Kepemimpinan Indonesia dalam G20
Perang Rusia-Ukraina telah memakan banyak korban. Mengapa tidak dihentikan saja agar dunia bisa melanjutkan pembangunan, mengatasi dampak perubahan iklim, dan berbagai masalah global yang menuntut banyak penyesuaian.
Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan hadir pada pertemuan puncak G20 di Bali, 15-16 November 2022.
Seperti diketahui, Presiden Biden bersama negara-negara sekutunya yang tergabung dalam NATO—sejak invasi Rusia ke Ukraina, Februari 2022—telah melancarkan kampanye menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia di bawah pimpinan Presiden Vladimir Putin.
Dengan demikian, selama ini AS dan sekutunya tidak akan mau duduk dalam meja perundingan dalam fora apa pun, mungkin kecuali untuk penyelesaian perang yang sampai saat ini masih berlangsung.
Terakhir, Presiden Putin mengumumkan bahwa dirinya tidak akan hadir secara pribadi dalam konferensi G20. Ia hanya akan mengikuti secara daring.
Akan tetapi, beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo sebagai Ketua G20 mengatakan bahwa Presiden Putin dan Presiden Xi Jinping dari China akan hadir dalam konferensi puncak G20 di Bali. Tentu ini membawa konsekuensi tertentu, termasuk bagaimana Presiden Biden dan para pemimpin negara-negara sekutu AS menyikapinya, apakah akan tetap hadir atau tidak karena kehadiran kedua presiden itu.
Masih ada waktu beberapa bulan buat semua pihak berdiplomasi untuk mencari solusi terbaik.
Cari solusi terbaik
Saya terus terang tidak berani memperkirakan apa yang nanti akan terjadi. Apakah Presiden Biden dan para sekutunya kemudian tidak jadi hadir? Atau semua akan hadir, melupakan sementara pertikaian akibat perang Rusia-Ukraina?
Masih ada waktu beberapa bulan buat semua pihak berdiplomasi untuk mencari solusi terbaik. Tentu ini juga merupakan suatu tes buat Ketua G20 saat ini. Seberapa piawai Presiden Jokowi berdiplomasi untuk meredakan ketegangan AS dan negara-negara sekutunya dengan Rusia. Apalagi, masalah masih ditambah dengan kunjungan Ketua Kongres AS Nancy Pelosi ke Taiwan, yang merenggangkan hubungan China-AS yang rapuh.
Apakah mereka akan melupakan masalah mereka dulu untuk kepentingan bersama?
Kembali, saya tidak berani membuat prediksi, hanya ikut berharap agar Presiden Jokowi dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berhasil menurunkan suhu panas dan menghadirkan semua pihak sehingga konferensi berjalan sesuai rencana.
Kita hanya bisa berharap semoga terjadi yang terbaik buat semua negara karena permasalahan dan tantangan sangat banyak. Mengapa harus terus bersitegang dan tidak akan ada yang memang, bahkan sebaliknya semua hanya akan rugi?
Itu semua tentunya kalau akal sehat menjadi dasar pemikiran semua pihak.
Dampak perang
Perang Rusia-Ukraina hanya menyesakkan. Banyak korban sudah berjatuhan. Tidak hanya pada pihak Ukraina, tetapi juga Rusia. Mengapa masih terus berlanjut? Mengapa tidak dihentikan saja agar keduanya dapat menormalkan kembali kehidupan masyarakat di negara masing-masing? Melanjutkan pembangunan, mengatasi dampak perubahan iklim, dan berbagai masalah global yang menuntut banyak penyesuaian.
Biaya sudah sangat besar. Selain korban manusia, juga korban secara material. Kehancuran infrastruktur, gedung-gedung, perumahan, dan kehidupan keluarga, pendidikan anak-anak, dan seterusnya. Ini tidak hanya buat kedua negara yang bertikai, tetapi juga buat negara-negara lain.
Akibat dari sanksi ekonomi dan balasan Rusia terhadap sanksi ini merugikan mereka ataupun negara-negara lain. Sebagai eksportir dan penyedia gas dan minyak sumber energi buat negara-negara Eropa, tindakan balasan Rusia mengurangi ekspor gas dan minyak sangat merugikan semua, di antaranya biaya perjalanan darat dan udara yang meningkat. Hal ini telah menimbulkan banyak masalah buat hubungan antara manusia dan perdagangan.
Baca juga Presidensi G20: Mendorong Aksi Nyata, Melampaui Retorika
Ukraina sebagai negara produsen bahan pangan biji-bijian (grain) dan pupuk menjadi terhambat rantai perdagangannya karena perang dan blokade pelabuhan-pelabuhan di Laut Hitam. Hal ini tidak hanya merugikan ekonomi Ukraina, tetapi juga negara-negara pengimpor, termasuk Indonesia.
Suplai macet
Akibat yang dirasakan adalah macetnya rantai suplai dan bahaya ketidakcukupan persediaan pangan di seluruh dunia, lagi-lagi termasuk Indonesia.
Sebagaimana pembaca ingat, dalam pertemuan pendahuluan para menlu beberapa waktu lalu, Menlu Rusia Sergei Lavrov meninggalkan sidang ketika Rusia dikritik menjadi penyebab masalah pangan dunia.
Terus terang saya hanya bisa menyebutkan daftar masalah buat kedua negara dan negara-negara lain. Terhadap semua ini, rasanya tidak ada yang bisa saya sebutkan sebagai hal yang positif, bahkan buat Rusia ataupun Presiden Putin pribadi.
Saya masih belum menyebutkan bahwa 4,5 juta orang Ukraina—anak-anak, perempuan, dan mereka yang sudah lanjut usia—terpaksa mengungsi di negara-negara tetangga: Romania, Ceko, dan negara-negara lain. Mereka, kalaupun bisa kembali, masih harus bertahap menunggu pembangunan perumahan tempat tinggal mereka yang rusak karena perang. Tidak tahu dalam jangka waktu berapa lama semua akan kembali tertata.
Melihat daftar kerugian tersebut, jelas keuntungan hanya bisa diperoleh kedua negara yang bertikai dan juga negara-negara lain jika peperangan yang tidak masuk akal ini berhenti. Perdamaian menjadi dambaan bersama.
Keinginan Presiden Putin untuk membangun kembali Uni Soviet jelas tidak realistis, apalagi untuk menjadi Alexander Agung modern. Jelas itu hanya mimpi buruk.
Didie SW
Korban besar
Rusia akan sedikit mendapatkan tambahan wilayah di sekitar Donbas, Donetsk dan Luhansk, dekat Crimea yang sudah diambil tahun 2014. Jadi, Presiden Putin bisa mengklaim menang perang meskipun sangat jauh dari yang diharapkan. Korban sudah sangat besar.
Buat Ukraina, daripada kehilangan wilayah lebih banyak lagi, penyelesaian dewasa ini kiranya masih bisa diterima. Jadi, keuntungan dari penghentian perang akan sangat besar buat kedua negara. Menggunakan bahasa orang dagang, itu adalah cut loss. Kalau ini terjadi, negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga akan menikmati perbaikan. Minimal kekhawatiran kekurangan pupuk untuk tanaman dan impor bahan pangan bisa berlangsung dan tidak mengganggu ketersediaan pangan kita.
Karena itu, hadiah keberhasilan diplomasi Indonesia dan negara sahabat dalam konferensi G20 ini sangat besar. Tentu saja ini memerlukan kerja keras dari semua yang terlibat.
Karena itu, hadiah keberhasilan diplomasi Indonesia dan negara sahabat dalam konferensi G20 ini sangat besar.
Kami-kami yang sering mengunjungi Nusa Dua, Bali, lokasi penyelenggaraan konferensi G20, sudah cukup menderita sekarang. Misalnya, ada proyek pelebaran jalan yang sudah berlangsung berbulan-bulan sehingga mengganggu kenyamanan berlalu lintas.
Karena itu, saya mengajak seluruh masyarakat ikut mendoakan keberhasilan konferensi puncak G20, November mendatang. Saya tidak menyebutkan berbagai topik pembahasan yang semula direncanakan, seperti perubahan iklim, masalah pangan, dan perselisihan di sejumlah daerah.
J Soedradjad Djiwandono,Guru Besar Emeritus FEB UI, Profesor Ekonomi Internasional S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), NTU Singapura