dalam berislam tidak boleh melupakan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana Buya Syafii dalam Islam, Humanity, and the Indonesian Identity menjelaskan, ”If we speak about Islam, Indonesiannes, and humanity, it means we have entered a domain that is deep and wide.... There will be no discrimination of any kind. Because the majority of the population is Muslim, its responsibility is to create an Indonesia that is just and presents a friendly face.... In my opinion as a Muslim, even people of no faith must be protected by the state so long as they obey the constitution and the staturory laws prevailing in Indonesia....”
Pemikiran keindonesiaan Buya Syafii juga mengingatkan dalam berislam tidak boleh melupakan kesadaran berbangsa dan bernegara.
(Jika kita bicara tentang Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan, itu berarti kita telah masuk pada domain yang dalam dan luas.... Tidak akan ada diskriminasi jenis apa pun. Sebab, mayoritas penduduk (Indonesia) adalah Muslim, kewajibannya (umat Muslim) menciptakan Indonesia yang hanya ada wajah ramah.... Dalam pandangan saya sebagai seorang Muslim, bahkan orang-orang tidak beriman harus dilindungi oleh negara sepanjang mereka mematuhi konstitusi dan hukum yang berlaku di Indonesia).”
Jadi, pemikiran Keindonesiaan Buya Syafii mengidamkan Islam ramah yang tidak diskriminatif terhadap non-Muslim. Satu kesadaran beragama yang amat penting bagi Muslim Nusantara di tengah perbedaan agama.
Baca juga: Islam dan Indonesia
Eskpresi keberislaman Muslim Nusantara
Meski Gus Dur dan Buya Syafii bukan berasal dari back-ground gerakan yang sama—Gus Dur sebagai tokoh NU dengan semangat tradisionalis dan Buya Syafii sebagai tokoh Muhammadiyah berspirit pembaruan—, pemikiran mereka pada dasarnya terhubung dan penting bagi kehidupan Muslim Nusantara.
Buya Syafii sangat respek kepada Gus Dur. Dalam bukunya Islam, Humanity, and the Indonesian Identity, Buya Syafii menyebut Gus Dur sebagai the revolutionary thinker in NU circle (pemikir revolusioner di tubuh NU). Menurut Buya Syafii, pemikiran revolusioner Gus Dur membawa NU kepada kemajuan gerakan Islam Indonesia (Nusantara) yang sangat fenomenal.
Upaya pribumisasi Islam Gus Dur bukan sekadar gerakan kebudayaan untuk melestarikan tradisi, tetapi juga mencakup pembinaan moral bangsa. Hal ini, berdasarkan Gus Dur dalam Pribumisasi Islam, meliputi ”Tiga pilar dasar; keadilan, persamaan, dan demokrasi. Itu diejawantahkan ke dalam sikap hidup yang mengutamakan Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan....”
Menurut Gus Dur, dari tiga pilar itulah sebaiknya budaya Islam diisi. Pandangan ini sejalan dengan Buya Syafii yang mengedepankan Islam dengan friendly face (wajah ramah). Pendekatan sosio-kultural dalam pribumisasi Islam Gus Dur penting dipahami dan diupayakan untuk mewujudkan Islam ramah di Indonesia. Sebagaimana Gus Dur menjelaskan, ”Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri....”
Upaya pribumisasi Islam Gus Dur bukan sekadar gerakan kebudayaan untuk melestarikan tradisi, namun juga mencakup pembinaan moral bangsa.
Sebagaimana diketahui bahwa persatuan merupakan hal penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menurut Buya Syafii, untuk tetap menjadi negara yang satu, masyarakat Indonesia harus bersih dari egoisisme subkultural, kepicikan, dan hal lain yang dapat memecah belah bangsa. Ini bukan pandangan yang berlebihan, sebab Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama. Oleh karena itu, upaya persatuan penting untuk dikedepankan.
Untuk itu, apa yang dimaksud sebagai ”masalah (kebutuhan) dasar yang dihadapi bangsa” dalam pendekatan sosio-kultural pribumisasi Islam Gus Dur salah satunya adalah soal menjaga kerukunan antarumat beragama. Hal ini mengingat, sejak dahulu, setting sosial Nusantara adalah kehidupan yang heterogen tidak hanya ragam budaya, tetapi juga ragam pemeluk agama.
Sebagaimana dalam konsep pribumisasi Islam Gus Dur, bahwa upaya mem-pribumisasi-kan Islam bukan semata didasari ketakutan munculnya ketegangan antara Islam dan budaya, sebab menurut Gus Dur, ”Kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya.”
Baca juga: Meneguhkan Keindonesiaan
Misalnya, dalam hal kerukunan, jika seorang Muslim hidup bertetangga dengan non-Muslim, maka sebaiknya bersikap baik, karena kenyataan yang tidak bisa dia pungkiri bahwa meski beda agama mereka tinggal bersebelahan. Kalau tidak mengedepankan toleransi dalam kehidupan, yang terjadi hanyalah kekacauan dengan label agama, dan jelas yang nampak bukanlah Islam dengan wajah ramah melainkan Islam marah.
Dalam hal ini, Islam dengan ekspresi wajah ramah merupakan keniscayaan bagi Muslim Nusantara. Sebab, tanpa nafas Islam ramah kehidupan heterogen di Indonesia akan jauh dari kedamaian.
Moh Rivaldi Abdul, Mahasiswa Doktoral S-3 Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam Pascsarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta